Pertanyaannya, mungkinkah dalam momentum saat ini, aksi-aksi gerakan Buruh dengan aksi-aksi gerakan Mahasiswa mampu bertemu dan saling menyatukan tuntutannya, seperti pada masa-masa saat gerakan Sosial di Indonesia bahu-membahu melawan kediktatoran Rezim Soeharto-Orba tahun 1996-1998?
Apapun pelajaran yang dapat dipetik dari momentum pencabutan subsidi BBM dan tuntutan kenaikan Upah Buruh (UMK) Tahunan ini, dipastikan akan ada biaya sosial yang akan ditanggung, juga biaya krisis atas bangunan citra "Populisme" yang mulai memudar dimata rakyat yg mulai bersikap kritis-politis.
Bangunan citra "Populis" yang dipercaya menjadi ikon Jokowi dimata para pendukungnya selama ini, pastinya juga akan ada harga yang harus dibayar menyangkut "krisis kepercayaan" (kontradiktif dgn Janji-janji Kampanye-nya) citra sebagai sosok "Pemimpin kerakyatan" yang juga akan tergerus. Nilai-nilai sosial ini tentunya harus dibayar Jokowi di hadapan orang banyak, justru dalam periode rezim yang baru berkuasa belum lagi genap dua bulan ini.
Lalu akan seperti apa kebijakan Rezim Jokowi menghadapi dua ledakan sosial sekaligus ini ?
Apakah akan tetap melanjutkan kebijakannya, sesuai anjuran Bank Dunia (World Bank) dan jajaran para Ekonom liberal-lokal saat ini ?
Atau justru akan menganulir atau membatalkan pencabutan subsidi BBM, sesuai keinginan banyak orang yg tidak puas dan terkena imbas langsung atas kenaikan harga-harga seluruh kebutuhan hidup sehari-hari ini ?
Memang menjadi begitu ironis, bagaimana ketika klaim akan narasi "Populisme" ditengah arah kebijakan Rezim Jokowi-JK yang justru berjangkar pada kepentingan World Bank, G-20,Multy National Coorporation / Trans National Coorporation (MNC/TNC) juga lembaga-lembaga donor produk Konsensus Washington lainnya.
- - - - -
24-11-2014. Gejayan, Mrican, Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H