Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayah, "Saudara Lelakinya", dan Jalan Aksaraku

12 November 2020   17:58 Diperbarui: 12 November 2020   18:04 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: adoredecor -- pixabay.com

Kami anak-anaknya sesekali diizinkan untuk turut membaca dan/atau membalas surat dari kakek/nenek, pakde/bude, atau paklik/bulik. Tentu saja hanya pada bagian yang sesuai untuk usia kami. Saya ingat kekhasan tulisan tangan generasi mereka adalah condong lebih dari 30 derajat, entah ke kanan atau kiri. 

Bisa ditebak, saya pun kemudian memiliki hobi korespondensi. Surat pertama saya-yang ditulis tanpa campur tangan orang lain-saya kirimkan untuk ayah yang ketika itu sedang kuliah di Yogyakarta.

Hobi korespondensi tak pernah lekang hingga saya dewasa dan muncul surat elektronik (email). Di perantauan surat-menyurat dengan orang tua, saudara, dan teman-teman menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian saya.

Saya hampir yakin kebiasaan menulis atau bercerita melalui surat juga menjadi embrio minat menulis.

"Saudara Lelaki" Ayah

Kedatangan "saudara lelaki" ayah di rumah kami, agaknya menjadi pemicu baru minat menulis yang diam-diam sudah bersembunyi ke alam bawah sadar saya. Dengan bantuan "saudara lelaki" ayah saya pun mengenal teknologi baru menulis dan bagaimana menghasilkan uang dari tulisan.

Oya, sebelum kisah ini berlanjut, saya ingin menyampaikan bahwa yang dimaksud dengan "saudara lelaki" ayah di sini tidak lain adalah mesin tik bermerek "brother".

Bukankah dalam bahasa Indonesia brother artinya saudara laki-laki? Hehe, mohon dimaklumi ya! Ketika mengenal kata "brother" saya baru belajar bahasa Inggris. Alhasil, bangga sekali bisa menerjemahkan merek "brother" pada mesin tik ayah.

Seingat saya ayah membawa mesin tik "brother" sepulang dari kuliahnya di Yogyakarta. Lamat-lamat saya ingat betapa ayah membiarkan kami mulai "memainkan" mesin tik tersebut. Lama-kelamaan ayah pun mengajari saya cara menggunakan mesin tersebut dengan benar. Cara memasang kertas, memasang kertas rangkap dengan karbon, mengetik dan membuat spasi, dan seterusnya hingga mengetik dengan benar dan tepat.

Mesin Tik Brother (Sumber: en.wikipedia.org)
Mesin Tik Brother (Sumber: en.wikipedia.org)

Dalam keseharian ayah mengajak "saudara lelakinya" itu untuk melakukan pekerjaan sambilan, yaitu membuka jasa pengetikan. Kala itu komputer adalah barang mahal. Masih banyak anak sekolah, mahasiswa, dan pegawai yang mencari jasa pengetikan untuk membuat karya tulis, skripsi, laporan, dan sejenisnya.

Dalam perjalanannya ayah juga membuka usaha percetakan. Jadi, selain mengetikkan naskah para pelanggan juga memesan kover. Sebelum berkembang menjadi percetakan dengan mesin offset, pembuatan kover dikerjakan dengan mesin cetak berteknologi manual (letterpress machine). Percetakan dan jasa pengetikan itu dinamai "Dina Aksara" untuk mengenang Dina, adikku yang meninggal dalam sebuah kecelakaan.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun