Sebagian melakukannya tanpa rasa bersalah. Bahkan, dengan enteng berdalih. 'Rapopo kanggo tombo pengin (Tak apalah buat pengobat rasa pengin)' atau 'Ah, yang penting sudah difoto dan diunggah ke medsos daripada disangka gak kenal kuliner kekinian, kudet, kamseupay' dan berbagai alasan lain.
Kurangnya penghargaan terhadap makanan telah melanda sebagian anggota masyarakat di berbagai belahan dunia. Secara langsung maupun tidak hal tersebut berpotensi membuat makanan tersia-sia dan dengan mudah akan berakhir di tempat sampah.
Bersyukur tiga minggu belakangan ini-melalui renungan Aksi Adven Pembangunan (AAP)-saya diingatkan untuk menghindari tabiat hedonisme.Â
Kebetulan pula tema yang diusung oleh Gereja Keuskupan Bogor adalah Natal: Paradima Baru terhadap Makanan.
Kami diajak untuk merefleksikan sejumlah kisah sesuai tema, baik dari Kitab Suci maupun kisah kehidupan orang-orang yang layak diteladani. Melalui pertemuan yang dilakukan secara virtual, kami juga saling berbagi pengalaman sehari-hari.
Lewat artikel ini saya ingin berbagi hasil renungan dan diskusi kami dalam AAP tersebut, dan berharap dapat memberikan inspirasi.Â
Ada 3 hal yang dapat diupayakan agar kita dapat lebih menghargai makanan serta mengurangi sampah makanan.
Pertama, menyadari bahwa makanan adalah  berkat Tuhan. Kedua, memahami sampah makanan sebagai masalah keseharian. Ketiga, bijaksana mengolah dan mengelola makanan.
1. Menyadari Makanan adalah Berkat Tuhan
Alkisah, Bunda Teresa pernah diludahi dan menerima hinaan seorang pemilik toko roti. Kenapa? Karena ia meminta roti sisa yang tidak terjual untuk diberikan kepada gelandangan dan orang miskin.
Alih-alih marah atau sakit hati, sebelum pergi Bunda Teresa justru berlutut mendoakan agar si pengusaha berkelimpahan berkat.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!