Sore di tanggal 8 Agustus itu, Aula Fajar Notonagoro Universitas Airlangga Surabaya, dipenuhi para mahasiswa-mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Mereka antusias menyimak kuliah umum dari Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Termasuk saya. Cerita kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat memperjuangkan peninjauan ulang atas fasilitas Generalized System of Preferences atau GSP, dituturkan dengan ringan dan menyenangkan.
Mendag berkisah dari satu pertemuan ke pertemuan lain dengan runtut dan renyah. Tanpa teks. Sesekali tawa pecah, saat Mendag melontar gurauan. Ungkapan Mendag saat itu yang begitu menempel di ingatan saya adalah "Kalau negosiasi dijalankan hanya dengan meminta-minta, kita akan tampak sebagai negara miskin. Saya tidak melakukan itu. Kita harus percaya diri. Indonesia negara besar. Berikan impresi terbaik!"
Topik peninjauan ulang fasilitas Generalized System of Preferences yang diberikan Pemerintah AS untuk Indonesia, memang tidak terlalu populer di lingkup awam. Barangkali, hanya kalangan tertentu dan pemerhati dinamika ekonomi saja yang mengikutinya. Meski demikian, tak sedikit media-media massa nasional yang belakangan ramai mengulas.
GSP merupakan program yang didesain untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang melalui pembebasan bea masuk. Ada 129 negara dan kawasan yang menerima fasilitas tersebut, termasuk Indonesia. Melalui fasilitas ini, produk-produk ekspor kita pun dapat bersaing di pasar Amerika dengan harga kompetitif. Â
Apa jadinya bila fasilitas ini dicabut? Pertama, para eksportir Indonesia mesti membayar sekitar USD1,8 miliar per tahun, nilai itu setara dengan Rp25 triliun. Tak besar memang, bila dibandingkan dengan total nilai ekspor Indonesia dengan AS yang mencapai sekitar USD17,79 miliar selama 2017. Kedua, dengan tarif bea masuk normal, beban biaya yang ditanggung eksportir meningkat, harga jual di pasar Amerika pun mesti menyesuaikan.Â
Sehingga daya saing otomatis berkurang. Bila eksportir tak sanggup membayar sesuai ketentuan, tentu saja kuantitas ekspor mau tak mau bakal menurun. Ketiga, kuantitas ekspor yang menurun akan mempengaruhi neraca perdagangan. Apalagi, Amerika Serikat merupakan mitra dagang utama. Sehingga nilai perdagangan dengan negara tersebut harus terjaga. Atas alasan itulah, pemerintah melobi Amerika agar tetap memberikan fasilitas GSP, sehingga neraca perdagangan Indonesia tak terganggu.
Akhir Juli kemarin, Mendag Enggartiasto Lukita yang diutus untuk memimpin delegasi Indonesia ke Amerika Serikat.
Yang menarik dalam pertemuan tersebut, Mendag Enggar tak hanya bertemu dengan United States Trade Representative (USTR) sebagai otoritas pengelola perdagangan Amerika. Tim yang dipimpinnya pun bertemu dengan perwakilan direksi Boeing, US Chamber of Commerce, pengusaha tekstil AS, serta pengusaha baja dan alumunium AS. Mengapa begitu banyak yang ditemui? Bukankah tujuan utamanya adalah mengamankan fasilitas GSP?
Ternyata Mendag Enggar menjalankan strategi menarik. Mendag turut mengajak sejumlah pengusaha Indonesia untuk menguatkan daya tawar. Mendag sengaja menemui banyak pihak di Amerika untuk menggalang dukungan. Dengan percaya diri Mendag bilang, "Kami ke sini untuk membeli komoditas anda, bukan meminta-meminta! Kami beli produk anda, dan begitu juga sebaliknya. Anda mesti beli produk-produk Indonesia"
Dengan seperti itu, Mendag ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara dengan perekomian besar yang tak patut diremehkan. Bahkan, dalam pertemuan-pertemuan informal, seperti pada acara-acara jamuan tamu, Mendag sama sekali tak menyinggung soal GSP. Berkali-kali Mendag menegaskan bahwa misinya adalah berdagang.
Tentu saja, pihak-pihak yang ditemui merasa heran. Ini berbeda dengan sangkaan. Sebagian mereka yang semula berpikir bahwa Indonesia adalah negara remeh yang tak layak untuk berbisnis, lantas berubah pikiran setelah berjumpa dengan Mendag Enggar.