Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

"Mbak Wayan, Ini Jangan!"

3 September 2021   21:19 Diperbarui: 3 September 2021   21:37 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: osc.medcom.id

Peristiwa lucu ini terjadi saat aku duduk di Kelas 3 Sekolah Dasar. Kala itu, ayahku mendapat beasiswa untuk belajar di salah satu Sekolah Tinggi di Kota Gudeg.

Suatu ketika, saat liburan semester ayahku mengajak tiga sahabatnya menginap di rumah kami di Kota Semarang. Kebetulan mereka tidak pulang ke kampung halaman masing-masing. Boleh jadi  demi menghemat pengeluaran. Namanya juga mahasiswa, kan?  

Tentu saja kami menyambut mereka dengan senang hati. Suatu kehormatan bila tamu berkenan menginap di rumah kami. Meskipun rumah kami sangat tidak layak untuk menerima tamu---rumah kami berdinding papan dan berlantai semen---tetapi ruang hati kami semewah hotel bintang lima. Haha, lebay ya?!

 

Ketiga sahabat ayahku berasal dari luar Jawa. Mereka adalah Om Sahat dari Sumatera Utara, Om Yosef dari Pulau Timor bagian Timur (sekarang menjadi Timor Leste), dan Tante Wayan dari Bali. Sementara kami adalah keluarga Jawa dengan sedikit sentuhan Madura. Wah, Indonesia mini!

Dalam keseharian, keluarga kami berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Jawa. Alih-alih menggunakan krama inggil---bahasa Jawa halus---yang relatif sulit, untuk berbicara dengan ayah ibu, aku dan saudara-saudaraku memilih berbahasa Indonesia. Jadi, ketika sahabat ayah bertamu kami pun berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Sungguh beruntung ada bahasa Indonesia.   

Untuk menjamu tamunya, ibu memasak cukup banyak makanan. Tentu semuanya masakan khas Jawa. Sebenarnya hanya masakan sederhana, seperti sayur lodeh, sayur bening, perkedel jagung, tahu-tempe goreng, ikan asin, dan sambal terasi. Namun, rasanya luar biasa karena ibuku jago masak.

Seperti keluarga besar kami pun makan bersama mengelilingi meja kayu sederhana. Ayah dan ibu, Om Sahat, Om Yosef, Tante Wayan, dan aku bersama kakak serta dua adikku. Dalam temaram lampu petromaks, rumah kami terasa bagai surga dunia. Terlebih karena hari itu banyak makanan. Aih! 

Selayaknya nyonya rumah yang baik, ibuku sibuk menawarkan ini-itu kepada para tamunya. Harapannya semua masakan ludes dinikmati, terlebih oleh ketiga sahabat ayah.

Tambah lagi nasinya; ini tahu/tempe gorengnya; ayo jangan malu-malu; dan sebagainya. Itulah kalimat-kalimat yang terucap oleh ibu sepanjang acara makan.   

"Mbak Wayan, ini jangan!" kata ibu sambil menunjuk mangkuk berisi sayur lodeh yang menggiurkan.

Tante Wayan tersenyum simpul seraya mengangguk-angguk. Dia pun sama sekali tidak menyentuh mangkuk tersebut. 

Aku yang masih anak-anak kala itu hanya berpikir mungkin orang Bali tidak menyukai sayur bersantan khas Jawa itu. Mungkin lidahnya tidak bisa menerima rasanya. Boleh jadi ibu juga merasa heran, jarang sekali ada orang yang tidak antusias dengan masakannya.  

Sementara, Om Sahat dan Om Yosef tidak mengalami masalah dengan semua masakan yang tersaji. Seperti kami dan ayah, tampaknya mereka bahkan sangat menyukai masakan ibu dan makan dengan lahap.  

Mengira Tante Wayan malu atau sungkan, ibu segera beranjak seraya mengangkat wadah sayur dan mengangsurkannya kepada Tante Wayan.  

"Kenapa nggak diambil? Ayolah dicoba dulu, enak lho!" ujar ibu memuji masakan sendiri.

"Tapi, tadi kan Ibu bilang "jangan", makanya saya tidak berani ambil. Sebenarnya saya pengin juga mencicipi!" jawab Tante Wayan sambil menyendok sayur dengan antusias.

Sekejap ayah, ibu, Om Sahat dan Om Yosef tertawa. Sementara kami, anak-anak hanya berani cekikikan. Aku yang ingin tertawa lepas takut kualat. Hahaha ... telah terjadi miskomunikasi rupanya.

"Oalah ... maaf, Mbak Wayan! Maksud saya tadi menawarkan sayur lodeh ini. Dalam bahasa Jawa, jangan artinya sayur."  Menyadari kesalahannya, ibu meminta maaf dan memberi penjelasan. Ibu telah mencampuradukkan kosa kata bahasa Jawa dan Indonesia dalam satu kalimat.

Mendengar penjelasan itu Tante Wayan pun akhirnya ikut tertawa. Kami, anak-anak pun berani tertawa lepas tanpa takut kualat. Apalagi melihat ketiga pria dewasa yang lebih dahulu terbahak-bahak.

Jangan lodeh jangan terik
Jangan toge jangan bayem
Kowe kabeh sing pipine dekik
Tambah oke yen podo mesem

Ah, betapa indahnya Bhinneka Tunggal Ika.

Depok, 3 September 2021

Salam Humor, Dwi Klarasari

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun