Namun ketidaktahuan saya bertahun-tahun lalu itu ternyata bahkan masih menjadi "blunder" pada masa kampanye capres/cawapres pada tahun 2018 ini. Wajarlah bila cuitan dari akun Dahnil A. Simanjuntak (@Dahnilanzar)--salah satu jubir paslon capres/cawapres nomor urut 2--terkait "ide" mencetak uang braille menghebohkan jagat twitter. Terlebih setelah ditanggapi oleh akun Satu Untuk Semua (@OckyAndrianes) yang agaknya adalah karyawan Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri).
Saya  kerja di percetakan duit bang, saya paham betul uang yg kita cetak  dengan proses intaglio itu memang di desain untuk memudahkan tuna netra  menggunakan rupiah. Di setiap pecahan terdapat tanda seperti segitiga,  kotak,bulat jadi agaknya ide uang braile sudah kuno 😥😥— Satu Untuk Semua (@OckyAndrianes) November 17, 2018
Penjelasan karyawan Peruri tersebut agaknya juga menjadi pengetahuan bagi banyak orang yang "mungkin" selama ini kurang peduli dan/atau tidak paham seperti saya dahulu. Efek rabaan (tactile effect) pada kode tunanetra (blind code) yang dicetak dengan proses intaglo itulah yang dijelaskan oleh akun @OckyAndrianes.
Kode tunanetra (blind code) berupa bangun datar tersebut di kemudian hari diperbarui oleh Bank Indonesia, tepatnya pada penerbitan pecahan uang kertas emisi 2016. Pada uang baru tersebut kode tunanetra (blind code) diganti menjadi pasangan garis pendek saling berdekatan dengan posisi miring. Kode kasat mata dan kasar tersebut diletakkan pada setiap sisi lembaran rupiah pada bagian depan (gambar utama).
Jumlah pasangan garis berbeda-beda untuk setiap mata uang. Dari nominal terkecil berkurang sepasang demi sepasang sehingga makin sedikit jumlahnya. Pada pecahan 1.000 ada tujuh pasang garis; pada pecahan 2.000 ada enam pasang garis; pada pecahan 5000 ada lima pasang garis; pada pecahan 10.000 ada empat pasang garis; dan seterusnya.
Bila ada saudara kita tunanetra yang belum memahami seluk-beluk kode tunanetra (blind code) ini sehingga sempat tertipu dalam kehidupan sehari-hari, mungkin solusi yang terbaik adalah dengan menggalakkan sosialisasi dan/atau meningkatkan pengetahuan serta keterampilan mereka. Dengan demikian setiap orang mampu mendeteksi nominal pada uang kertas dengan baik dan benar.
Jika masih memungkinkan, Bank Indonesia juga dapat meningkatkan kualitas teknik pencetakan demi memfasilitasi saudara-saudara kita yang tunanetra; atau segera menarik uang kertas yang sudah terlalu lecek/kumal dari peredaran.Â
Sementara itu, kita masyarakat umum dapat membantu dengan menjaga agar uang kertas dalam kondisi terbaiknya. Misalnya, dengan tidak melipat-lipat, mencorat-coret, atau melakukan tindakan apa pun yang berpotensi merusak uang tersebut--terlebih merusak kode tunanetra (blind code).
DK, 18/11/2018 Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H