Beberapa waktu lalu, saya menandatangani kontrak dengan klausul pembayaran melalui Western Union (WU). Tidak ada pilihan, padahal saya belum pernah bertransaksi dengan perusahaan layanan pengiriman uang yang sudah berusia lebih dari 1,5 abad ini. Saya hanya berharap semua bakal berjalan lancar. Pertama-tama proyek harus ada di tangan dulu, demikian pikir saya waktu itu. Â Â
Singkat cerita pekerjaan selesai sesuai kontrak dan klien menerimanya dengan baik tanpa komplain. Tibalah waktu mengharapkan hak saya. Seminggu berselang, salinan resi pengiriman uang via Western Union pun mendarat di kotak masuk surel. Entah dari mana klien tahu bahwa saya belum pernah berurusan dengan WU sehingga klien yang tinggal di Singapura itu menjelaskan langkah-langkah pencairan uang.Â
Prinsipnya, saya cukup datang ke agen WU dengan menunjukkan KTP dan kode MTCN (Money Transfer Control Number) yang tercantum dalam bukti pengiriman. Ternyata cukup mudah! Namun, lebih dari seminggu salinan bukti pengiriman uang masih rapi tersimpan. Bukan karena tidak butuh duit, tetapi saya ragu-ragu untuk keluar rumah tanpa kepastian.Â
Kala itu wabah covid-19 sudah merajalela di area Jabodetabek. Â PSBB sudah diberlakukan dan ojek daring pun tak boleh lagi membawa penumpang. Jadi, saya lebih dahulu mencari informasi di mana dan bagaimana cara mencairkan kiriman uang via WU.Â
Saya keluar masuk laman Western Union Indonesia, tanya ini-itu lewat  Customer Service (CS) di twitter, dsb.  Tak lupa membaca sejumlah artikel tentang pengalaman transaksi di WU. Ternyata layanan WU tersebar cukup merata. Selain di kantor cabang, pengambilan uang juga dilayani banyak agen, seperti kantor pos, pegadaian, Indomaret, dan sejumlah bank lokal.
Agen layanan WU terdekat yang mudah dicapai dengan atau tanpa kendaraan adalah kantor pos. Jaraknya kurang dari 2 kilometer dari rumah dan ada rute angkutan kota yang melewatinya. Jika terpaksa harus berjalan kaki pun tidak masalah karena saya pernah melakukannya.
Demi meyakinkan diri, saya berusaha menghubungi kantor pos untuk menanyakan kelengkapan yang harus dibawa. Sayang beberapa kali menelepon tidak ada petugas yang mengangkatnya. Mau tak mau, saya langsung datang ke kantor pos dengan berbekal KTP dan kode MTCN. Tentu tak lupa melengkapi diri dengan 'APD'-masker, kacamata, jaket bertopi (hoodie)-serta membawa hand sanitizer.
Apa yang saya takutkan terjadi! 'Maaf Mbak, peraturannya sudah berubah. Kalau bukan penduduk lokal harus membawa kartu pengenal tambahan (SIM atau paspor)', demikian kata petugas. Oya saat ini saya berdomisili di Depok dan kebetulan masih ber-KTP Semarang. Lebih parah lagi, saya pun tidak punya SIM ataupun paspor.Â
'Kalau mau Mbak bisa minta tolong saudara/teman ber-KTP Depok, tetapi uang harus ditarik dan dikirim ulang', begitu penjelasan tambahan dari petugas. Aduh! Pulanglah saya dengan tangan hampa. APD yang bikin gerah dan susah bernapas pun jadi terasa semakin menyesakkan. Â Â
Kemudian, saya berusaha menghubungi beberapa teman untuk meminta bantuan. Tidak mudah, dan sejujurnya sungkan juga karena saya akan sangat merepotkan. Saya tidak saja hendak meminjam KTP y.b.s., tetapi juga memintanya ikut serta ke kantor pos mencairkan uang tersebut.Â