Mohon tunggu...
Dwi Noer
Dwi Noer Mohon Tunggu... lainnya -

" Learn and Grow "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jika Ini Ramadan Terakhirku

7 Agustus 2013   09:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:32 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Esok hari kita harus berpisah, aku harus kembali pada Rabb-ku,” ucapmu pagi ini.

Aku terkejut, tak kusangka kau mengucapkannya hari ini.

“Kita belum menikmati indahnya bulan madu, kenapa kau harus pergi secepat ini?”

“Ini sudah waktunya, aku akan kembali menghadap Rabbku. Aku harus mengabarkan siapa saja hamba-hambaNya yang memuliakanku.”

“Tapi kenapa harus sekarang, aku masih belum siap kehilangan dirimu, bukankah sedikit sekali waktu yang kau berikan untuk kita bersama…” aku mencoba menahan kepergiannya.

Kau tersenyum mendengarnya. “Begitulah kebanyakan manusia, seringkali kalian baru mengerti rasa memiliki setelah merasakan sendiri rasanya kehilangan. Begitu pula dirimu. Bukankah di awal kehadiranku kau merasa masih banyak waktu. Sementara di pertengahannya kau seringkali lalai, dan justru ketika aku akan pergi kau baru sadar. Itupun hanya sedikit, sedikit sekali kau sadar untuk mengingatNya.”’

Aku terdiam, tertunduk. Semua yang dikatakannya benar. Kali ini aku tak bisa membela diri.

“Kebanyakan manusia itu merugi, mereka tak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa di sekitarnya. Mereka sebenarnya tahu akan kemuliaanku, kemuliaan Ramadan. Bahkan jika mereka mengerti, mereka akan berharap jika semua bulan adalah bulan Ramadan. Tapi kenapa mereka tidak mengambil pelajaran dari itu semua dan justru lebih banyak berbuat sia-sia?”

“Ada satu alasan yang menyebabkan itu semua. Apa kau tahu apa alasan itu, satu hal yang membuat mereka semakin lalai dan berbuat sia-sia?

Aku masih terdiam. Tak berani kuangkat kepalaku untuk menatap wajahnya. “Aku tak tahu apa penyebabnya, tolong beritahu aku …”

“Itu karena kebanyakan manusia terlalu panjang angan, mereka berpikir jika waktu masih panjang. Mereka berpikir jika jatah hidup mereka di dunia masih lama. Karena itulah manusia terlalu sering menunda untuk taat dan memberi manfaat untuk sesama. Mereka menunggu waktu tua untuk menjadi taat, padahal siapa yang tahu jatah umur mereka.”

“Apakah aku termasuk dari mereka itu…?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar dari mulutku, tanpa kusadari. Aku ragu sendiri, aku takut mendengar jawaban darinya.

Dia terdiam. Tak ada jawaban. Hanya sekelebat senyum yang diberikan. Dia mulai berjalan perlahan meninggalkanku. Sepertinya itu sudah cukup, diam dan senyumnya sudah cukup memberikan jawaban padaku.

“Lalu apa yang harus aku lakukan, bukankah sudah terlambat jika aku baru menyadarinya sekarang?”

“Aku akan sangat bahagia jika setelah berpisah denganku kau bisa menjadi manusia yang lebih baik. Manusia yang lebih taat dan bermanfaat. Taat kepada Tuhanmu dan bermanfaat bagi sesamamu. Dan jika itu terjadi, aku merasa kebersamaan kita sebulan ini tidak sia-sia. Dan itulah yang diharapkan Raab-Mu akan kehadiranku.”

Aku sedikit lega mendengarnya.

“Apakah tahun depan kita masih bisa berjumpa lagi?”

Dia kembali tersenyum mendengar pertanyaanku. “Aku tak bisa berjanji, jika Dia menghendaki kita masih bisa bertemu, tapi jika Dia berkehendak lain kau pun tak bisa menolaknya.”

“Aku harus segera pergi, namun sebelumnya ada satu pesan yang ingin kutitipkan untukmu. Pesan yang semoga bisa terus kau ingat sepanjang hayatmu. Aku meyakini kau bisa menjadi hamba yang taat dan sekaligus bermanfaat jika selalu bisa mengingatnya ”

Jika hidup ini melenakan,

Jika hidup ini benar-benar hanya sesaat

Jika akhirat betul-betul lebih dari dunia

Jika surga beserta kenikmatannya,

Dan neraka dengan semua siksanya ternyata benar adanya

Jika ini Ramadan terakhir untukmu

Dan jika ibadah yang akan kau lakukan adalah yang terakhir kalinya

Akan seperti apa kau menjalaninya…?

“Di sanalah kuncinya, perbanyaklah mengingat mati. Jangan berpikir jika hidupmu masih lama. Semakin kau berpikir hidup masih lama, semakin sering kau menunda ketaatan dan semakin sering kau berada dalam kelalaian. “

Itulah kata-kata terakhir yang diucapkannya pagi ini. Dia telah pergi, berjalan bersama pelita  yang akan membawanya ke peraduan di ujung barat nanti. Dia pergi, meninggalkan pertanyaan yang masih belum bisa ku menjawabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun