Mohon tunggu...
Dwi Klarasari
Dwi Klarasari Mohon Tunggu... Administrasi - Write from the heart, edit from the head ~ Stuart Aken

IG: @dwiklara_project | twitter: @dwiklarasari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mata Hati

5 November 2018   20:00 Diperbarui: 5 November 2018   20:19 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Anemone123 - Pixabay

Dahulu Bisma sering mengajakku membantu komunitas tunanetra. Aku bergeming dan beralasan, padahal aku hanya perlu mengetik ulang buku bacaan dalam format MS-Word. Nanti ada tim yang akan mengubahnya jadi huruf Braille. Karena Bisma terus meminta, aku pun tak tahan, hingga tercetus alasan sebenarnya. Permintaannya 'sekadar mengetik' kuanggap meremehkan profesiku sebagai manajer. Mendengar itu, wajah Bisma memucat dan tampak sangat kecewa.

Kisah kesombongan itu sudah terkubur. Kini, hanya ada segunung sesal yang menyesaki hatiku. Aku ingin kembali ke masa-masa itu. Jangankan satu buku, kalau Bisma memintaku mengetik seribu buku, pasti kukerjakan. Namun, hari itu tak akan pernah kembali. Sejak Bisma pindah tugas, kami jarang bertemu. Aku pun  menyembunyikan kondisiku. 

Ada sesal, takut dan malu, mengingat kesombongan dan sifat jahatku dahulu. Kuusap kedua mataku yang tidak lagi mampu menangkap berkas cahaya. Di seberang meja, Pak Santanu berkata, "Jangan larut dalam penyesalan Nak! Bersyukurlah, Tuhan masih memberi kita mata hati yang jauh lebih berharga." Psikolog paruh baya ini bukan asal bicara. Ia sendiri buta sejak masa mudanya.

Ketukan di pintu membuat Pak Santanu beranjak. Sesaat kudengar obrolan akrab. Aku tercenung menyadari suara bariton yang sangat kukenal. Sedikit ragu kupanggil nama pemiliknya. Seseorang bergegas mendekatiku. Ia memang Bisma. Dengan gusar ia pun bertanya ini-itu. Suaranya bergetar emosi. 

Aku hanya menangis. Ia pun memelukku tanpa bicara. Akhirnya, Bisma tahu bahwa kedua mataku tak lagi dapat melihat. Sambil mengisak kukatakan mungkin kebutaan ini hukuman Tuhan atas kesombonganku. Bisma menepuk bahuku. "Ssst... tidak Rim! Tuhan pasti hanya ingin kamu lebih banyak melihat dengan mata hati. Jika mau, kamu masih dapat berbuat banyak untuk sesama. Aku akan membantu," bisik Bisma meneguhkan. 

***

Catatan:

Pentigraf ini pernah dimuat dalam Bunga Rampai "Paulus Padamu Aku Berguru" (KKK: 2018, 152)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun