Kemarin ayah bicara padaku saat hari masih cukup pagi. Lewat telepon tentu saja karena pandemi memisahkan kami. Aku di perantauan, ayah di kampung halaman. Maukah bila kukirim mangga untukmu, ayah baru saja menjoloknya. Begitu ayah bertanya. Kamu belum merasakannya sedang masa panen hampir berlalu, katanya.
Aku menolaknya. Kuingatkan untuk membagikan saja pada segenap tetangga. Ayah menyeringai dalam tawa. Tetangga kita sudah mendapat bagian, katanya, karena panenan sudah berlangsung cukup lama. Kamu saja yang tak kunjung pulang untuk menikmatinya. Sudah kuputuskan untuk mengirimnya. Tak mengapa bila mahal ongkosnya karena rasa mangga kita tentu berbeda, ayah memungkasi tanya. Begitulah cinta orang tua, selalu mengingat buah hatinya bahkan lewat sebutir mangga.
Kawan, jangan kaubayangkan ini cerita tentang panenan berhektar-hektar pohon mangga! Hanya ada sebatang pohon mangga di rumah ayahku di Kota Lunpia. Sebatang pohon mangga tua. Pamanku dari desa yang dahulu menanamnya, kini sudah memutih seluruh rambutnya. Bocah-bocah kecil yang sering kali memanjatinya sudah bergelar sarjana.
Tinggi sekali pohonnya. Batangnya sebesar pelukan orang dewasa. Mangga harum manis  namanya, sudah tentu manis rasa buahnya. Kalau suatu masa buahnya membuat hati kecewa, biasanya karena hujanterlalu lama atau lalat buah yang lebih dulu menikmatinya.
Sejatinya pohon mangga itu setia menggugurkan nasihat-nasihat yang pernah disimpan ibu di setiap bagian tubuhnya. Lewat pohon mangga mendiang ibu mengajarkan makna berterima kasih dan berbagi rezeki. Setiap tetangga harus turut merasakan buah mangga ini, katanya. Meskipun sedang tak berduit, ditolaknya ratusan ribu dari seorang penebas. Pohon mangga ini bukan semata milik kami, kata ibu lagi. Si penebas kecewa meninggalkan pohon yang ranting-rantingnya dipenuhi mangga.
Mendiang ibu mengingatkan bahwa sehari-hari tetangga menjaga rumah kami karena dahulu seluruh penghuninya pergi mengejar asa. Mereka ringan hati menyapu guguran daun yang mengotori jalanan di gang tempat kami hidup bersama. Si jago panjat pun rela membersihkan benalu dan ranting-ranting yang mengering. Pohon mangga itu pun dijaga dari tangan-tangan jahil. Benarlah pendapat ibu. Kendati tumbuh di halaman sempit rumah kami, pohon mangga itu milik bersama. Dahulu ibu. Selanjutnya menjadi tugas kami untuk membagikan buah mangga bila panen tiba. Â
Sebenarnya sosok perkasa pohon mangga sudah merusak rumah yang hanya berjarak sedepa. Walaupun begitu berat hati kami untuk menebangnya. Pernah suatu hari tukang tebang bersiap menghabisi riwayatnya. Namun, ia berhenti menggerakkan gergaji karena kami urung merelakannya. Entah kenapa, kami merasa melenyapkan pohon mangga seperti hendak menghapus kenangan akan ibu tercinta. Musim mangga selalu menghadirkan masa-masa bahagia bersama ibu. Manis buahnya mengingatkan pada kasih ibu yang tak lekang dimakan waktu. Algojo pun hanya menebang secukupnya hingga pohon mangga kembali bersemi dan berbuah lagi.
Hari ini saat tiba kiriman buah mangga dari ayahku, hadir pula kenangan akan mendiang ibu. Air mataku jatuh menggenapi rasa haru. Manis buah mangga menjadi penanda kasih orang tuaku, juga menguarkan rindu pada kampung halamanku. Semoga pandemi segera berlalu, biar kucium takzim tangan ayahku serta kuziarahi makam ibuku.Â
Depok, 11 November 2020
Salam Fiksiana, Dwi Klarasari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H