Dalam kehidupan manusia di alam semesta ini tidak terlepas dari belajar, baik dari sekolah maupun dilingkungan sekitar. Tentunya, manusia belajar tidak lepas dari tuntunan seorang guru atau ustadz yang memiliki penguasaan kompetensi dibidangnya. Mungkin pembaca akan bertanya, apakah guru dengan ustadz sama? Tentu jawabannya, iya!”. Sama, karena sama-sama menguasai kompetensi dalam bidangnya masing-masing dan memiliki karakter dalam memberikan tuntunan atau teladan yang baik kepada anak didiknya.
Penguasaan kompetensi yang dimiliki guru bukan hanya diperoleh dari pendidikan kesarjanaan, tetapi dari pengalaman dalam kehidupan nyata, sehingga apa yang diajarkan dari seorang guru kepada anak didiknya harus dapat dipertanggungjawabkan baik dunia maupun akhirat, karena seorang guru sebagai penerus baginda Rasulullah Shalallaahu’Alaihi Wa Sallam yang menyebarkan ilmu kebaikan dan keselamatan dunia-akhirat, sehingga muncul pertanyaan, siapakah yang termasuk penyebar ilmu kebaikan dan keselamatan? Jawabnya, para guru diantaranya; waliyullah, para Habib dan ustad, pendidik/pengajar, motivator/pelatih, orang tua, anak pertama.
Makanya tidak sembarang orang untuk dapat menjadi seorang guru karena memiliki tanggung jawab yang sangat berat di dunia dan akhirat. Jika seorang guru memberikan pembelajaran yang tidak baik kepada anak didiknya, maka dapat menjerumuskan anak didiknya ke lembah api neraka.
Dalam bahasa keimanan arti “GURU adalah DIGUGU dan DITIRU” memiliki makna luas; pertama, digugu; dimana guru harus memiliki kharisma atau wibawa dalam berbicara sebagai keyakinan kepada anak didiknya, bahwa setiap yang disampaikannya harus dapat dipercaya secara fakta. Kedua, ditiru; dimana guru harus memiliki karakter dalam memberikan teladan atau contoh yang baik sebagai motivator kepada anak didiknya menuju jalan sirotholmustaqim atau jalan yang diridhoi sang pencipta.
Pada saat guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam menyampaikan informasi harus sesuai dengan fakta yang ada berdasarkan disiplin ilmu yang dikuasainya, bukan hanya disiplin ilmu tetapi guru harus memiliki dasar kenyakinan keimanan yang kuat sebagai dasar mendidik anak didiknya, yang dimaksud dasar kenyakinan berupa ilmu ketauhidan.
Muncul pertanyaan apa itu ilmu ketauhidan? Ilmu ketauhidan merupakan ilmu dibidang keagamaan/keyakinan yang dikuasai sesuai dengan pengalaman spiritual yang pernah dialaminya dan berdasar disiplin ilmu yang berkembang.
Ada sebuah pepatah yang sangat terkenal, “Ilmu Tanpa Agama Akan Buta, sedangkan Agama Tanpa Ilmu Akan Lumpuh”. Pepatah ini memiliki makna bahwa ilmu tanpa dilandasi dengan agama, maka ilmu itu akan membawa anak didiknya menuju jalan neraka dan yang akan dimintai pertanggungjawaban pertama diakhirat adalah guru, karena yang mengajarkan ilmunya.
Sedangkan agama tanpa dilandasi dengan ilmu akan menyimpang dari jalan sang pencipta yang dimintai pertanggungjawaban pertama adalah guru.
Apakah semua guru memiliki ilmu ketauhidan? Jawabnya “iya”, tetapi tergantung pada disiplin ilmunya masing-masing.
Sebenarnya seluruh manusia memiliki ilmu tauhid sejak manusia dilahirkan, akan tetapi setiap manusia ada yang menelaah dan mempelajari melalui pengalaman spiritualnya dan ada yang tidak menelaah dan mempelajari dari pengalaman spiritualnya, tetapi mempelajari melalui membaca buku. Bagaimana tandanya guru yang memiliki dasar ilmu tauhid dengan yang tidak memilikinya?
Guru yang memiliki dasar ilmu tauhid dalam mendidik dan mengajar akan memiliki semangat motivasi yang kuat, karena apa yang disampaikannya berdasar menuju jalan sirotholmustaqim atau lillahi ta’ala dan penuh rasa ikhlas dalam memberikan ilmunya.