Ketika duduk di kelas 6 SD, kami (saya dan teman-teman sekelas) mendapatkan pelajaran tentang tugas dan tanggung jawab. Pertama, kerjakan tugas yang sudah sejak awal kita terima sebagai kewajiban.Â
Kedua, jangan pernah saling melempar tanggung jawab, dan ketiga, jangan saling lempar kesalahan bila terjadi bencana karena tidak terlaksananya suatu tugas atau tanggung jawab.
Pelajaran ini tak pernah hilang dari benakku. Terutama karena pelajaran tersebut kami terima sebagai sebuah pengalaman tak terlupa. Bukan dalam bentuk teori ataupun ceramah panjang lebar di depan kelas. Pelajaran tersebut kami terima saat ulangan (Matematika, kalau tak salah).
Begini kisahnya...
Ulangan Matematika akan dilaksanakan pada jam sesudah pelajaran lain berakhir, seingatku PMP (Pendidikan Moral Pancasila, sekarang PKn). Tak heran bila sesudah guru PMP keluar semua anak buru-buru sibuk belajar untuk ulangan. Lumayan, 1-2 menit mengingat rumus sebelum guru masuk kelas.
Akibatnya, tak ada satu anak pun teringat untuk menghapus papan tulis yang sudah penuh dengan tulisan pak guru PMP. Â Oya, pada zaman itu kami masih menggunakan papan tulis hitam dan kapur tulis putih atau warna-warni.
Teman-teman yang hari itu ada dalam jadwal piket---bertugas menyapu dan membersihkan kelas, termasuk menghapus papan tulis---pun saling lempar tanggung jawab. Semuanya ingin belajar sesaat lagi. Alhasil, tak ada seorang pun yang menghapus papan tulis.
 Murid-murid yang tidak piket seakan juga tidak peduli karena merasa bukan tugasnya. Kelas sepi. Semua sibuk belajar untuk ulangan yang terkenal susah ini. Semua menginginkan nilai sebagus mungkin.
Saking seriusnya belajar, saat guru masuk kelas nyaris tidak ada yang menyadari. Tiba-tiba saja Bu Guru sudah memerintahkan kami membuka buku ulangan bersampul cokelat sambil marah karena papan tulis masih penuh tulisan. "Kita mau ulangan kenapa tidak ada yang menghapus papan tulis?"
Mendengar teguran itu, sontak beberapa anak yang piket hari itu beranjak dari kursi hendak berlari ke depan kelas. Namun, Bu Guru menghentikan dan menyuruh mereka duduk kembali. Â
Ulangan akan dimulai. Kami menyangka Bu Guru akan mendiktekan soal.
Namun, kami semua dibuatnya terpana!
Tanpa disangka-sangka Bu Guru yang tetap tersenyum meskipun marah itu menuliskan soal-soal ulangan tepat di atas tulisan yang masih ada di papan tulis. Alamak! Dengan sigap kami  semua buru-buru menyiapkan alat tulis dan menyalin soal di buku ulangan.
Kami harus bisa melihat dan menulis cepat agar dapat mengikuti gerakan tangan Bu Guru saat beliau menulis soal di papan tulis.
 Hanya mereka yang dapat melihat jeli dan cermat serta menuliskannya dengan cepat saja yang dapat mengikuti gerakan tangan Bu Guru. Dapat dibayangkan, tidak semua soal yang ditulis di papan---tepat di atas tulisan lain---dapat kami cerna dengan baik.
Sambil menulis soal, terdengar suara berisik di setiap sudut kelas. Satu dan yang lain saling menyalahkan. Kenapa yang piket tidak mau menghapus papan tulis; kenapa ketua kelas tidak menegur yang piket; kenapa yang tidak piket tetapi sudah belajar dan sudah pintar tidak mau membantu menghapuskan papan tulis; dan seterusnya.
Kami juga berisik karena saling bertanya mengenai bunyi soal cerita yang ditulis. Jika teringat kisah ini pasti kami selalu tertawa. Di mana pun murid-murid akan mencontek jawaban temannya. Kala itu kami malahan sibuk saling mencontek soal! Â
Mendengar suara berisik, sesekali Bu Guru menghentikan kegiatannya menulis soal dan menoleh ke belakang sembari menyuruh kami tenang.
Kelas sepi. Semua mengerjakan ulangan dengan tertunduk dan cemberut. Ketika waktu sudah hampir habis pun, masih ada satu dua anak yang bolak-balik melihat ke papan tulis berusaha mencerna soal yang sudah selesai ditulis.
Sampai di sini, akhir ceritanya tentu sudah dapat ditebak. Tak ada seorang anak pun yang mendapatkan nilai 10. Jangankan yang tidak belajar, bahkan yang belajar semalaman atau paling cerdas di kelas pun tidak. Bayangkan saja, dari sepuluh soal hanya beberapa teman yang berhasil menulis lebih dari 5 soal. Tidak sedikit yang hanya bisa menulis kurang dari 5 soal. Itu baru menulis soalnya lho, belum menjawabnya. Kemudian, belum tentu juga semua jawabannya benar.
Usai ulangan Bu Guru menasihati kami untuk menjadikan hari itu sebagai pelajaran berharga dan diingat seumur hidup. Pelajaran tentang tugas dan tanggung jawab yang bukan saja menyangkut kepentingan diri sendiri tetapi juga kepentingan orang banyak.
Hari ini hanya tentang ulangan Matematika, kelak ujian kehidupan dan tanggung jawab dalam masyarakat jauh lebih besar dan berat. Bagaimana kita dapat menjalankan tanggung jawab besar jika yang sepele saja tak dijalankan dengan baik. Demikian kira-kira pelajaran berharga tersebut. Â
Bersyukur memiliki guru yang pengajarannya bisa menjadi pegangan hidup. Layaklah bila kita berterima kasih kepada orang tua (guru pertama kita) dan setiap guru yang pernah hadir dalam hidup kita, yang bukan sekadar mengajar tetapi juga mendidik kita menjadi manusia yang sesungguhnya.
Selamat Hari Guru Nasional 2018.
DK, 26/11/2018 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H