Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Di Semarang "Badak" Boleh Dimakan

6 Agustus 2020   20:15 Diperbarui: 6 Agustus 2020   20:04 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangankan diburu, di kota Semarang bahkan tidak ada larangan mengonsumsi badak. Ya, di Semarang badak boleh dimakan. Tidak percaya? Tanyakan saja pada warga asli Semarang atau yang sudah lama tinggal di Kota Lumpia ini. Masyarakat bahkan tidak dilarang untuk berpromosi. Saya pernah hendak membeli kaos oleh-oleh khas Semarang bertuliskan "Hanya di Semarang Badak Boleh Dimakan". Wow, keren! Sayang sekali sudah habis sebelum saya sempat membelinya.   

Eits, tunggu dulu! Jangan terburu-buru menelepon polisi atau lapor ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Saya bukan sedang membicarakan satwa ikonik yang termasuk satu di antara satwa paling terancam punah saat ini. "Badak" dalam artikel ini merujuk pada nama makanan tradisional. Kemarin saya memasak dan menikmati kuliner unik ini sehingga terlintas untuk berbagi lewat tulisan.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Bagi orang-orang Semarang "badak" tidak berbeda jauh dengan weci atau heci yang disukai masyarakat wilayah Jawa Timur, seperti  Malang, Lumajang, dan Madiun. Di beberapa kota lain di Jawa Timur masyarakat menyebutnya sebagai ote-ote. Meskipun keluarga besar saya berasal dari Jawa Timur, tetapi sejak kecil saya lebih suka menyebutnya "badak". Terdengar dahsyat!

Badak serupa dengan gorengan yang dijuluki pia-pia oleh masyarakat Blora dan sekitarnya. Di Jakarta dan sekitarnya gorengan serupa-tetapi dengan tampilan sedikit berbeda-disebut bakwan. Masyarakat Yogyakarta pun tampaknya juga memberikan nama yang sama.

Sejumlah nama lain untuk makanan serupa "badak" yang pernah saya dengar, adalah hongkong, makao/macau, kandoang, dan bala-bala. Apa nama makanan sejenis ini di daerah teman-teman?  

Oya, beberapa waktu yang lalu, saya pernah membaca artikel Kompasianer Iwan Nugroho tentang seluk-beluk dan filosofi weci "Memaknai Weci dalam Kehidupan". Dalam artikelnya, Pak Iwan menguraikan makna weci terkait dengan manajemen organisasi dan kepemimpinan. Salut, artikel bergizi yang menginspirasi. Silakan teman-teman telusuri kembali.

Sementara, saya yang orang Semarang hanya memaknai "badak" sebagai gorengan lezat  yang mudah dibuat, mudah didapat, dan murah meriah. Walaupun begitu saya sangat terkesan. Makanan ini mampu menyatukan segala kalangan masyarakat, dari pejabat dan artis terkenal sampai rakyat sederhana. Terlebih lagi bila kita merujuk pada seporsi "badak sambel". Apa pula ini?

Siapa yang pernah tinggal di Semarang pasti tak asing dengan "badak sambel". Konon, kuliner legendaris ini bahkan menjadi kesukaan Alm. Bondan "Maknyus" Winarno, salah satu penulis/wartawan sekaligus pemerhati kuliner yang cukup lama tinggal di Semarang.     

"Badak sambel" adalah cara lain menikmati gorengan "badak" sehingga terasa lebih maknyus. Beberapa gorengan "badak" yang sudah dipotong-potong disajikan dalam piring, lalu disiram dengan bumbu sambal pecel yang sudah diencerkan. Sambal pecel dapat dibuat secara dadakan alias diuleg saat hendak dinikmati-tingkat kepedasan disesuaikan selera-atau dapat juga memakai sambal siap saji yang banyak dijual di pasaran. Agar lebih nikmat dalam penyajiannya dapat ditambahkan taburan bawang goreng. Sebagian orang juga suka menikmatinya dengan ditambah kecap atau saus lain.

Menikmati "badak sambel" paling pas jika disertai sajian minuman dingin, seperti kolak pisang atau es kelapa muda. Hmmm...  

Bagaimana? Adakah teman-teman yang sudah pernah atau malah terbiasa menikmati "badak sambel"? Jika belum, silakan mencobanya. Apalagi teman-teman yang mengaku sebagai orang Semarang! Setidaknya, kita tidak minder kalau bertemu orang Palembang yang biasa menikmati "kapal selam".

Alih-alih memburu satwa badak yang jumlah populasinya semakin mengkhawatirkan, lebih baik kita nikmati seporsi "badak sambel" yang maknyus!  

Depok, 6 Agustus 2020

Salam literasi, Dwi Klarasari

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun