22 Februari 2021, 23:00 WIB
Horas Diari,
Boha do baritam?
Ups! Tenang Di, jangan berkerut begitu dong. Aku ndak akan ngobrol pakai bahasa daerah seperti kemarin. Lagipula aku tak pandai memakai bahasa ibu si Poltak-tokoh novel Prof. Felix Tani. (Oya, jadi teringat untuk melanjutkan baca Novel Poltak. Ingatkan ya, Di! Mulai dari awal saja, maklum sudah lama terhenti). Kembali lagi tentang bahasa, aku yakin kamu menguasai banyak bahasa, Di.
Rasanya kehebatanmu 11-12 dengan Mbah Gugel, termasuk dalam penguasaan bahasa! Bedanya kamu pendengar setia yang tenang-tenang saja menerima curhat kaum cengeng (meminjam istilah Prof. Felix Tani) seperti diriku. Kamu bisa menerima dan paham kalau aku sok njawani, keminggris atau sok mengutip istilah asing mana pun, termasuk kalau kupakai bahasa kalbu. Â
Jadi, yang dikhawatirkan Pak Joko 'Jepe Jepe' dalam obrolan kita berbahasa Jawa kemarin tidak pernah terjadi. Benar kan, Di?
Itu cuma intermezo Di, lupakan saja! Tetiba aku pengin cerita-tepatnya curhat-hal ihwal bertetangga. Kamu tahu kan, sebagai seorang kontraktor aku sudah bertemu dengan beragam tipe tetangga. Ssstt... yang kumaksud kontraktor di sini adalah tukang ngontrak atau menumpang ke sana kemari. Hehe.
Begitulah Di! Aku pernah menumpang hidup di kompleks militer; dekat gerbang kompleks kejaksaan; di daerah permukiman biasa; di rumah petak bertingkat rasa apartemen; dan sebagainya. Di berbagai tempat itulah aku bertemu dengan aneka tipe tetangga.Â
Ada yang baik hati dan tidak sombong; ada yang suka kirim-kirim makanan (Belum sempat dibalas sudah kirim lagi! Hehe); ada yang suka membantu ini-itu, ada yang datang kalau minta tolong saja; ada yang pendiam, ada yang hobi ngrumpi; ada yang rajin menyapa, tapi ada juga yang diajak senyum pun tetap bergeming.
Aku sendiri belum pernah menyelidiki bagaimana sosokku di mata tetangga. Mungkin berbeda untuk setiap tetangga, tergantung kedekatan atau intensitas perjumpaan. Mungkin ada juga yang menilai negatif karena aku sama sekali ndak sempurna. Jangan-jangan ada kebiasaan buruk yang pernah kulakukan. Semoga karena khilaf, dan takada yang membenciku. Sedih lho Di kalau kita punya haters.
Walaupun begitu, sependek ingatanku aku tidak pernah berselisih dengan tetangga. Kalau sok akrab, iya! Namun, bila tanpa sengaja aku berbuat salah, lewat artikel ini aku meminta maaf kepada mantan induk semang dan para tetangga yang pernah kubuat kecewa. Mereka yang sekarang masih eksis juga, deh!
Tunggu, Di! Aku ingat pernah membuat tetanggaku kesal! Waktu tinggal di rumah petak, tetangga sebelah sering komplain karena aku hobi bikin jus jambu biji. Pasalnya, si Uni itu ndak suka aroma jambu biji. Aneh aja, sih!
"Mbak Klaraaa.... aduuuh! Pasti beli jambu lagi ya?" keluhnya setiap kali aku membeli jambu atau sedang asyik bikin jus jambu. Heran juga, penciuman dia sangat tajam. Kurasa aroma buah jambu itu terbawa oleh sepoi angin yang bertiup kuat dari hamparan sawah di belakang "apartemen". Ingat kan Di, "apartemen" di pinggiran Jakarta yang masih asri. Â
Biasanya aku tertawa seraya berseru menawarkan jus itu, "Jambu biji banyak mengandung vitamin C, tahu!"
Jangan curiga dulu Di, kami tidak berantem! Kebetulan tak lama setelah berkenalan kami langsung bersahabat. Jadi, apa yang dia katakan itu semacam komplain dalam bentuk canda, dan tanggapanku juga sekadar guyon. Begitu pun, demi kebahagiaan sahabat (sekaligus tetangga) aku kurangi jadwal mengonsumsi jambu biji. Sesekali saja kalau sedang teramat pengin.
Oya, aku juga pernah komplain pada tetangga perihal aktivitasnya memutar perangkat audio, "Please Mr. D, jangan terlalu kenceng dong, aku juga pengin dengar musik favoritku!"
Keluhan itu kusampaikan kepada Mr. D (nama panggilannya, mirip kamu ya Di?) dengan cara bercanda karena tetangga yang satu ini kebetulan juga sudah menjadi sahabatku. Kamu ingat kan Di, sejumlah penghuni dari 14 pintu rumah petak dua lantai rasa apartemen itu sudah bersahabat karib. Kami datang dari berbagai suku (bahkan negara) dan agama; sudah ataupun belum berkeluarga; punya ataupun belum memiliki anak; orang kantoran atau wiraswasta; dan sebagainya.
Masalahnya Di, tidak semua tetangga bisa saling komplain dalam irama canda tawa seperti pengalaman tersebut. Apalagi kalau relasinya tidak terlalu akrab atau saling sungkan, apalagi kalau terkait masalah yang bersifat personal.
Suatu kali pernah ada suami-istri bertengkar dengan saling melempar piring gelas, dll. Kami para tetangga tidak berani mendekat. Takut ikut kena timpuk! Setelah mereka kehabisan piring gelas barulah kami datang mendamaikan. Hahaha, bercanda Di!  Â
Kejadian seperti Mr. D pun pernah terulang dengan tetangga di tempat lain. Tetanggaku ini sering keasyikan memutar musik. Lagu-lagunya berganti-ganti dari beragam genre. Setiap orang memiliki hak untuk menikmati musik favoritnya. Aku pun suka mendengarkan musik.Â
Kamu pasti sepakat perihal manfaat musik dalam aktivitas kepenulisan. Dalam salah satu artikelnya, Mas Khrisna Pabichara menyarankan untuk menulis sembari mendengar musik. Musik dapat memantik relaksasi hingga mudah berkonsentrasi, mengantar pikiran ke negeri khayal, ke padang imajinasi. Demikian sekelumit uraian sang penulis gaek ini dalam artikel Jika Otakmu Butek, Menulislah Sambil Mendengarkan Musik.
Masalahnya beliau itu memutar musik dengan volume kenceng. Lebih keras dari suara audio Mr. D. Kalau kata Eyangku, kaya wong duwe gawe 'seperti orang punya hajat'. Bukan sekali itu saja Di, tapi aku tidak berani melontarkan teguran. Aku cuma melipat-lipat kekesalan dan menyimpannya di sudut hati.Â
Bayangkan Di! Kalau perangkat audionya sudah aktif, aku bahkan takbisa mendengar jelas suara di sekelilingku. Suara Cakra Khan di kanal radio 100% musik Indonesia favoritku bahkan tidak mampu bersaing. Kasihan deh, kuperhatikan Cakra Khan sampai harus berteriak-teriak hingga suaranya serak. Ups maaf blunder, Di! Karakter vokal penyanyi berdarah Sunda itu memang serak.
Hanya satu yang bisa kulakukan Di, yaitu "mengalungkan jimat kesabaran".
Suatu hari setelah "berkalung jimat kesabaran" kuputar radio di ponsel karena berniat mendengarkan siaran favorit. Sambil mencuci piring kutajamkan telinga menyimak kocaknya obrolan "pagi-pagi" diselingi sederet lagu yang berpotensi jadi mood booster. Â Â
Sayang 1000 sayang, ternyata suara audio tetangga jauh lebih kuat hingga berhasil menguasai gendang telingaku. Meskipun sedikit kesal, aku hanya bisa pasrah. Sampai tetiba-entah bagaimana-aku terbawa dengan irama serta lirik lagu yang sedang diputar. Lagu tradisional Batak berjudul Sai Anju Ma Au yang tampaknya sudah pernah disimpan oleh memori otakku.Â
Lagu ciptaan Almarhum Tigor Gipsy dan dipopulerkan oleh Victor Hutabarat ini berkisah tentang sepasang kekasih (atau mungkin pasutri, ya?). Salah seorang dari keduanya acap kali marah bahkan kadang tanpa sebab sehingga menghancurkan hati yang lain. Pasangan yang bersedih itu meminta agar si dia memberitahukan kesalahannya dengan mesra, alih-alih selalu marah.Â
Demikian kisah yang bisa kutangkap. Begitu pun hanya bagian akhir lirik lagu ini yang bisa kuhafal luar kepala. Â Â
...
Molo adong na salah manang na hurang pambahenakki
Sai Anju ma au... Sai anju ma au, Ito hasian
Sai anju ma au... Sai anju ma au, Ito na lagu
 Sekejap tanpa kusadari kekesalan dalam hatiku menguap entah ke mana. Bibirku pun refleks ikut menyanyikan lagu itu. Aih! Kekesalan lantas berganti dengan pemakluman atas kebiasaan si tetangga. Aku pun merasa lebih legawa 'ikhlas'. Bagaimana bisa?
Begini Di, sambil rengeng-rengeng 'menyanyi pelan' memoriku mengingat makna lagu tersebut. Ya, meskipun hanya satu dua kata dari bahasa ibu Poltak yang kumengerti, tapi aku tahu kisah dalam lagu yang menurutku tergolong romantis itu. Dalam komunitas yang pernah kuikuti, teman-teman suka banget menyanyikannya. Minimal aku tahu arti dari sebagian refrein (?). Coba kamu simak, deh!
Molo adong na salah manang na hurang pambahenakki... Seandainya ada salah dalam perbuatanku
Sai anju ma au... beri tahu aku dengan mesra.
Sai anju ma au, Ito hasian... beri tahu aku dengan mesra, sayangku
Â
Diari kamu sudah dengar kan? Lagunya mendayu takada nada kemarahan. Walaupun hanya sebagian, lirik lagu tersebut seolah-olah mengetuk pintu hatiku. Aku seperti diingatkan, bahkan didorong-dorong untuk berusaha meredam kekesalan. Kalau boleh berkata bijak, makna lirik lagu itu menuntut penerapan dalam konteks hidup bertetangga. Â Â
Kalaupun tetangga melakukan kesalahan, kita jangan asal marah. Sebaiknya tegurlah mereka dengan bahasa yang santun dan suara lembut.
Begitulah kira-kira!
Bagaimanapun, dalam bertetangga juga diperlukan pengendalian diri. Tidak serta merta melampiaskan rasa kesal atau amarah kepada tetangga. Tidak berlebihan. Apalagi bila kuingat pitutur para tetua yang diajarkan sejak di bangku sekolah dasar.
Sejatinya, tetangga adalah "saudara terdekat" yang akan menolong kalau terjadi sesuatu pada diri kita. Saudara dan keluarga yang berada jauh dari rumah adakalanya justru hadir belakangan.Â
Aku turut mengamini pitutur tersebut karena sudah melihat dan mengalaminya. Selain berbagi hal receh, seperti saling tersenyum dan menyapa atau berkirim makanan, dalam bertetangga sudah semestinya kita saling membantu. Tetangga di kampungku bahkan berbaik hati menyapu guguran daun mangga yang mengotori jalan dan halaman rumah ketika kami semua bepergian. Kami juga percaya untuk saling menitipkan kunci rumah dan paket JNE. Saat mengalami masalah atau musibah tetangga pasti juga turut membantu, bahu-membahu.
Konon, kehidupan bertetangga tidak dapat digantikan dengan sekadar bersosialisasi di dunia maya. Bagaimanapun kita adalah makhluk sosial, kehadiran fisik tetangga yang cenderung saling memengaruhi juga sangat diperlukan. Saling toleransi pun menjadi sebuah keniscayaan.
Wah, bisa panjang lagi kalau dibicarakan Di. Kembali pada inti curhat aja ya. Kesimpulannya, aku ndak boleh asal marah pada tetangga dan kalaupun berniat komplain disampaikan dengan santun dan lembut. Sai Anju Ma Au, Diari!
Sudah dulu Di, sampai bertemu lagi!
Dwi Klarasari Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H