Dari segi alur di novel ini terasa smooth. Meskipun di awal-awal memang cukup lambat, sih. Perpindahan adegannya nggak kasar dan nggak memaksakan. Ibarat naik ayunan, Mbak Windry mengayunnya perlahan, membuatku bisa menikmati angin dan merasakannya secara lebih dalam. Bahkan, konflik dari novel ini pun menurutku terasa smooth dan sangat sederhana, sebenarnya. Tapi Mbak Windry bisa meraciknya dengan luar biasa sehingga menghasilkan cerita yang sayang untuk dilewatkan.
Aku cukup puas dengan karakter keempat sahabat Gilang—yang memiliki nama-nama fiksi seperti Brutus, Hyde, Dee and Dum—juga Ed—teman Gilang selama menginap di London. Mereka muncul memang tidak terlalu banyak di novel, tapi kehadiran mereka benar-benar bisa membuat derai tawa. Tipe-tipe sahabat resek but very lovable. Karakter yang meskipun muncul sedikit, tapi tidak berasa hanya jadi tempelan. Bahkan, tanpa celetukan sahabat Gilang sebelum ke London, mungkin nggak akan ada kisah Goldilocks si payung merah. *Ah, Mbak, aku harus belajar untuk ini kayaknya. Hehe*
Acungan jempol terakhir adalah—lagi-lagi—untuk riset dan wawasan Mbak Windry. Kereeeeeeeeen banget! Knowledge tentang lukisan, tentang roman, tentang London, berbagai macam karakter, ah, pantes deh novelnya selalu keren. Wawasannya luas banget. Risetnya juga pasti nggak main-main. *setelah ini kayaknya harus banget nemuin Mbak Windry buat sharing*
Tapi dari kelebihan-kelebihan itu, ada beberapa hal yang aku rasa mengganjal dan kurang pas. Entah hanya perasaanku atau memang iya, nyatanya karakter Gilang di novel ini kurang greget. Hmm, apa ya. Karakter Gilang terlalu sederhana buatku. Maksudnya nggak ada hal yang istimewa yang bisa aku ingat dari seorang Gilang selain seorang penulis melankolis. Nah, ini juga nyambung sama Point of View yang diambil penulis dengan PoV pertama. Sebenernya bukan masalah, sih. Hanya saja mengingat tokoh utamanya adalah seorang laki-laki, bahasanya terlalu smooth. Bahkan selama baca novel London: Angel, aku selalu mengabaikan bahwa Gilang adalah tokoh utama. Hehe, maaf Mbak. Tapi mengingat bahwa karakter Gilang adalah penulis melankolis yang menyukai roman klasik, jadi it’s okay, lah. Aku belajar buat menerima.
Berbeda dengan karakter Gilang yang terlalu sederhana, menurutku karakter Ning malah sangat berlawanan. Aku melihat karakter Ning terlalu sempurna. Cantik, bahkan sangat cantik—menurut deskripsi Gilang, bisa meraih impiannya dengan sangat mudah—kuliah jurusan seni ke London, lanjut bekerja di galeri seni ternama, punya sahabat baik kayak Gilang, dan menemukan cinta sejati. Bahkan seingatku, selama dia bekerja, aku nggak menemukan kesulitan dan halangan yang dialami Ning. Hmm, kalau aku lupa, boleh diingatkan sih ya. Tapi aku suka cara penggambarannya melalui sudut pandang Gilang. Seakan Gilang benar-benar mencintai Ning, nggak berlebihan.
Hal yang bikin aku ngerasa kurang sreg adalah kehadiran tokoh Ayu yang…, gimana ya. Dia ketemu sama Gilang hanya beberapa kali—dengan cara yang selalu kebetulan. Kok bisa, sih bikin kejutan di ending-nya? Apalagi Ayu kelihatannya cuek dan terlalu terlalu kutu buku. Ya, awalnya memang begitu kurang sreg. Tapi semua berubah begitu ada ledakan kecil di ending-nya. Bukan Windry Ramadhina kalau novelnya nggak ada kejutan hihi.
Manis. Cukup itu penggambaran untuk ending-nya. Meskipun nggak sesuai ekspektasi (berekspektasi sama si payung merah nih), tapi Mbak Windry bikin twist yang sangat tak terduga. Ada letupan kembang api kecil dalam dada disertai senyuman tipis untuk menutup kisah Gilang kali ini.
Â
Dari novel ini aku belajar bahwa ketika seseorang patah hati, bukan berarti selamanya akan begitu. Suatu hari nanti hatinya akan kembali sembuh, setelah dia menemukan cinta yang baru.
Â
Â