“Saya benar-benar salut dengan ketekunan anak itu! Dia sudah jualan keliling di kompleks ini dari tahun 90-an, kurasa saat itu dia masih anak-anak atau remaja. Teringatnya, dulu dia menjajakan dagangan naik sepeda.”
Demikian kira-kira kesaksian seorang warga senior di Perumnas Depok I, Depok Jaya yang penulis dengar tahun 2011. Lama sekali kisah tersebut mengendap dalam ingatan penulis.
Berjualan Tempe Demi Melanjutkan Sekolah
Setelah beberapa tahun tinggal di Depok, penulis bisa niteni ‘mengenali’ sejumlah pedagang keliling di kompleks. Sebentar, penulis akan coba mengingatnya!
Ada beberapa penjual roti; beberapa penjual bubur; juga penjual makanan berat, seperti lontong sayur, ketoprak, taoge goreng, satai padang/madura, bakwan malang, dan bakso. Ada penjual minuman, seperti jamu, susu, yogurt, dan cincau. Setidaknya ada 3-4 penjual sayur; sejumlah penjual lauk pauk, seperti tahu, tempe, bandeng presto, ayam ungkep, dan ikan; penjual buah, rujak, juga camilan seperti siomay dan gorengan.
Itu belum semua; bahkan penjual perabot dan aneka jasa belum disebut. Sehari-hari ada lebih dari 30 pedagang keliling yang mengadu untung di kompleks.
Nah, anak/remaja yang kisahnya mengendap dalam ingatan penulis adalah penjual tempe. Remaja tahun 90-an tersebut kini telah menjelma lelaki dewasa. Perawakannya tidak terlalu tinggi, agak gempal, dan berkulit sawo matang. Dari suaranya yang berlogat Jawa kental—maklum leluhurnya dari Blitar—kita dapat merasakan keramahan.
Muhamad Nurtanji, demikian nama pemberian orang tuanya. Penulis memanggilnya Mas Tanji. Dia pedagang keliling dengan dagangan utama berupa tempe dan tahu ditambah beberapa jenis dagangan lain.
Kesaksian warga senior pada pembuka tulisan benar adanya. Mas Tanji sudah berjualan tempe sejak pertengahan 1993. Tamat dari Madrasah Tsanawiyah (SMP) dia terpaksa berhenti sekolah karena takada biaya. Namun, dia bertekad melanjutkan sekolah. Dia berinisiatif mengumpulkan uang dengan berjualan tempe. Setelah jeda setahun, akhirnya dia bisa duduk di bangku SMA sambil terus berjualan.
“Awal mula berjualan untuk biaya sekolah. Pagi jualan, siang sekolah,” kata Mas Tanji. Dia mengambil dagangan dari bapaknya karena kebetulan beliau perajin tempe rumahan sekaligus menjualnya. Dia berkeliling di area Depok I, sedangkan sang bapak di area Depok II.
Terbayang dalam benak penulis betapa setiap hari—selama tiga tahun—Nurtanji remaja harus bermandi peluh ngonthel sepeda berjualan keliling. Sepulang jualan dia harus bergegas ke sekolah—belajar dari siang hingga sore hari.