Mohon tunggu...
DWI FEBRIANA
DWI FEBRIANA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Lampung

Mahasiswa Universitas Lampung dari Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia Lumbung Korupsi: Mengapa Bisa Terjadi?

18 April 2023   20:41 Diperbarui: 18 April 2023   20:41 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Di negeri yang penuh muslihat, korupsi seolah menjadi perkara lumrah. Perburuan menjadi paling kaya, menjadi hobi para abdi negara" 

-Najwa Shihab

Seringkali kita mendengar adanya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Bahkan sudah menjadi hal "biasa" masyarakat mendengarnya. Korupsi terjadi pada hampir semua lini seperti pemerintahan, perusahaan swasta, bahkan perguruan tinggi. Menurut data Indonesia Corupption Watch (ICW), terdapat 579 kasus korupsi yang terungkap sepanjang 2022.  

Jumlah kasus tersebut meningkat 8,63% dibandingkan tahun 2021 yakni 533 kasus. Dalam survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis oleh Transparency International untuk tahun 2022, Indonesia berada pada peringkat 110 dari 180 negara dengan skor IPK mencapai skor 38. 

Contoh kasus korupsi yang menarik perhatian publik yaitu kasus Surya Darmadi terkait perkara dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dengan kerugian negara 78 triliun, kasus proyek pengadaan e-KTP yang menyeret Mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya Setya Novanto dengan kerugian 2,3 triliun, kasus Bank Century dengan kerugian negara mencapai 6,76 triliun, dan masih banyak lagi.

Menjadi sebuah ironi, karena sebagian dana yang di korupsi berasal dari APBN/APBD yang sebagian besarnya asalnya dari uang pajak yang dibayarkan setiap bulannya oleh rakyat. 

Padahal tujuan pemungutan pajak adalah membiayai anggaran yang berkaitan dengan pembangunan (sosial, ekonomi, pendidikan, infrastuktur) dan rumah tangga negara  Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Indonesia adalah "lumbung korupsi" karena banyaknya kasus korupsi yang terjadi di negara ini. 

Lantas menjadi suatu pertanyaan mengapa hal tersebut dapat terjadi secara terus menerus? Apakah hukum yang ada mengenai korupsi kurang tegas sehingga tidak menimbulkan efek jera? Bagaimana hubungan korupsi dengan etika dalam administrasi?

Korupsi berasal dari kata kerja latin corrupt corrumpere berarti busuk, rusak, terguncang, ditolak, disuap. Menurut Transparency International, ini adalah perilaku politisi atau pejabat yang secara tidak pantas dan ilegal memperkaya diri sendiri atau orang yang mereka cintai dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. 

Sebaliknya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti jahat, dirugikan, ingin menggunakan barang dan dana yang dipercayakan kepadanya, membiarkan dirinya disuap untuk keuntungan pribadi melalui kekuasaannya. Menurut pengertian terminologinya, korupsi adalah penyalahgunaan atau penggelapan dana pemerintah atau perusahaan untuk keuntungan pribadi atau lainnya.

Secara lebih spesifik pengertian korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu "setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara"

Setelah mengamati masalah korupsi yang ada di Indonesia ini menimbulkan suatu persepsi bahwa Indonesia merupakan lumbung korupsi. Di Indonesia korupsi itu sudah merupakan hal yang terjadi secara terus menerus, korupsi dapat terjadi secara terus menerus dikarenakan kurangnya kesadaran para pejabat publik dalam hal tanggung jawabnya, selain itu juga hukum di Indonesia saat ini masih sangat lemah yang menyebabkan banyak pejabat publik berani dan bahkan membuat para pejabat publik tersebut dapat menyalahgunakan wewenangnya dan menelan uang rakyat.

Alasan lainnya mengapa Indonesia masih menjadi lumbung korupsi yakni rendahnya kesejahteraan rakyat. Lantas apa hubungannya kesejahteraan rakyat dengan korupsi yang terus menerus? Masyarakat yang cenderung tidak berpendidikan dan miskin cenderung mudah didoktrin oleh politisi dengan berbagai janji manis yang mereka sampaikan pada saat kampanye untuk pemilihan umum agar masyarakat itu memilih calon maupun partai tersebut  duduk di parlemen maupun yang menjabat di daerah hingga pusat. 

Mengapa demikian? Karena masyarakat tersebut masih berkutat pada permasalahan makanan dan hal-hal pokok untuk hidup mereka. Misalnya, masyarakat diberikan 2 pilihan politisi, politisi A suka membagikan uang (bantuan), pendidikan gratis, subsidi BBM dan listrik padahal hal ini untuk jangka pendek dan tidak peduli apabila salah sasaran dan terdapatnya praktik korupsi sedangkan politisi B tidak mau mengeluarkan uang, kurangi subsidi BBM, kurangi subsidi listrik, naikkan pajak pendapatan yang nantinya akan dialokasikan untuk subsidi pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan manufaktur, intinya untuk rencana jangka panjang agar di masa depan Indonesia sudah memiliki SDM yang handal. 

Dengan pilihan tersebut pastinya mayoritas masyarakat Indonesia, memilih politisi A karena kepentingan pokok dan makanan masih menjadi poros dalam kehidupan mereka. Sebagian masyarakat dengan kesejahteraan yang rendah lebih memikirkan "apa yang mereka perlukan pada hari ini untuk bertahan hidup" dibandingkan "apa yang dibutuhkan anak cucu mereka di masa mendatang".

Nyatanya korupsi dapat terjadi di negara miskin, berkembang, bahkan maju. Seperti perkataan Bill Gates dalam sebuah wawancaranya "Anyone who wants there to be zero corruption should just go in their room and shut their door". Korupsi itu pastinya akan selalu ada di negara manapun, korupsi tidak dapat hilang tetapi bisa di minimalisir. Namun pada negara maju korupsi biasanya dilakukan di level walikota ke atas sedangkan pada negara berkembang dan miskin birokrasi level kecamatan sudah bisa dikorupsi. Korupsi di negara berkembang khususnya Indonesia seperti sebuah lingkaran setan yang sulit diputus. Hal tersebut dapat dilihat dari bagan di bawah ini:

Dokpri
Dokpri

Secara resmi, tentu ada nilai-nilai etis yang harus dipatuhi dalam jabatan ini. Etika manajemen memainkan peran ini sebagai panduan bagi administrator sistem dan mereka yang terlibat dalam mengawasi tanggung jawab, fungsi, dan wewenang utama mereka. Selain itu, etika manajemen juga menjadi tolok ukur untuk menilai baik buruknya sikap, perilaku, atau kebijakan. Salah satu nilai etika atau pedoman etika yang harus diikuti oleh lembaga adalah pemberantasan korupsi.

Dalam birokrasi publik, etika individu sebenarnya sulit diterapkan. Karena ketika seseorang bekerja di sektor publik, orang tersebut seakan tersesat dan tertelan oleh sistem organisasi. Etika juga semakin sulit diterapkan secara individual karena adanya dua jalur etika baru dalam birokrasi sektor publik, yaitu etika netralitas dan etika struktur. Menurut etika ketidakberpihakan, pegawai negeri tidak bertindak untuk dirinya sendiri tetapi untuk penguasa, jadi pegawai negeri disini netral secara etis. Jadi ketika seorang pejabat membuat kebijakan, kita melihat agensi dan posisinya, bukan individunya.

Penulis

Dwi Febriana, Universitas Lampung

Vivi Aprisa, Universitas Lampung

Anisa Soleha, Universitas Lampung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun