Pandemi Covid-19 semakin menghantui, hampir dua tahun terasa terus menggerogoti penduduk Indonesia. Pada Juli 2021, berita kehilangan orang-orang tersayang seperti hujan yang tidak kunjung reda. Rumah sakit penuh, lahan pemakanan semakin berkurang, dan jenazah yang mengantri untuk dimakamkan menjadi berita yang tidak kunjung ada habis nya di Indonesia.
Varian Covid-19 baru yang masuk ke Indonesia seperti Delta, Kappa, Lambda dan lain-lain semakin membuat masyarakat Indonesia resah. Hal ini membuat tingkat stress masyarakat juga meningkat yang disebabkan oleh proses mencari rumah sakit yang sulit dan kekhawatiran besar tertular Covid-19.
Pandemi Covid-19 nyatanya tidak hanya memperparah keadaan kesehatan masyarakat Indonesia, namun juga keadaan ekonomi Indonesia. Pada Mei 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa pemerintah cukup optimis perekonomian Indonesia akan pulih, hal ini didasarkan pada tren pemulihan ekonomi yang semakin kuat dimana berbagai leading indicators terus memberikan kabar baik dengan peningkatannya.
Rentang angka outlook pertumbuhan ekonomi di tahun 2021 sebesar 4,5 – 5,3 persen dan proyeksi pertumbuham ekonomi 5,2 - 5,8 di tahun 2022 juga dikatakan mencerminkan optimisme pemulihan ekonomi dan potensi akselerasi pertumbuhan ekonomi dari reformasi struktural.
Namun selang satu bulan yaitu Juni 2021, Sri Mulyani melakukan revisi target pertumbuhan ekonomi yang semula diproyeksikan pada kisaran 4,3 – 5,3 persen menjadi 3,7 – 4,5 persen. Hal ini disebabkan oleh penyebaran Covid-19 yang semakin tidak baik dan diprediksi akan semakin meningkat.
Pemerintah akhirnya juga mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menanggulangi semakin tingginya jumlah korban di Indonesia, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), dan PPKM Mikro. Dari kebijakan-kebijakan itu semua, perbedaannya hanya pada seberapa besar dan ketat nya pembatasan yang dilakukan.
Namun, kebijakan-kebijakan yang mulai diberlakukan di Indonesia sejak April 2020 ini cukup banyak mengeluarkan pro kontra dan semakin kurang dipedulikan karena masyarakat hanya melihat keadaan pandemi yang semakin memburuk di Indonesia. Efektivitas kebijakan-kebijakan tersebut perlu dilihat karena juga berdampak pada perekonomian negara, apalagi pada Juli 2021 ini telah muncul kebijakan baru yaitu kebijakan PPKM Darurat.
PPKM Darurat merupakan kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat yang lebih ketat dari kebijakan-kebijakan yang telah berlaku sebelumnya. PPKM Darurat mulai diberlakukan pada 3 Juli hingga 20 Juli yang diharapkan bisa menekan jumlah penularan Covid-19 di wilayah Jawa dan Bali.
Beberapa kemungkinan pengaruh PPKM Darurat terhadap perekonomian dapat dilihat dari dampak-dampak yang tercipta dengan adanya kebijakan-kebijakan pembatasan yang selama ini diterapkan. Pertama dari adanya kebijakan PSBB, penerapan PSBB menurunkan secara tajam aktivitas ekonomi masyarakat yang berimbas pada perlambatan pertumbuhan ekonomi menjadi 2,97 persen pada triwulan I 2020 dan menjadi -5,32 persen pada triwulan II 2020 (LPI, 2020).
Kedua, pemberlakukan PPKM di Jawa dan Bali pada Januari 2021 diprediksi akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi kuartal I 2021 dan kenyataannya pada Mei 2021, ekonomi Indonesia masih resesi dimana pertumbuhan ekonomi kuratal I 2021 masih -0,74 persen, grafik pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.
Penurunan pertumbuhan ekonomi akibat kebijakan-kebijakan pembatasan tersebut seharusnya berbanding lurus dengan penurunan angka korban Covid-19, namun dapat dilihat pada Gambar 2 bahwa kasus baru harian Covid-19 di Indonesia cenderung fluktuatif. Jika dilihat berdasarkan waktu penerapan kebijakan PSBB dan PPKM, angka Covid-19 pada tahun awal 2020 tidak menunjukan penurunan dan pada Januari 2021 juga semakin meningkat walaupun akhirnya kurvanya melandai pada Februari hingga Mei 2021.
Jika dilihat secara umum, kebijakan PPKM Darurat yang sedang diberlakukan saat ini dimana kegiatan masyarakat dibatasi dengan sangat ketat, tidak mungkin tidak mempengaruhi perekonomian Indonesia. PPKM Darurat ini kemungkinan juga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi di 2021 dimana sektor-sektor yang akan paling terdampak adalah sektor pariwisata, pakaian, transportasi, dan jenis usaha yang bergerak pada sektor non-essensial.
Pendapat ini didukung oleh pernyataan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu yang menyatakan bahwa “Dengan adanya PPKM Darurat jelas akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di kuartal III dan dampak tersebut nantinya akan terlihat sesignifikan apa itu di kuartal III”. Pembatasan kegiatan masyarakat ini kemungkinan juga akan semakim memperlambat laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga, prediksi ini dibangun karena melihat keadaan laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga yang mengalami kontraksi atau penurunan pada kuartal I 2021 yaitu -2,23% (Gambar 3).
Selain itu, PPKM Darurat ini juga dapat berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal dan peningkatan angka pengangguran yang juga berimbas pada kenaikan angka kemiskinan di Indonesia dikarenakan para pengusaha dan UMKM banyak yang terdampak. Hal ini didukung dengan data BPS yang menunjukan bahwa 6,26% atau setara dengan 16 juta penduduk Indonesia masih menganggur pada Februari 2021 (Gambar 4).
Dampak penurunan pada perekonomian Indonesia nyatanya belum dapat berbanding lurus dengan penurunan angka Covid-19 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 5 dimana grafik kasus harian Covid-19 di Indonesia belum menunjukan tanda-tanda akan melandai sejak pemberlakuan PPKM Darurat pada 3 Juli lalu. Pendapat ini juga didasari oleh pendapat dari Epidemiolog Grffith Dicky Budimana saat diwawancarai oleh Kompas.com, beliau mengatakan bahwa PPKM Darurat ini belum berhasil karena growth rate Covid-19 di Indonesia selama pemberlakukan PPKM Darurat masih meningkat hingga 45,4% dan angka reproduksi Covid-19 yang pada tanggal 3 Juli tercatat 1,37 meningkat menjadi 1,4 pada 9 Juli.
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan PPKM Darurat yang diberlakukan sejak tanggal 3 Juli 2021 keefektivitasanya belum menunjukan tanda-tanda positif bagi kesehatan di Indonesia, namun sudah pasti berdampak negatif pada perekonomian Indonesia.
Tetapi di luar itu, kebijakan pembatasan memang sangat diperlukan di Indonesia saat ini, mobilitas penduduk harus dikurangi agar risiko penularan juga tidak semakin bertambah.
Memang sudah pasti akan banyak pihak yang dirugikan dari segi ekonomi, namun tidak ada kebijakan yang akan menyenangkan dan menguntungkan semua pihak. Kesehatan menjadi poin utama yang harus dijunjung tinggi saat ini dan kerugian ekonomi harus mejadi pondasi agar kesehatan di Indonesia membaik.
Harapannya, pemerintah lebih mampu memastikan PPKM Darurat ini berjalan dengan baik. Harus ada evaluasi atas kondisi selama satu pekan PPKM Darurat diberlakukan karena terlihat bahwa sebenarnya PPKM Darurat ini seperti kebijakan yang tiba-tiba dan masih bolong dimana-mana.
Selain itu, kerjasama masyarakat juga diperlukan dalam kondisi ini, tetap di rumah dan tetap menaati protokol kesehatan menjadi kunci utama dalam membantu pemerintah dan mengurangi risiko terpapar Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H