Masalahnya beliau itu memutar musik dengan volume kenceng. Lebih keras dari suara audio Mr. D. Kalau kata Eyangku, kaya wong duwe gawe 'seperti orang punya hajat'. Bukan sekali itu saja Di, tapi aku tidak berani melontarkan teguran. Aku cuma melipat-lipat kekesalan dan menyimpannya di sudut hati.Â
Bayangkan Di! Kalau perangkat audionya sudah aktif, aku bahkan takbisa mendengar jelas suara di sekelilingku. Suara Cakra Khan di kanal radio 100% musik Indonesia favoritku bahkan tidak mampu bersaing. Kasihan deh, kuperhatikan Cakra Khan sampai harus berteriak-teriak hingga suaranya serak. Ups maaf blunder, Di! Karakter vokal penyanyi berdarah Sunda itu memang serak.
Hanya satu yang bisa kulakukan Di, yaitu "mengalungkan jimat kesabaran".
Suatu hari setelah "berkalung jimat kesabaran" kuputar radio di ponsel karena berniat mendengarkan siaran favorit. Sambil mencuci piring kutajamkan telinga menyimak kocaknya obrolan "pagi-pagi" diselingi sederet lagu yang berpotensi jadi mood booster. Â Â
Sayang 1000 sayang, ternyata suara audio tetangga jauh lebih kuat hingga berhasil menguasai gendang telingaku. Meskipun sedikit kesal, aku hanya bisa pasrah. Sampai tetiba-entah bagaimana-aku terbawa dengan irama serta lirik lagu yang sedang diputar. Lagu tradisional Batak berjudul Sai Anju Ma Au yang tampaknya sudah pernah disimpan oleh memori otakku.Â
Lagu ciptaan Almarhum Tigor Gipsy dan dipopulerkan oleh Victor Hutabarat ini berkisah tentang sepasang kekasih (atau mungkin pasutri, ya?). Salah seorang dari keduanya acap kali marah bahkan kadang tanpa sebab sehingga menghancurkan hati yang lain. Pasangan yang bersedih itu meminta agar si dia memberitahukan kesalahannya dengan mesra, alih-alih selalu marah.Â
Demikian kisah yang bisa kutangkap. Begitu pun hanya bagian akhir lirik lagu ini yang bisa kuhafal luar kepala. Â Â
...
Molo adong na salah manang na hurang pambahenakki
Sai Anju ma au... Sai anju ma au, Ito hasian
Sai anju ma au... Sai anju ma au, Ito na lagu
 Sekejap tanpa kusadari kekesalan dalam hatiku menguap entah ke mana. Bibirku pun refleks ikut menyanyikan lagu itu. Aih! Kekesalan lantas berganti dengan pemakluman atas kebiasaan si tetangga. Aku pun merasa lebih legawa 'ikhlas'. Bagaimana bisa?
Begini Di, sambil rengeng-rengeng 'menyanyi pelan' memoriku mengingat makna lagu tersebut. Ya, meskipun hanya satu dua kata dari bahasa ibu Poltak yang kumengerti, tapi aku tahu kisah dalam lagu yang menurutku tergolong romantis itu. Dalam komunitas yang pernah kuikuti, teman-teman suka banget menyanyikannya. Minimal aku tahu arti dari sebagian refrein (?). Coba kamu simak, deh!
Molo adong na salah manang na hurang pambahenakki... Seandainya ada salah dalam perbuatanku
Sai anju ma au... beri tahu aku dengan mesra.
Sai anju ma au, Ito hasian... beri tahu aku dengan mesra, sayangku
Â