Aku duduk di depan meja belajarku yang menghadap jendela. Jendela itu sengaja kubuka sedikit. Meskipun udara malam begitu dingin sampai bulu kudukku berdiri dan membuat tanganku merinding, tapi aku membiarkannya tetap terbuka. Aku suka menghirup udara malam yang dingin. Apalagi dengan keadaanku yang tidak cukup baik, aku merasa kesedihanku sedikit terlepas terbawa angin malam.
Sudah banyak air mata yang kuteteskan sejak setengah jam yang lalu. Tapi diary di hadapanku masih belum kubuka. Bolpoin di sampingnya belum kusentuh sedikit pun. Aku takut jika pada akhirnya air mataku menetes lagi. Aku takut mengingatnya.
Lima menit berlalu tapi aku belum melakukan apa pun. Tangisku sudah reda sejak tiga menit lalu. Aku pun memutuskan untuk mulai menulis, menceritakan kisahku hari ini pada diary. Aku mengambil diary di hadapanku dan membuka lembar per lembar. Sejak seminggu lalu, tulisan dalam diaryku bertema sama, rindu. Dan sepertinya, malam ini pun aku akan menuliskan hal yang sama. Tema yang serupa.
Aku mengambil bolpoin dan mulai menulis kata sapaan seperti biasa. Dear, Diary. Aku mulai menuliskan kata demi kata hingga akhirnya terbentuklah sebuah kalimat.
Hari ini rasanya masih sama. Pahit. Aku masih merindukannya. Sangat merindukannya. Tapi apa yang bisa kulakukan saat ini? Aku tidak bisa melakukan apa pun selain melihat foto-foto kami berdua, atau sesekali aku mendengarkan lagu kenangan kami. Diary, aku masih belum sanggup untuk mengatakan kerinduanku padanya. Aku tak ingin menjadi beban untuknya di sana.
Air mataku mulai menetes lagi. Aku segera menarik selembar tisu dari tempatnya yang tidak begitu jauh dariku. Aku langsung menyusut air mataku sendiri. Kenapa menahan rindu rasanya begitu sakit? Setelah air mataku mulai mengering, aku kembali melanjutkan tulisanku.
Oh iya, Diary. Hari ini aku sengaja pergi keluar sendirian. Aku mengunjungi sebuah tempat yang sering kami kunjungi dulu. Aku merasa de javu. Suasana itu, orang-orang itu, semuanya terasa masih sama seperti dulu. Hanya saja dia sedang tidak menemaniku saat itu. Padahal, tempat itu selalu menjadi saksi bahwa aku sering tertawa dengannya di sana. Aku sering menghabiskan waktuku dengannya di sana.
Lagi-lagi aku terhenti dari aktivitasku. Aku berusaha menahan tangis. Mengapa akhir-akhir ini aku terlihat lebih cengeng? Apakah merindukan seseorang yang kusayangi membuatku jadi bermental lemah dan mudah rapuh pada akhirnya menangis?
Diary, apa kau tau rasanya merindukan seseorang yang sangat disayangi tapi dia tidak tau bahwa dia sedang dirindukan? Lantas, apa dia di sana merindukanku juga? Dulu dia berjanji akan pulang satu bulan sekali. Tapi sudah lebih dua minggu dari satu bulan, dia belum menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Apa aku egois jika meminta dia segera pulang dan menemuiku? Aku hanya ingin dia tau bahwa aku merindukannya. Aku hanya ingin dia merasakan rindu yang sama dan segera pulang menemuiku.
Aku menghentikan aktivitasku ketika HP-ku bergetar. Aku mendapat chat darinya dan segera kubuka.
Hai, gimana rasanya hari ini? Apa kamu masih baik-baik aja?
Seperti biasa, buatku rasa hari ini masih sama manis seperti kemarin. Aku tentu baik-baik aja. Kamu jangan khawatir, aku udah mandiri :)
Syukurlah kalau gitu. Seenggaknya aku cukup tenang denger kabar orang kesayanganku baik-baik aja :)
Aku tak mampu membalas chatnya lagi. Kenapa dia dengan bodohnya percaya begitu saja dengan chat itu? Kenapa dia tidak bisa merasakan bahwa sebenarnya hatiku perih menahan rindu sendirian?
Dan entah untuk keberapakalinya, aku menutup diary sambil meneteskan air mata dari kedua pelupuk mataku.
#np Pasto - Aku Pasti Kembali
With love,
Dwi Sartikasari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H