Mohon tunggu...
DWI AFRIANTI
DWI AFRIANTI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Jember

Perekonomian Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Financial

Taylor Rule dan Dinamika Kebijakan Moneter Indonesia

19 November 2024   05:16 Diperbarui: 19 November 2024   05:16 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Inflasi menjadi salah satu tantangan utama dalam menjaga stabilitas ekonomi di Indonesia. Dinamika ekonomi global yang penuh ketidakpastian, seperti kenaikan suku bunga oleh The Fed hingga 5,5% pada 2024, memberikan tekanan besar terhadap kebijakan moneter domestik. Dalam menghadapi tantangan ini, Indonesia mengadopsi Taylor Rule sebagai panduan dalam menetapkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi.  

Apa Itu Taylor Rule?  

Taylor Rule diperkenalkan oleh John B. Taylor pada 1993 sebagai panduan kebijakan moneter yang mengaitkan penyesuaian suku bunga dengan tingkat inflasi dan output gap. 

Taylor Rule menawarkan kerangka kerja terukur bagi bank sentral untuk merespons dinamika inflasi dan perubahan output ekonomi secara adaptif.  

  • Evolusi Kebijakan Moneter di Indonesia  

Krisis ekonomi Asia 1997-1998 membawa perubahan besar dalam kebijakan moneter Indonesia. Inflasi yang melonjak hingga 58,4% pada 1998 memaksa pemerintah mengubah sistem nilai tukar menjadi mengambang bebas dan memperkuat mandat Bank Indonesia melalui UU No. 23 Tahun 1999. Undang-undang ini mengadopsi Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai dasar kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar.  

Selama beberapa dekade terakhir, inflasi di Indonesia mengalami fluktuasi signifikan. Contohnya, inflasi pada 2005 mencapai puncak 17,11% akibat pengurangan subsidi BBM. Untuk menekan inflasi, Bank Indonesia menaikkan suku bunga hingga 12,75%. Di sisi lain, sejak 2016, inflasi cenderung stabil di kisaran 3-4% berkat kebijakan moneter yang lebih terkendali.  

Meskipun Bank Indonesia tidak secara eksplisit mengadopsi Taylor Rule, prinsip-prinsipnya tercermin dalam kebijakan moneter yang diterapkan. Misalnya, saat inflasi berada di bawah target pada 2021 (1,78%), Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan menjadi 3,5% untuk mendorong pemulihan ekonomi. Penyesuaian suku bunga ini sesuai dengan rekomendasi Taylor Rule untuk merespons inflasi yang rendah dan output gap negatif.  

Namun, tantangan muncul pada 2013 ketika inflasi aktual mencapai 8,38%, jauh di atas target inflasi 4,5% 1%. Bank Indonesia merespons dengan menaikkan suku bunga acuan dari 5,75% menjadi 6%. Sayangnya, kebijakan ini tidak efektif sepenuhnya karena terjadi keterlambatan (lag) dalam respons kebijakan terhadap dinamika ekonomi global.  

  • Keunggulan dan Keterbatasan Taylor Rule  

Keunggulan Taylor Rule terletak pada pendekatannya yang sistematis dan berbasis data, memberikan panduan yang jelas bagi bank sentral dalam merespons perubahan ekonomi. Namun, terdapat keterbatasan, terutama dalam konteks ekonomi yang berubah cepat seperti Indonesia. Ketergantungan pada data historis menciptakan potensi keterlambatan dalam respons kebijakan, sementara tekanan eksternal seperti volatilitas nilai tukar dan harga komoditas global sering kali membutuhkan pendekatan yang lebih adaptif.  

Selain itu, inflasi di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kenaikan harga energi dan komoditas. Dalam kasus ini, Taylor Rule yang hanya berfokus pada inflasi dan output gap mungkin tidak cukup untuk menangani dinamika ekonomi yang kompleks. Oleh karena itu, Bank Indonesia mengombinasikan Taylor Rule dengan ITF, yang memperhitungkan ekspektasi inflasi dan variabel eksternal lainnya.  

Meskipun memiliki keterbatasan, penerapan prinsip Taylor Rule di Indonesia terbukti berkontribusi pada stabilitas inflasi. Sejak 2016, inflasi cenderung berada dalam kisaran target, mencerminkan efektivitas kebijakan moneter dalam menjaga daya beli masyarakat dan menciptakan iklim ekonomi yang stabil. Stabilitas ini mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan meningkatkan kepercayaan investor.  

Bank Indonesia juga mengembangkan berbagai model ekonomi makro berbasis ITF, seperti MODBI, SSM, SOFIE, dan GEMBI, untuk memproyeksi tren inflasi dan mendukung pengambilan keputusan kebijakan moneter yang lebih komprehensif.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun