Mohon tunggu...
Lucas Dwi Hartanto
Lucas Dwi Hartanto Mohon Tunggu... wiraswasta -

Mahasisa Program Magister Sosiologi, Universitas Muhamadiyah malang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyoroti Peristiwa Petrus (1983-1984) dan Pemilu, Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas

14 Agustus 2014   20:19 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:33 2664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Sepuluh lubang peluru yang mengkoyak habis tubuh korban ternyata bukan rekor. Dr. Abdul Mun’im Idries, Sekretaris Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, mencatat seorang korban penembakan misterius yang ditemukan tanggal 25 Juli di Jalan Jagorawi dengan 11 lubang peluru malah ada yang “termakan” 12 peluru. “Kami juga pernah memeriksa mayat yang mempunyai lima selongsong peluru dikepala-nya,” ujarnya. (Ada dor, Ada ya, Ada Tidak, 6 Aguastus 1983: 12-14).” (8)

Sementara penggunaan kata “Misterius” dalam istilah Petrus “Penembakan Misterius” ini sebetulnya juga terdengar rancu dan tidak tepat atau dalam bahasa Siegel mengandung arti palsu. Walaupun dalam beberapa pemberitaan di surat kabar banyak disebutkan bahwa para para penembak atau pembunuh para gali ini, seringkali dalam melakukan aksinya dengan muka tertutup atau mengenakan topeng pada wajahnya. Tapi orang banyak dan media massa sudah mengetahui bahwa sebetulnya pelaku penembakan ini menurut Siegel adalah,” tentara yang memuntahkan tembakan menyamarkan diri, seringkali dengan muka tertutup”. Pernyataan tentang kepalsuan pembunuhan yang misterius ini kemudian dijawab secara gamblang oleh penguasa utama rezim Orde baru yaitu Soeharto. Penggunaan kata “Misterius” ini sekaligus membantah dugaan banyak orang saat itu. Karena sejatinya pelaku penembakan ini tidak lagi Misterius, karena pelakunya adalah aparat Negara itu sendiri. Seperti bisa kita simak dalam pernyataan resmi yang disampikan oleh Presiden Soeharto kepada media masa yang berkaitan dengan peristiwa Petrus ini, Soeharto dalam kapasitasnya sebagai Presiden menjelaskan :


“Apa hal itu mau didiamkan saja? (tindakan kriminal para gali, red) Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatmen (dalam bahasa Inggris), tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, mereka ditembak.”

* * * *

3.     Fait Divers dari Peristiwa Petrus.

James T. Siegel banyak sekali menggunakan istilah Fait divers dalam penjelasanya mengenai peristiwa Petrus ini. Menurut saya kata kunci ini penting untuk dapat memahami jalan fikiran Siegel dalam argumentasinya, bagaimana dia mencoba menyelami fakta-fakta dan motif apa sebetulnya yang terkandung dalam peristiwa Petrus ini. Saya akan mencoba melihatnya dari tiga sisi.

Pertama dari sisi korban, yaitu para gali yang mati secara mengenaskan yang dicampakan begitu saja dijalan-jalan dan ditempat-tempat umum lain-nya. Kedua dari sisi pelaku Petrus, dalam hal ini aparat Negara atau Kekuasaan Orde baru yang menggunakan tangan-tangan Tentara atau Militer. Ketiga dampaknya bagi masyarakat umum, yang juga menjadi korba “teror sosial” dalam peristiwa Petrus ini, yang dilakukan oleh Kekuasaan negara Orde Baru.

Pertama dari sisi Korban, seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa korban penembakan ini adalah para Gali atau akronim dengan “gabungan anak liar”. Sebagian besar para Gali ini adalah penjahat kelas teri, para anggota geng atau yang saat ini dikenal dengan istilah Preman. Para gali yang mayatnya ditemukan dan menjadi korban Petrus ini memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu seorang laki-laki yang memiliki tato di tubuhnya. Mayat ber-tato ini yang membedakan antara mayat gali korban Petrus dengan tubuh mati lainya. Tanda tato ini diindikasikan sebagai sebuah kekuatan yang dikaitkan dengan “kriminalitas” yang menjadi target Petrus. Sosok mayat bertato ini seolah tidak bisa diukur dengan sejauh mana riwayat hidup orang itu sebenarnya, walaupun jika orang tersebut memang gali dan pelaku tindak kriminal. Siapa nama mayat bertato itu? dari keluarga seperti apa dia berasal? Jejak kejahatan semacam apa jika dia adalah pelaku kriminal? Atau pertanyaan sebetulnya pekerjaan mayat bertato itu apa semasa hidupnya?.

Pertanyaan-pertanyaan itu sudah menjadi tidak penting lagi untuk mengenali para korban Petrus ini, karena kekuatan A-historis lebih menjadi sebuah kesimpulan dan kenyataan pembenaran dari orang-orang bertopeng pelaku Petrus. Tanda-tanda yang terdapat ditubuh korban atau tanda tato, sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan vonis mati atau orang layak dibunuh dijalan-jalan tanpa proses Pengadilan oleh Negara. Mayat dengan tanda tato yang diberitakan dalam surat kabar dan ditunjukan dalam foto-foto, ciri-cirinya menjadi tipikal. Korban Petrus ini memiliki kekuatan ekspresif dan mengindikasikan bahwa pemiliknya adalah seorang penjahat, kriminal dan gali yang layak untuk dibunuh. Walaupun ada beberapa kalangan masyarakat saat itu, yang mengungkapkan fakta bahwa tindakan aparat tidak adil, menurut Junaidi seorang warga di Yogyakarta, pada saat penangkapan dan penembakan gali digelar, ada beberapa gali yang tidak tersentuh.(9)

Kedua dari sisi pelaku Petrus, yaitu Negara dalam hal ini aparat militer Orde baru, menjelaskan kepada publik atau masyarakat luas, apa alasan pembasmian para gali ini ?. Siegel mengutip pernyataan Presiden Soeharto,  bahwa para gali itu sebagai kebangkitan kekejaman tidak manusiawi yang menciptakan ketakutan yang meluas dan berpotensi destabilisasi. Makna destabilisasi disini tentunya adalah semacam ancaman atau hambatan bagi jalan-nya pemerintahan Orde baru, yang memang sangat menekankan stabilitas bagi jalanya pembangunan nasional, yang saat itu sedang gencar dikampanyekan pemerintah. Berikut adalah petikan otobiografi Presiden Soeharto menyikapi peristiwa Petrus :


“Masalah yang sebenarnya adalah bahwa kejadian itu didahului oleh ketakutan yang dirasakan oleh rakyat. Ancaman itu datang dari orang-orang jahat, perampok, pembunuh,dan sebagainya. Ketenteraman terganggu. Seolah-olah ketenteraman di negeri ini sudah tidak ada. Yang seolah-olah hanya rasa takut saja. Orang-orang jahat itu sudah bertindak melebihi batas perikemanusiaan. Mereka sudah melanggar hukum....” . (10)

Legitimasi atau alasan yang dibangun oleh Soeharto adalah bahwa ketertiban dan keamanan (stabilitas) Negara dan rakyat berada dalam sebuah ancaman serius yang berasal dari dalam negeri, yaitu para gali yang “liar” tak terkendali dan bersifat subversifseolah berada diluar jangkauan aparat negara untuk menertibkan-nya. Walaupun banyak orang tahu, bahwa hanya berselang setahun sebelumnya kekuasaan Orde baru merangkul para gali ini untuk membantu pemenangan Gokar sebagai partai Pemerintah dalam Pemilu 1982.

Seolah-olah tindakan pembunuhan dan penembakan (Petrus) terhadap para gali tanpa proses pengadilan adalah legal dan dibenarkan secara hukum. Akan tetapi, ironisnya para pelaku Petrus ini adalah aparat militer yang berpakaian sipil tanpa mengenakan identitas kesatuan resminya. Berdasarkan pengakuan keluarga korban dan laporan media masa saat itu, dalam melakukan operasi pembunuhan para gali ini, seringkali aparat militer atau pelaku Petrus menggunakan penutup kepala atau topeng, tanpa dapat dikenali sosok dan wajahnya oleh keluarga korban bahkan oleh media massa.

Ketiga dampaknya bagi masyarakat luas, pelaku pembunuhan masal atau Petrus terhadap para gali atau pria bertato ini, pada akhirnya menimbulkan teror sosial tersendiri bagi masyarakat luas. Banyak orang pada saat itu “menyamakan” tindakan Penguasa Orde baru ini, dengan peristiwa G.30.S tahun 1965. Dimana peristiwanya didahului dengan pembunuhan atas tujuh Jenderal Angkatan Darat, yang kemudian atas nama korban, kemanusiaan, keamanan, dan ketertiban negara maka Angkatan Darat yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto kemudian melakukan tindakan, yaitu teror, penangkapan, dan pembunuhan masal atas anggota dan simpatisan PKI di hampir seluruh Indonesia, juga orang-orang yang dicurigai terlibat dalam G.30.S atau organisasi masa yang berkaitan dengan PKI. Menurut Siegel ada kesamaan pola dan modus yang hampir sama, dimana mayat korban dicampakan di jalan-jalan dan tempat umum. Tujuan mencampakan mayat-mayat ini tentu saja menjadi sebuah teror sosial yang luas bagi masyarakat.

Peristiwa petrus yang terjadi pada pertengahan tahun 1983 hingga tahun 1984, tentu saja merupakan catatan peristiwa kemanusiaan yang kelam bagi sejarah moderen bangsa Indonesia. Tampaknya dalam buku ini James T.Siegel ingin mengingatkan kepada kita, bahwa proses pembangunan sebuah negara bangsa atau nation state di Indonesia tidaklah mengalami sebuah proses yang mulus tanpa melalui luka-luka bagi rasa kemanusiaan kita. Onak dan duri dari berbagai peristiwa dimasa lalu, telah banyak menyertai perjalanan sejarah bangsa Indonesia moderen sampai hari ini. Epos besar peristiwa  kekalahan dan kemenangan rakyat Indonesia dalam menegakan sebuah negara bangsa yang lebih beradab telah mewarnai catatan sejarah negeri ini.

Tentunya buku yang berjudul “Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Poitik dan Kriminalitas”, yang ditulis oleh James T.Siegel seorang etnografer berkebangsaan Amerika Serikat ini, bisa menjadi sebuah pembelajaran penting dan berharga bagi kita. Tentang bagaimana membaca realitas masyarakat Indonesia pada masa lalu, hari ini dan dimasa yang akan datang menjadi lebih baik lagi.

------------------------

Jogja, Awal tahun 17 Januari 2014.

Daftar Bacaan :


  1. James T.Siegel, Penjahat Gaya (Orde) Baru: Eksplorasi Politik dan Kriminalitas, Yogyakarta : LkiS, Tahun 2000.
  2. Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), Jakarta : Kepustakaan Pupuler Gramedia, Tahun 2000.
  3. Data KPU, Hasil Pemili 1977 - 1997 : http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=41
  4. Berdikari Online : http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20130509/bung-karno-revolusi-indonesia-menuju-sosialisme.html

(1).  Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966). Hlm: 56.

(2).  Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966). Hlm: 103 .

(3).  http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20130509/bung-karno-revolusi-indonesia-menuju-sosialisme.html

(4).  James T. Siegel, “Penjahat Gaya (Orde) Baru. Eksplorasi, Politik, dan Kriminalitas. hlm: 152.

(5).  Ibid. hlm : 151.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun