"Momentum pencabutan subsidi BBM kali ini, berimbas pada harga perlawanan Sosial yang harus dibayar, serta mulai tergerusnya Ikon citra ‘Populisme’ dihadapan orang banyak, yang konsekwensinya harus dibayar oleh Pemerintahan Jokowi-JK yang belum genap dua bulan berkuasa"
- - - - -
- - - - -
Tampaknya pemilihan momentum Pemerintahan Jokowi-JK, mencabut subsidi BBM yang berimbas pada kenaikan harga BBM (untuk yang pertama kalinya) atas tekanan Bank Dunia ini tidak akan berjalan mulus, seperti yang "mungkin" dipikirkan oleh para pendukung Jokowi dan Tim Ekonominya.
Terdapat tradisi perlawanan dan penentangan keras dari gerakan Mahasiswa diberbagai kota (Kampus-kampus) yang begitu masif. Meskipun dalam beberapa hal karakter aksia-aksi Mahasiswa ini terlihat spontan, sporadis, mobilisasi masa aksinya tidak terlalu besar, namun karakternya sangat radikal dan militan.
Sementara disisi lain, ada tradisi baru dalam gerakan Buruh pasca gerakan reformasi 98, bahwa pada bulan-bulan menjelang bulan Oktober-Desember (menjelang pergantian tahun). Serikat-serikat Buruh di Indonesia melakukan konsolidasi menyusun kekuatannya, untuk melakukan mobilisasi aksi masa besar-besaran, dengan mengerahkan seluruh anggotanya untuk bergerak keluar pabrik-pabrik turun ke jalan diberbagai Kota kawasan Industri. Kelebihan gerakan Buruh dibanding sektor-sektor lainnya adalah terletak pada mobilisasi gerakan buruh sangat besar, bahkan bisa mencapai ratusan ribu hanya disatu kota kawasan Industri besar saja. Selain itu Massa buruh relatif rapih, solid dan terkoordinasi dengan baik saat melakukan demostrasi (terbiasa dalam sistim kerja Pabrikan).
Untuk memperjuangkan tuntutan kenaikan upahnya (Upah Minimum Kota/Kabupaten -Â UMK), pada saat berhadapan dengan Pengusaha (Apindo) dan Pemerintah, Gerakan buruh dalam upayannya untuk memperkuat posisi tawar dan tekanannya, umumnya melakukan berbagai metode Aksi massa disertai dengan pemogokan keluar Pabrik, blokade kawasan-kawasan Industri, penyegelan kantor-kantor Disnaker (Dewan Pengupahan), Balai Kota (kantor pemerintah), bahkan melakukan metode blokade Jalan Tol, blokade Bandara dan blokade Pelabuhan untuk memperkuat dimenangkannya tuntutan kenaikan Upah secara berkala (setiap tahun sekali).
Momentum kebijakan kenaikan BBM kali ini, mempertemukan dua spektrum gerakan sosial "Sang raksasa tidur" yg sangat penting di Indonesi  (selain gerakan Petani dan Kaum Miskin Perkotaan). Dua sektor gerakan sosial yang tak pernah absen dalam sejarah perlawanan di Indonesia sejak masa Kolonialisme Belanda, masa Orde Baru, hingga hari ini. Dua spektrum gerakan sosial yang begitu menguat setiap menemukan momentum poitik tersebut, yaitu :
Pertama, gerakan Mahasiswa yang isyu utamanya menolak kenaikan harga BBM dan isyu-isyu yang relatif sarat dengan tuntutan Politis.
Kedua, gerakan Serikat-serikat Buruh yang menuntut kenaikan upah dan tuntutan kesejahteraan lainnya, yang umumnya tuntutan dan isyu-nya lebih bersifat "Ekonomisme". Walaupun tidak sedikit Serikat-serikat Buruh Kiri diberbagai Kota besar yang juga memajukan Tuntutan-tuntutan Politik bagi kepentingan kelas Pekerja, selain itu juga menggabungkan tuntutan menolak kenaikan harga BBM, yang dipastikan akan menggerus nilai Upah yang diterima kaum buruh setiap bulannya.
Pemilihan momentum Jokowi mencabut subsidi BBM saat ini, dapat dipastikan akan diwarnai protes, penolakan dan perlawanan dari gerakan Buruh dan gerakan Mahasiswa dimana-mana, terutama di Kampus-kampus yang memiliki tradisi gerakan, maupun Pabrik-pabrik dan kawasan Industri yang memiliki Serikat Buruh yang relatif kuat dan terorganisir.
Pertanyaannya, mungkinkah dalam momentum saat ini, aksi-aksi gerakan Buruh dengan aksi-aksi gerakan Mahasiswa mampu bertemu dan saling menyatukan tuntutannya, seperti pada masa-masa saat gerakan Sosial di Indonesia bahu-membahu melawan kediktatoran Rezim Soeharto-Orba tahun 1996-1998?
Apapun pelajaran yang dapat dipetik dari momentum pencabutan subsidi BBM dan tuntutan kenaikan Upah Buruh (UMK) Tahunan ini, dipastikan akan ada biaya sosial yang akan ditanggung, juga biaya krisis atas bangunan citra "Populisme" yang mulai memudar dimata rakyat yg mulai bersikap kritis-politis.
Bangunan citra "Populis" yang dipercaya menjadi ikon Jokowi dimata para pendukungnya selama ini, pastinya juga akan ada harga yang harus dibayar menyangkut "krisis kepercayaan" (kontradiktif dgn Janji-janji Kampanye-nya) citra sebagai sosok "Pemimpin kerakyatan" yang juga akan tergerus. Nilai-nilai sosial ini tentunya harus dibayar Jokowi di hadapan orang banyak, justru dalam periode rezim yang baru berkuasa belum lagi genap dua bulan ini.
Lalu akan seperti apa kebijakan Rezim Jokowi menghadapi dua ledakan sosial sekaligus ini ?
Apakah akan tetap melanjutkan kebijakannya, sesuai anjuran Bank Dunia (World Bank) dan jajaran para Ekonom liberal-lokal saat ini ?
Atau justru akan menganulir atau membatalkan pencabutan subsidi BBM, sesuai keinginan banyak orang yg tidak puas dan terkena imbas langsung atas kenaikan harga-harga seluruh kebutuhan hidup sehari-hari ini ?
Memang menjadi begitu ironis, bagaimana ketika klaim akan narasi "Populisme" ditengah arah kebijakan Rezim Jokowi-JK yang justru berjangkar pada kepentingan World Bank, G-20,Multy National Coorporation / Trans National Coorporation (MNC/TNC) juga lembaga-lembaga donor produk Konsensus Washington lainnya.
- - - - -
24-11-2014. Gejayan, Mrican, Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H