Setiap 8 Maret, peringatan Hari Perempuan Internasional diselenggarakan di berbagai penjuru dunia. Di salah satu sudut kota Jakarta, tepatnya di depan Kantor Bawaslu, menjadi lokasi dalam menyuarakan gerakan bersama perempuan yang diselenggarakan oleh Women’s March Jakarta.
Tak hanya itu, banyak perempuan berlomba-lomba menyuarakan hak mereka melalui platform media sosial serta mengunggah berbagai konten mengenai perempuan.
Di antara berbagai suara yang diserukan, ada satu yang menarik perhatian saya. Sebuah stigma yang terjadi dalam kehidupan seorang perempuan, khususnya bagi seorang ibu, yaitu pertanyaan: “Kapan menikah lagi?”
Pertanyaan itu seakan merujuk kepada orangtua tunggal yang dianggap tidak mampu menghidupi keluarganya sendiri. Orangtua tunggal atau single parent memang identik dengan perempuan, sebagai seorang ibu. Namun seorang pria juga dapat menjadi single parent. Kali ini saya hanya akan membahas mengenai stigma tersebut yang ditujukan bagi seorang single mother.
Tidak mudah menjadi seorang single mother, namun kekuatan untuk menjadi single mother muncul dari ketulusan hati seorang ibu. Siapa yang tidak ingin melihat anaknya bahagia? Segala hal dilakukan oleh seorang ibu tunggal demi kebahagiaan buah hatinya. Memenuhi asupan gizi, pendidikan, hingga kehidupan moral.
Seorang ibu tunggal juga kerap kali mendapat penghakiman dari sekitarnya. Alasan para penghakim ini sangat klasik, "agar anakmu dapat lebih terjamin hidupnya". Sadarkah kalian bahwa terkadang kalimat tersebut mematahkan semangat dari seorang ibu tunggal?
Seorang ibu menginginkan hidup anaknya lebih terjamin, namun tidak semua ibu ingin kembali memiliki hubungan hanya karena ingin hidup anaknya lebih terjamin. Tidak semua ibu memiliki latar yang sama sebelum menjadi seorang single mother.
Ada yang sendiri karena suatu perpisahan resmi, sebut saja perceraian. Ada yang ditinggal mati hingga ditinggal kawin lagi. Namun ada yang lebih menyakitkan karena sedari awal tidak pernah ada yang bertanggung jawab terhadap ia dan buah hatinya.
Berbagai latar ini tentunya akan menumbuhkan keinginan yang berbeda dalam menjalin kasih kesekian kalinya.
Jangan lupa bahwa setiap manusia memiliki hak dalam menentukan hidupnya, termasuk seorang ibu. Seorang ibu berhak untuk menentukan kelanjutan hidup bersama anak-anaknya, apakah bersama orang lain menjadi lebih baik atau justru membesarkan anak sendiri lebih baik?
Tidak hanya tentang stigma, asumsi tentang bahagia adalah uang juga semakin menekan kehidupan para ibu tunggal. Banyak yang beranggapan bahwa seorang anak yang bahagia hidupnya bila terlihat terjamin dari segi keuangan.
Padahal bentuk kebahagiaan bukanlah tentang uang. Kasih sayang dan perlindungan jauh lebih penting daripada uang. Segalanya memang membutuhkan uang tapi uang bukanlah segalanya.
Jadi, apabila ada seorang anak dari ibu tunggal yang seakan tak memiliki banyak uang bukan berarti mereka tidak bahagia. Hal ini akan menyakiti perasaan sang anak. Ketika perasaan anak tersakiti mereka akan menelaah lebih jauh mengenai ibu mereka, benarkah apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.
Ketika anak mulai menggali jawaban, terkadang mereka menarik kesimpulan yang salah, sehingga bila kebahagiaan berawal dari kasih sayang, karena kesalahpahaman tersebut membuat seorang anak percaya bahwa uang adalah kebahagiaan.
Padahal para ibu tunggal memiliki rahasia dalam batin mereka yang terkadang harus merelakan egoisme demi anak. Banyak dari ibu yang membawa pulang makanan enak dari kantor demi makan bersama anaknya. Ketika mereka hadir dalam suatu undangan, mereka akan mengajak anak mereka agar dapat mencicipi masakan yang sama.
Mereka rela tidak membeli baju mahal agar anaknya dapat menggunakan baju mahal seperti teman-temannya. Apakah orang di luar sana pernah berpikir seberapa berat seorang ibu tunggal dalam menekan kebutuhan mereka?
Mungkin maksud pandangan orang sekitar agar ibu tersebut tidak terbebani hidupnya, di mana bila menikah lagi seorang ibu dapat membagi beban bersama suaminya. Namun keputusan tetap di tangan sang ibu.
Ada seorang ibu yang tak ingin menikah lagi setelah kehancuran keluarganya. Ada juga ibu yang tak ingin menikah lagi karena tak ingin anaknya disakiti lagi. Masih ada seorang ibu yang tak ingin menikah lagi karena takut suami keduanya juga tak mau menanggung biaya hidup dan malah menambah beban hidup mereka.
Banyak sekali latar belakang yang membuat ibu tunggal bertahan dengan kesendiriannya. Meski awalnya sulit, tetapi ketika dijalani mereka akan lebih sanggup ketimbang orang lain yang menghakimi mereka.
Seorang ibu tunggal mungkin terlihat kaku ketika berhadapan dengan para tetangga karena jarang berada di rumah. Namun, single mother tidak pernah kaku dalam melakukan apapun demi menjaga buah hati mereka.
Sebagai anak dari seorang single mother, tentu saya melihat jelas seperti apa sosok ibu saya. Kekuatan hidup yang saya dapatkan lebih banyak berasal dari ibu saya. Ketika beliau melihat anaknya menangis, tapi tidak pernah membiarkan anaknya melihatnya menangis, itulah ibu saya, dan saya yakin seperti itu juga para ibu di luar sana.
Bisakah para penghakim bebas di luar sana lebih menghargai keberadaan mereka, para single mother?
Seorang ibu tunggal berhak untuk bertahan sendiri, apabila mereka mau, mampu, dan sanggup dalam menjaga kehidupan mereka bersama sang buah hati, dan selama mereka bahagia dengan cara mereka. Sebab bahagia dan kasih sayang tidak tampak bentuknya tetapi dapat dirasakan hingga tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H