Mohon tunggu...
Dwi Handoko Saputro
Dwi Handoko Saputro Mohon Tunggu... Guru - Kehidupan itu sebuah cerita

Menulis bagian dari kehidupan yang manis dan nyata karena bagian sebuah cerita

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru di Antara Surga dan Neraka

13 April 2022   06:15 Diperbarui: 13 April 2022   06:21 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam kehidupan manusia di alam semesta ini tidak terlepas dari belajar, baik dari sekolah maupun dilingkungan sekitar. Tentunya, manusia belajar tidak lepas dari tuntunan seorang guru atau ustadz yang memiliki penguasaan kompetensi dibidangnya. Mungkin pembaca akan bertanya, apakah guru dengan ustadz sama? Tentu jawabannya, iya!”. Sama, karena sama-sama menguasai kompetensi dalam bidangnya masing-masing dan memiliki karakter dalam memberikan tuntunan atau teladan yang baik kepada anak didiknya.

Penguasaan kompetensi yang dimiliki guru bukan hanya diperoleh dari pendidikan kesarjanaan, tetapi dari pengalaman dalam kehidupan nyata, sehingga apa yang diajarkan dari seorang guru kepada anak didiknya harus dapat dipertanggungjawabkan baik dunia maupun akhirat, karena seorang guru sebagai penerus baginda Rasulullah Shalallaahu’Alaihi Wa Sallam yang menyebarkan ilmu kebaikan dan keselamatan dunia-akhirat, sehingga muncul pertanyaan, siapakah yang termasuk penyebar ilmu kebaikan dan keselamatan? Jawabnya, para guru diantaranya; waliyullah, para Habib dan ustad, pendidik/pengajar, motivator/pelatih, orang tua, anak pertama.

Makanya tidak sembarang orang untuk dapat menjadi seorang guru karena memiliki tanggung jawab yang sangat berat di dunia dan akhirat. Jika seorang guru memberikan pembelajaran yang tidak baik kepada anak didiknya, maka dapat menjerumuskan anak didiknya ke lembah api neraka.

Dalam bahasa keimanan arti “GURU adalah DIGUGU dan DITIRU” memiliki makna luas; pertama, digugu; dimana guru harus memiliki kharisma atau wibawa dalam berbicara sebagai keyakinan kepada anak didiknya, bahwa setiap yang disampaikannya harus dapat dipercaya secara fakta. Kedua, ditiru; dimana guru harus memiliki karakter dalam memberikan teladan atau contoh yang baik sebagai motivator kepada anak didiknya menuju jalan sirotholmustaqim atau jalan yang diridhoi sang pencipta.

Pada saat guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam menyampaikan informasi harus sesuai dengan fakta yang ada berdasarkan disiplin ilmu yang dikuasainya, bukan hanya disiplin ilmu tetapi guru harus memiliki dasar kenyakinan keimanan yang kuat sebagai dasar mendidik anak didiknya, yang dimaksud dasar kenyakinan berupa ilmu ketauhidan. 

Muncul pertanyaan apa itu ilmu ketauhidan? Ilmu ketauhidan merupakan ilmu dibidang keagamaan/keyakinan yang dikuasai sesuai dengan pengalaman spiritual yang pernah dialaminya dan berdasar disiplin ilmu yang berkembang. 

Ada sebuah pepatah yang sangat terkenal, “Ilmu Tanpa Agama Akan Buta, sedangkan Agama Tanpa Ilmu Akan Lumpuh”. Pepatah ini memiliki makna bahwa ilmu tanpa dilandasi dengan agama, maka ilmu itu akan membawa anak didiknya menuju jalan neraka dan yang akan dimintai pertanggungjawaban pertama diakhirat adalah guru, karena yang mengajarkan ilmunya. 

Sedangkan agama tanpa dilandasi dengan ilmu akan menyimpang dari jalan sang pencipta yang dimintai pertanggungjawaban pertama adalah guru.

Apakah semua guru memiliki ilmu ketauhidan? Jawabnya “iya”, tetapi tergantung pada disiplin ilmunya masing-masing. 

Sebenarnya seluruh manusia memiliki ilmu tauhid sejak manusia dilahirkan, akan tetapi setiap manusia ada yang menelaah dan mempelajari melalui pengalaman spiritualnya dan ada yang tidak menelaah dan mempelajari dari pengalaman spiritualnya, tetapi mempelajari melalui membaca buku. Bagaimana tandanya guru yang memiliki dasar ilmu tauhid dengan yang tidak memilikinya?

Guru yang memiliki dasar ilmu tauhid dalam mendidik dan mengajar akan memiliki semangat motivasi yang kuat, karena apa yang disampaikannya berdasar menuju jalan sirotholmustaqim atau lillahi ta’ala dan penuh rasa ikhlas dalam memberikan ilmunya. 

Sebaliknya guru yang tidak memiliki dasar ilmu tauhid dalam mendidik dan mengajar akan memiliki rasa malas, jenuh, masa bodoh, kepada anak didiknya, dan melaksanakan tugas hanya untuk menggugurkan kewajibannya seperti dalam berdo’a (sholat) dengan tergesa-gesa hanya untuk menggugurkan kewajiban (berprinsip yang penting sudah berdo’a atau sholat).

Ini akan sangat berbahaya dalam mempertanggungjawabkannya dihadapan sang pencipta yang dapat membawa manusia masuk kedalam neraka-Nya, karena dalam menyampaikan ilmunya berdasar duniawi (jika ada uang jalan, tapi jika tidak ada uang tidak jalan). 

Memang semua yang didunia itu memerlukan uang untuk bertahan hidup dan sejahtera, itulah sebagian sifat manusia, jika manusia tersebut tidak memiliki dasar ilmu tauhid (kenyakinan kepada sang pencipta).

Prinsip duniawi tersebut tidak benar, bahwa dalam menyampaikan ilmu kepada anak didiknya harus memiliki keyakinan yang kuat kepada sang pencipta, bahwa rezeki itu datangnya tidak diduga-duga pada saat manusia memberikan dan menyebarkan ilmunya dengan penuh keikhlasan lillahi ta’ala, maka dunia akan mengikuti manusia. 

Jangan sampai manusia mengikuti dunia akhirnya kehidupan akhirat dilupakan, tetapi berpeganglah dari sisi keimanan dengan “50% untuk dunia dan 50% untuk akhirat”, sehingga terjadi keseimbangan yang saling mendukung atau memotivasi. 

Dan sebagai dasar manusia agar termotivasi qolbunya didalam mendidik dan mengajar adalah dengan memegang prinsip menyebarkan ilmu itu sebagai penerus dakwah baginda Rasulullah Shalallaahu’Alaihi Wa Sallam tetapkan sebagai keyakinan dalam qolbu menuju/mengejar surga-Nya sang pencipta

Setiap anak didik pasti menginginkan do’a dari seorang gurunya, karena setiap guru berdo’a pasti akan dikabulkan oleh sang pencipta, jika seorang guru dalam mendidik dan mengajar atau menyampaikan ilmunya berdasar keikhlasan lillahi ta’ala. 

Ini membuktikan bahwa tugas menjadi seorang guru itu sangat berat seperti memikul dua gunung dipundaknya (dalam kiasan), karena apa yang disampaikan guru kepada anak didiknya dipertanggungjawabkan dihadapan sang pencipta antara neraka-Nya dan surga-Nya.

Marilah sebagai manusia yang menjelma sebagai guru untuk benar-benar meneruskan dalam menyebarkan ilmu kebaikan kepada anak didik, agar dapat menghasilkan; anak didik yang sholeh dan sholehah, sedekah ilmu atau amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat. 

Jangan sampai melaksanakan tugas hanya untuk menggugurkan kewajiban dan salah dalam pemahaman ilmu untuk menuju jalan yang di ridhoi sang pencipta, supaya kita sebagai manusia dapat mengontrol ilmu duniawi makanya harus mampu menyeimbangkan agama dengan ilmu untuk berkarya menyebarkan ilmu atau pengalaman, sehingga keyakinan kepada sang pencipta masuk dalam sanubari qolbu yang dapat mendatangkan rezeki yang sudah diatur-Nya dan mendapatkan surga-Nya yang indah dan kekal abadi selama-lamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun