Semalam--sudah hampir tengah malam--Suster Yustin menelepon aku. Beliau memintaku jadi juru foto di pesta natal Panti Asuhan Bocil. Kabarnya, seksi dokumentasi mendadak sakit. Mengingat hubungan baik kami, spontan kusanggupi tanpa berpikir aku bakal terlambat bangun.
Maklum, sudah beberapa hari aku tidur menjelang dini hari. Jadi, potensi bangun kesiangan sangat besar! Â
Beginilah hasilnya, juru foto dadakan terlambat 30 menit. Bergegas kuparkir motor dan berlari ke gedung aula yang berada di belakang kantor pengelola. Lega rasanya saat mendapati acara baru saja dimulai.
Terdengar pewara mempersilakan seseorang untuk memberi sambutan sekaligus memimpin doa pembukaan. Penjelasan tentang sosok terhormat itu tidak terdengar jelas, tetapi kudengar namanya Pastor Stefan. Dari barisan belakang aku takbisa mengenali raut wajahnya.
Tanpa kacamata aku hanya mampu melihat jelas sampai jarak tiga meter saja. Sekilas gestur pria berjubah itu tampak ramah dan bersahabat. Tanpa membuang waktu segera kubidikkan kamera ke arah panggung. Beruntung lensa panjangku sudah siap terpasang.
Saat kutangkap sosok tampan yang sedang berdiri di atas panggung, kameraku nyaris saja terlepas saking terkejut.
***
"Ethaaa!" suara renyah Suster Yustin membuyarkan lamunanku.
"Ya, Sus!" jawabku sekenanya.
Suster Yustin mendekat dan berbisik lembut, "Sebelum anak-anak manggung, tolong kamu ambil fotonya ya!"
"Siap 86, Susterku cantik!" sahutku sambil mengangkat tangan memberi kode 'oke'.
Suster Yustin tersenyum lebar mendengar jawabanku yang sedikit bercanda.
"Suwun yo wuk, pokokmen aku padamu lho!" balas Suster Yustin meningkah canda seraya menepuk-nepuk bahuku.Â
Dalam sekejap aku beranjak ke belakang panggung. Sejumlah kru dan anak-anak terllihat sibuk dengan berbagai persiapan pementasan drama kelahiran Yesus.Â
Kuambil foto candid untuk menangkap ekspresi natural anak-anak serta kru panggung. Sangat menyenangkan. Karena berjarak cukup jauh aku bebas membingkai sejumlah ekspresi tanpa mengganggu aktivitas mereka.
Kubingkai ekspresi tawa ceria para gembala bersarung kusam. Ada pemeran tiga raja yang larut dalam canda saling menunjukkan properti hadiah untuk bayi Yesus. Ada wajah-wajah tegang karena demam panggung.
Tertangkap pula raut suntuk para penata rias. Tampaknya mereka dibuat kesal oleh tingkah anak-anak yang berlarian ke sana kemari selagi dirias.
Saat mengambil candid Maria dan Yusuf, tetiba ingatanku melayang ke panggung masa remaja saat aku memerankan tokoh Maria.
Sekejap panggung berubah temaram, sementara lagu Malam Kudus mulai bergema lembut dari perangkat sound system. Kerlip bintang-bintang serta bulan pada backdrop berwarna biru dongker melengkapi suasana malam sunyi nan syahdu. Â
Dari balik tirai, keluar Yusuf dan Maria dalam kostum ala Timur Tengah. Yusuf menuntun Maria yang tengah mengandung. Keduanya berjalan perlahan-lahan berkeliling mencari penginapan. Mengetuk dari pintu ke pintu, tetapi selalu berakhir penolakan.
Akhirnya, bayi Yesus pun harus terlahir dalam palungan di kandang domba. Â
"Wow... kalian tampak serasi!" seru teman-teman usai pertunjukan seraya berebut menyalami aku dan Mas Kelik.Â
Aku tersipu di balik gamis, kostum Bunda Yesus. Walaupun begitu aku bersyukur telah sukses melakonkan peran Maria. Padahal, saat latihan aku sering kali gugup dan salting. Pasalnya di luar panggung aku benar-benar menyukai Mas Kelik, kakak kelas si pemeran Yusuf.Â
Belum lagi karena teman-teman tak berhenti menggodaku setiap kali kami berlatih. Beruntung Mas Kelik kalem saja. Alih-alih marah, dia hanya tersenyum menanggapi gosip tentang rasa sukaku padanya. Dia bahkan dengan sabar mengajari aku cara melakonkan peran Maria dengan baik dan benar.Â
Aku pun semakin jatuh hati pada sosok bijak itu.
***
Sampai kemarin aku masih merindukan dan mengharap perjumpaan kembali dengan Yusuf. Eh, maksudku Mas Kelik, si pemeran Yusuf di panggung natal sebelas tahun silam.
Setelah kepindahan Mas Kelik dari SMP Bruderan, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Konon, ayahnya yang anggota TNI ditugaskan ke ujung timur Indonesia. Di Jayapura, di Tanah Papua.
Saat mengingatnya, aneka tanya berseliweran dalam benak. Setinggi apa dia sekarang, seperti apa wajah dan suaranya, di mana dia kuliah, ambil jurusan apa, masihkah dia bermain teater, dan puluhan pertanyaan lain.
Kalau kami bertemu lagi, akankah dia mengingat cinta monyetku? Atau, sudah adakah kekasih hatinya?
Aku tersenyum sendiri. Begitulah, aku masih saja terlena bila angin musim cinta berdesir lembut menghadirkan bayangan Mas Kelik.
Boleh jadi harapan tersebut bahkan masih ada hingga tadi kuparkir motor di halaman panti asuhan. Apalagi saat kemarin ayah bercerita bahwa beliau baru saja terhubung kembali dengan Pak Winarto, ayah Mas Kelik. Â Â
Kutepuk pipiku.
"Mulai hari ini hentikan harapan cintamu. Ingat... ingat... sosok biarawan muda di atas panggung yang tadi tertangkap oleh lensamu!" bisik hatiku setengah menghardik.
Ya, sepertinya Natal kali ini bakal membiru. Aku harus beranjak menata hati. Yusuf yang dahulu menuntun Maria dalam drama natal, hari ini hadir sebagai sosok berjubah putih dengan kalung salib di dadanya.
Stefanus Kelik Abhipraya telah menjelma 'Pastor Stefan'.
Depok, 25 Desember 2020
Salam Fiksiana, Dwi Klarasari
Catatan:Â
Kisah ini hanya cerita fiksi yang dikembangkan dari pentigraf berjudul sama yang pernah saya anggit di blog pribadi. Adanya kesamaan lokasi dan nama tokoh hanya kebetulan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H