Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Dosen - Pencari

Penerjemah bhs Inggris bhs Indonesia/bhs Jawa; peneliti independen dlm kajian penerjemahan, kajian Jawa, dan semantik budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dampak Negatif Jalan Tol bagi Warga Sekitar (Juga Solusinya)

24 April 2018   01:53 Diperbarui: 9 Maret 2019   12:29 13648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manfaat jalan tol adalah untuk menciptakan dan menumbuhkan daerah industri, melancarkan pengangkutan sembako, dan beragam hal baik lainnya.

Benar, itu beberapa manfaatnya. Tapi tidakkah pemerintah dan mereka yang merancang dan membangun jalan tol memikirkan siksaan fisik dan mental yang dialami warga yang tinggal di tepian jalan tol setelah jalan tol jadi dan digunakan?

Kebetulan saya tinggal di sebuah desa yang berjarak hanya 500 meter dari jalan Tol Ngawi-Kertosono. Saya tahu persis betapa menderitanya warga-warga desa yang sekarang jadi tinggal tepat di tepi jalan tol. Sebelum jalan tol dibangun, desa-desa mereka tenteram, nyaman, dan segar. Bila malam, hening, berteman suara jengkerik, kodok, dan embusan angin bersih.

Tapi sekarang yang ada adalah hembusan truk, trailer, bus, dan kendaraan-kendaraan lainnya tiada henti. Asap hitam, suara bising, klakson terus menghantui mereka, dari mulai bangun tidur di pagi hari sampai pagi berikutnya, dan seterusnya. Seorang teman mengeluh, "Walah Mas, desaku sekarang jadi neraka dunia. Sesak, tidak bisa bernapas. Bising, budeg!"

Warga-warga tepian jalan tol yang malang ini, sudah tidak dapat ganti rugi (karena memang tanah mereka tidak terkena gusur, tapi terletak tepat di sebelah bidang yang kena gusur), malah dapat paru-paru rusak dan kuping budeg, plus otak kemrungsung. 

Jangankan mereka yang mepet jalan tol, kami yang tinggal 500 meteran dari jalan tol, juga merasakan hal yang sama, yaitu otak tidak pernah plong-hening karena setiap saat klakson dan deru mesin dari kendaraan-kendaraan tol sampai ke desa kami.

Seandainya saja pemerintah (dan pengembang jalan tol) berkenan memikirkan dampak buruk jalan tol bagi kesehatan fisik dan mental warga yang tinggal di tepiannya.

Begini pemikiran konkret yang ingin saya sampaikan: pemerintah, dalam membangun jalan tol, seharusnya tidak hanya membeli tanah untuk jalan aspal/beton dan bidang pengapit terbuka di kanan-kirinya, tapi juga membeli tanah di luar (di kanan-kiri) dua bidang itu, yang lebarnya kira-kira dua kali lebar jalan aspal/beton dan bidang pengapit.

Dua bidang di kanan-kiri jalan aspal/beton dan bidang pengapit ini ditanami pohon-pohon besar yang bisa menyerap debu dan asap beracun dari kendaraan jalan tol. Pohon-pohon yang ditanam juga bisa meredam suara bising kendaraan. Kita sebut saja bidang berhutan ini "zona pelindung" karena fungsinya adalah melindungi warga yang tinggal di tepian jalan tol dari polusi asap, debu, dan suara.

Memang pemerintah akan mengeluarkan lebih banyak uang dengan membangun zona pelindung, tapi tidakkah rakyat khususnya warga tepian jalan tol butuh diperhatikan perasaannya, khususnya kesehatan fisik dan ketentraman batinnya? Warga sudah berkorban besar, jadi pemerintah seyogyanya membalas pengorbanan mereka dengan membangun hutan pelindung semacam itu.

Zona pelindung ini, walaupun milik pemerintah, dibuat terbuka untuk masyarakat. Mereka bisa bebas masuk ke dalam zona ini, walau tentu saja dilarang masuk ke bidang pengapit dan jalan aspal/beton, yang berada di seberang pagar tinggi zona pelindung.

Selain berfungsi sebagai pelindung warga dari polusi, hutan di zona pelindung bisa menjadi tempat wisata yang sangat menarik bagi warga desa-desa tepian jalan tol dan sekitarnya.

Seandainya hutan pelindung jalan tol terwujud, Indonesia akan memiliki tambahan paru-paru terpanjang di dunia, yang berdampak positif tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi dunia.

Yang tidak kalah menariknya adalah, di titik-titik singgung antara zona pelindung dan jembatan-jembatan tol (entah jembatan sungai, entah jembatan layang) bisa dikembangkan tempat-tempat wisata berbasis jembatan. Banyak cerita sukses objek wisata berbasis jembatan yang bisa ditiru, contoh pelabuhan Sydney dengan Jembatan Sydney-nya, sungai Palembang dengan Jembatan Ampera-nya, sungai Jambi dengan Jembatan Pedestriannya, dan pesisir Kenjeran dengan Jembatan Suroboyonya.

Apabila wisata berbasis jembatan tol ini terwujud, akan ada ratusan objek wisata baru tercipta. Yang sangat indah!

Singkat kata, pemerintah seharusnya membalas kebaikan dan pengorbanan rakyat tepian jalan tol dengan membangunkan mereka hutan pelindung dan tempat-tempat wisata berbasis jembatan tol. Dengan cara ini, warga tepian tol tetap sehat, tetap tenteram, dan bisa berwisata kelas dunia. Selain itu, ekonomi desa-desa tepian tol menjadi semakin kuat.

(Dalam artikel Kompasiana terkait https://www.kompasiana.com/dwi1501/5c834bf4677ffb2f8f3af492/hutan-wisata-dan-kebun-raya-terpanjang-di-dunia-akan-dimiliki-indonesia, saya tuliskan tentang potensi hutan lindung tol menjadi hutan wisata dan Kebun Raya terpanjang di dunia.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun