Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Lagu Karya Bung Karno dan Ki Nartosabdo Ini Sampaikan Pesan Penting

20 Agustus 2021   10:46 Diperbarui: 24 Agustus 2021   17:03 1421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Merah Putih di areal persawahan Pedukuhan Dobangsan, Kelurahan Gripeni, Wates, Kulon Progo, DIY (Sumber: regional.kompas.com)

"Ciptakan lagu atau menyanyilah untuk menyampaikan pesan atau aspirasimu." ~ dwiklara

Setelah cukup lama absen bermedsos, kemarin saya menyempatkan diri berselancar di linimasa Instagram. Tetiba saya terpana dengan akun @mustikoworo yang melantunkan lagu berbahasa Jawa. Ia nembang dengan logat Jawa yang kental, luwes, dan sangat memesona.

Selidik punya selidik ternyata gadis berparas ayu tersebut adalah Woro Mustiko, salah satu kontestan Indonesian Idol 2021. Sebelum mengikuti ajang tersebut ia sudah populer sebagai penari sekaligus penyanyi keroncong di Solo, Jawa Tengah.

Ah, pantas saja luwes sekali mahasiswi ISI Surakarta ini melantunkan tembang Jawa! Saking terpesona saya sampai terinspirasi untuk mengulik makna tembang yang dilantunkannya, yang sejatinya memang sangat istimewa.  

Ya, tembang Lancaran 45 tersebut merupakan karya kolaborasi dua tokoh termasyhur negeri ini. Mereka adalah Bung Karno (1901-1970), Proklamator sekaligus Presiden I RI yang dikenal sangat mencintai seni dan Ki Nartosabdo (1925-1985), seorang seniman musik dan tokoh pedalangan legendaris dari Jawa Tengah.

Bagi sebagian masyarakat Jawa mungkin Lancaran 45 cukup familier. Tembang ini menggaungkan hari kemerdekaan Indonesia serta ajakan untuk bergotong royong membangun negeri. Sebagaimana Hari Merdeka karya H. Mutahar dan lagu-lagu pengobar semangat kebangsaan lain, tembang ini pun mestinya jadi lagu wajib setiap Agustus-an.

Bung Karno dan Ki Nartosabdo (Sumber: kompaspedia.kompas.id dan p2k.um-surabaya.ac.id
Bung Karno dan Ki Nartosabdo (Sumber: kompaspedia.kompas.id dan p2k.um-surabaya.ac.id

Yuk, simak liriknya!

Galo kae genderane kumlebat angawe-awe
Abang Putih Sang Dwiwarna iku lambang sejatine
Negara kita wus merdika, kang adhedhasar Pancasila
Dumadi kalaning tanggal pitulas Agustus sasine
Nuju tahun sewu sangangatus patang puluh lima

Rambate rata hayu, holopis kuntul baris
Rambate rata hayu, holopis kuntul baris

Tumandang bareng maju, tunggal tekad rahayu
Merdika, merdika, merdika
Bumi klairanku
Merdika, merdika, merdika
Wus tetep merdika

Penasaran bagaimana Woro Mustiko melantunkannya? Silakan klik tautan ini!

Foto tangkap layar Instagram @mustikoworo
Foto tangkap layar Instagram @mustikoworo

Secara bebas, tembang tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:

Lihatlah di sana, benderanya berkibar dan terus memanggil
Merah Putih Sang Dwiwarna lambang nan sejati
Negara kita telah merdeka dengan dasar Pancasila
Terjadi pada tanggal tujuh belas bulan Agustus
Tahun seribu sembilan ratus empat puluh lima  

Rambate rata hayu, holopis kuntul baris
Rambate rata hayu, holopis kuntul baris

Bekerja maju bersama, bersatu tekad membangun kebaikan
Merdeka, merdeka, merdeka
Bumi tempat kelahiranku
Merdeka, merdeka, merdeka
Kita tetap merdeka

Bendera Merah Putih di areal persawahan Pedukuhan Dobangsan, Kelurahan Gripeni, Wates, Kulon Progo, DIY (Sumber: regional.kompas.com)
Bendera Merah Putih di areal persawahan Pedukuhan Dobangsan, Kelurahan Gripeni, Wates, Kulon Progo, DIY (Sumber: regional.kompas.com)

Lewat larik-larik bait pertama diserukan bahwa negara kita, Indonesia telah meraih kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Sang Dwiwarna Merah Putih sebagai bendera negara, sedangkan dasar negaranya bernama Pancasila.

Sementara, menurut saya, bait kedua merupakan yel-yel yang dipekikkan demi mengobarkan semangat gotong royong. Sekalipun bagian dari tembang Jawa, saya kurang yakin apakah “rambate rata hayu” merupakan bahasa Jawa. Namun, layaknya yel-yel bisa saja tidak memiliki arti harfiah.

Menurut catatan Hersri Setiawan dalam Memoar Pulau Buru (Indonesiatera, 2004), kalimat “Rambate Rata Hayu” berasal dari daerah Pasundan. Seruan tersebut oleh Bung Karno digunakan sebagai simbol tekad kegotongroyongan—seperti dirujuknya dari Bung Karno, Lahirnya Pantja Sila.   

Apakah artinya kalimat tersebut dari bahasa Sunda? Entahlah. Saya belum yakin karena sebuah kabupaten di Sumatera Utara, tepatnya Kabupaten Asahan—yang sebagian besar penduduknya bersuku Melayu—memiliki semboyan “Rambate Rata Raya”. Ada kata-kata yang sama, ya? Disebutkan artinya adalah kerja keras bersama untuk menuju masyarakat adil dan makmur.

Tampaknya saya perlu membaca lebih banyak referensi untuk mengetahui lebih dalam. Kalau teman-teman punya informasi, tolong bagikan di kolom komentar ya!

Namun, berasal dari bahasa daerah apa pun, yang pasti kalimat tersebut memiliki makna ajakan untuk serentak bergotong royong. Makna kalimat tersebut disempurnakan dengan kalimat lanjutan “holopis kuntul baris”.

Kalimat “holopis kuntul baris” dapat dijumpai dalam pidato Bung Karno tentang Pancasila dalam pertemuan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Petikan dari pidato sepanjang hampir 19 halaman (sekitar 6.700 kata) yang memuat "holopis kuntul baris" tersebut berbunyi sebagai berikut:

“... 'Gotong royong' adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari 'kekeluargaan' saudara-saudara! ... gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, .... Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan bersama, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis- kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah Gotong Royong!”

Diketahui Bung Karno memang kerap menggunakan jargon tersebut untuk menggelorakan semangat rakyat demi menggalang persatuan dan kekuatan. Mungkin lebih tepat jika beliau dikatakan memopulerkan kembali karena seruan tersebut konon sudah dikenal dalam masyarakat Jawa sejak lama.  

Menurut Wikipedia, kuntul adalah jenis burung dari keluarga Ardeidae. Di beberapa daerah jenis burung byang masih satu keluarga dengan kuntul juga dikenal sebagai burung cangak atau kowak. Burung berbulu putih ini dapat dijumpai di persawahan dan mangrove.  

regional.kompas.com
regional.kompas.com

Pemangsa ikan, katak, dan aneka hewan kecil ini lazimnya datang dan pergi secara bersama-sama. Saat terbang berkelompok satwa berkaki panjang ini cenderung membentuk formasi seperti sedang berbaris. Tampaknya jargon “holopis kuntul baris” terinspirasi dari fenomena tersebut.

travel.kompas.com
travel.kompas.com

Kembali pada tembang Lancaran 45! Jelaslah bahwa makna yel-yel “rambate rata hayu, holopis kuntul baris” adalah bagian yang menghantar kepada ajakan yang disuguhkan pada bait berikut. Ajakan tersebut adalah “bekerja maju bersama, bersatu tekad membangun kebaikan”.

Sebagai penutupnya, lagu ini terus-menerus menggaungkan semangat kemerdekaan. Indonesia tanah air kita telah merdeka, dan akan tetap merdeka.

Kiranya pesan penting dalam lagu karya kolaborasi antara bapak bangsa bersama dalang wayang kulit terbaik Indonesia ini akan senantiasa menginspirasi kita.  

Semoga rahmat kemerdekaan yang diperjuangkan dengan tidak mudah oleh para pahlawan senantiasa menyemangati kita. Tentu bukan semangat individual berbalut egoisme, melainkan semangat gotong royong untuk satu tujuan, yaitu kemakmuran bangsa. 

Alih-alih melontarkan hujatan ini-itu dan memecah belah bangsa, lebih elok bila kita bergotong royong.

Terbukti dengan gotong royong bangsa kita berhasil merdeka dari kaum penjajah. Dengan gotong royong bangsa kita pun mampu melakukan pembangunan, fisik maupun nonfisik. Dengan gotong royong bangsa kita pun pasti mampu menghadapi segala masalah yang menghadang, termasuk melepaskan diri dari belenggu pandemi Covid-19.

Merdeka, merdeka, kita tetap merdeka. Holopis kuntul baris!

Depok, 20 Agustus 2021
Salam Merdeka, Dwi Klarasari

Bacaan pendukung:  
1.  Setiawan, Hersri. 2004. Memoar Pulau Buru. Jakarta: Indonesiatera.
2  | 3  |  4  |  5  |  6  |

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun