Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Memahami Keputusan Masyarakat Adat Baduy

9 Juli 2020   23:35 Diperbarui: 12 Juli 2020   07:48 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam satu dekade ini, wisata alam dan budaya Kampung Baduy semakin populer saja.

Tak bisa dimungkiri, masifnya informasi dari para traveler melalui media sosial menjadi penariknya. Secara resmi pemerintah juga mempromosikan Budaya Suku Baduy sebagai destinasi wisata. Setidaknya yang ditemukan pada laman Dinas Pariwisata Provinsi Banten.  

Namun, belum lama ini, melalui Lembaga Adatnya, masyarakat Baduy Dalam telah mencetuskan sebuah keputusan yang sangat mengejutkan dunia pariwisata. Mereka menginginkan penghapusan kawasan adat Baduy sebagai salah satu destinasi wisata nasional.

Bukan sekadar basa-basi karena keputusan ini termuat dalam surat terbuka kepada Presiden RI, Joko Widodo. Sejumlah media telah menayangkan beritanya.

Salah satunya dapat dibaca ada laman kompas.tv; beritanya bertajuk 'Minta Dicoret dari Destinasi Wiata, Suku Baduy Kirim Surat ke Presiden Jokowi'. Rekan Kompasianer Dizzman pun sempat mengulik topik berita yang cukup hangat pada awal minggu tersebut lewat artikel Suku Baduy Ingin Dicoret dari Tujuan Wisata, Ada Apa Gerangan?

Pada dasarnya keterusikan yang belakangan semakin dirasakan masyarakat Baduy oleh dampak aktivitas wisata yang melibatkan kampung adat mereka tidaklah berlebihan.

Tak heran juga bila kurangnya rasa peduli serta ketidakdisiplinan wisatawan menjadi salah satu keluhannya.

Demikian juga dampak negatif terkait modernisasi yang turut masuk bersama kedatangan wisatawan, termasuk terkait pencemaran oleh sampah plastik.

Masyarakat Baduy memang dikenal sangat kuat dalam memegang tatanan dan tuntunan adat, terutama berkaitan dengan kemurnian serta kelestarian alam. Tuntunan adat berupa "Amanat Buyut" tersebut menjadi warisan yang dipelihara serta dijalankan dengan sungguh-sungguh, terlebih oleh masyarakat Baduy Dalam.

Ketika dahulu berkunjung ke Kampung Baduy, saya ingat sebelum masuk ke wilayah Baduy terdapat "Amanat Buyut" dalam bahasa Sunda yang ditulis pada sebuah papan besar-sebagaimana tampak pada foto di atas). Tiga belas baris pesan nenek moyang perihal pantangan/larangan itu terkesan sederhana.

Walaupun demikian maknanya sungguh dalam serta memberikan tanggung jawab sangat besar bagi masyarakat Baduy untuk menjaga kelestarian alam dan budayanya.  

Menurut saya satu pesan yang merangkum keseluruhan pesan dalam Amanat Buyut adalah "Larangan teu meunang dirempak" yang dalam bahasa Indonesia berarti "Larangan tak boleh dilanggar".        

Meskipun sangat disayangkan, tetapi keputusan masyarakat Baduy tersebut dapat dipahami. Semakin masuk akal pula bila mengingat sikap dan perilaku sebagian wisatawan yang kurang peduli hingga memberikan dampak buruk berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dan alam Baduy.  

Kunjungan saya ke Kampung Baduy, yang berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten ini terjadi tahun 2011.

Perjalanan ekstrem menuju Kampung Baduy serta kesempatan bermalam di rumah penduduk Baduy Dalam menjadi cultural trip paling mengesankan yang pernah saya ikuti.

Saya merasakan kemurniaan alam sekaligus kesederhanaan masyarakatnya. Pengalaman spiritual dua hari semalam tersebut pernah saya muat di blog pribadi dalam artikel Kampung Baduy dan The Awesome Baduy.

Aturan di perkampungan Baduy Dalam sungguh ketat. Seperti halnya penduduk setempat, para tamu dipersilakan mandi di sungai, tetapi dilarang menggunakan berbagai produk berbahan kimia, seperti odol, sabun, dan sampo.

Demikian kiranya salah satu penerapan Amanat Buyut demi menjaga kemurnian alam. Kamera dan berbagai peralatan elektronik pun tabu diaktifkan di wilayah Baduy Dalam.  

Walaupun demikian, tak bisa disangkal bahwa ketika itu pun benih-benih pencemaran dan kerusakan lingkungan sudah mulai terlihat. Pencemaran dapat dirasakan terutama di kawasan Baduy Luar yang aturannya cenderung lebih longgar. Sebaran sampah plastik, stereoform, dan aneka pembungkus makanan/minuman "produk modern" jamak ditemukan.

Kala itu, setelah mengakhiri wisata dan pulang ke Jakarta, saya berharap dapat kembali bermalam di Baduy Dalam pada masa mendatang. Sebelum pandemi Covid-19 merebak, sejumlah teman dan kerabat bahkan sempat membangun wacana untuk berwisata ke Kampung Baduy.

Namun, impian tersebut agaknya harus segera ditepis jika masyarakat Baduy tak lagi berkenan menerima wisatawan. Alih-alih menjadi destinasi wisata, menurut narasi dalam artikel Suku Baduy Ingin Dicoret dari Destinasi Wisata, Kirim Surat ke Jokowi di laman detik.com, masyarakat Baduy berharap wilayahnya dapat ditetapkan sebagai cagar alam dan cagar budaya. 

Mengingat segala pertimbangannya, kita semestinya menghormati keputusan masyarakat adat Baduy. Alangkah eloknya bila keresahan masyarakat Baduy juga menjadi keresahan kita bersama.

Bagaimanapun, sebagai wisatawan kita memang turut bertanggung jawab atas kelestarian objek wisata yang kita kunjungi.

Lebih dari itu keputusan masyarakat adat Baduy perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat, daerah maupun dinas-dinas terkait untuk membuat suatu aturan khusus. Aturan yang mampu mendukung terciptanya kelestarian kawasan wisata alam maupun budaya di seluruh wilayah Nusantara.

Depok, 9 Juli 2020  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun