Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Jaga Aku Sesaat Lagi

22 Desember 2018   09:00 Diperbarui: 22 Desember 2018   10:13 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Greyerbaby - pixabay.com

Dalam kegelapan aku bisa mendengar suara lembutmu tegas membelaku. Sekali lagi, setelah berkali-kali kaulakukan pembelaan yang sama. Hari ini mungkin puncaknya. Kudengar engkau setengah menjerit, mengatakan bahwa aku tak bersalah. Kaubilang semua kesalahanmu dan engkau siap menanggung hukuman, asal bukan ditimpakan padaku. Samar-samar kudengar suara hardikan galak ayahmu disambung kutukan ibumu. 

Lalu, kudengar tamparan kuat yang agaknya membuatmu jatuh tersungkur. Aku dapat merasakan sakitnya. Sekuat tenaga engkau kembali berdiri tegak. 'Aku akan pergi bila bapak ibu tidak izinkan aku tinggal di sini lagi'. Demikian kaukatakan dengan tegas namun tetap lembut dan sopan. Sungguh miris mendengar suaramu terbata-bata diselingi isak tangis.

Akhirnya, kita pun meninggalkan rumah diiringi cemooh sinis bapak ibu dan saudara-saudaramu. Kaupenuhi janji membawaku ke mana pun pergi, hingga terdampar di sebuah panti jompo. Syukurlah, para suster menerima dengan penuh kasih. Sebagai balasan setiap hari kaubantu mereka di dapur dan di kebun. 

Di malam hari, dalam lelahmu, engkau masih menyempatkan diri membuaiku dengan dongeng. Tak lupa kauputar musik yang kaubilang gubahan Mozart dan akan mencerdaskan otakku. Saat mendongeng terkadang engkau melantur menyelipkan kisah hidupmu dengan penuh sesal. Keluguan cinta muda telah menyeretmu ke jurang kehancuran. Begitu pun kaubilang sangat bahagia karena bisa mempertahankan aku. 

Tanpa sadar kutendangkan kaki menanyakan makna bahagia di antara dukamu. Kau pun akan buru-buru memberi usapan lembut yang menenangkanku. Belakangan engkau mendongeng tentang keahiran bayi Yesus di malam natal. Kaukatakan sesaat lagi aku akan segera bertemu dengan-Nya.

'Jangan cemas Nak, Bunda sangat mencintaimu. Tak ada yang bisa melenyapkanmu. Sebentar lagi lengan Bunda pun akan selalu siap memeluk dan melindungimu'. Begitu janjimu yang selalu kudengar. Panggilan 'bunda' yang kaupilih terdengar indah. Seindah hatimu, kurasa. Engkau rela melepas cinta mudamu demi aku. Kau beri aku kehidupan, meskipun dunia tidak menginginkanku. 

Bunda, sungguh tak sabar ingin kulihat raut wajahmu. Kubayangkan tentu sehalus belaian dan selembut suaramu. Tak sabar ingin kulihat dunia yang setiap hari kauceritakan. Ingin kurasakan hangat sinar mentarinya. Apakah lebih hangat dibandingkan gua garbamu ini? Apakah semilir angin pagi sesejuk lantunan doamu? Ingin segera kulihat dunia yang tidak adil padamu. Bunda, aku berjanji kelak 'kan jadi penjagamu. Seperti doamu, aku akan tumbuh sebagai pemuda kuat sekaligus berhati lembut. Bunda, tolong jaga aku sesaat lagi! Tuhan, izinkan aku terlahir ke dunia agar bisa kujagai wanita berhati lembut ini. 

DK, 22/12/2018

(Sumber: koleksi pentigraf Dwi Klarasari)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun