Mohon tunggu...
Dwi Elyono
Dwi Elyono Mohon Tunggu... Dosen - Pencari

Penerjemah bhs Inggris bhs Indonesia/bhs Jawa; peneliti independen dlm kajian penerjemahan, kajian Jawa, dan semantik budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revolusi Pendidikan: Hapus Sekolah, Ganti dengan Bimbel

30 Desember 2017   14:52 Diperbarui: 30 Desember 2017   14:55 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Langkah pertama revolusi pendidikan sekolah di Indonesia adalah menghapus sekolah-sekolah dan menggantikannya dengan bimbel atau lembaga-lembaga bimbingan belajar. Mengapa? Karena kegiatan belajar mengajar di sekolah selama ini seolah-olah hanya untuk memenuhi formalitas dan mengejar nilai minimal tertentu. Dan karena seolah-olah kegiatan belajar mengajar sesungguhnya ada di bimbel. Di bimbel, murid belajar dan diajar secara intens dan sistematis untuk membantu mereka mencapai nilai minimal tertentu, sementara kebiatan belajar di sekolah semacam stempel saja.

Mempertimbangkan tujuan utama sekolah, yaitu pencapaian nilai minimal tertentu, sah-sah saja jika sekolah-sekolah ditutup dan tanggung-jawab pendidikan diserahkan sepenuhnya ke bimbel-bimbel yang bisa jauh lebih intens dan sistematis dalam membantu murid mencapai nilai sekian dan sekian. 

Tapi, apakah tepat jika tujuan utama pendidikan di sekolah adalah membantu murid menjadi lulusan yang seragam kemampuannya, yang secara seragam mencapai rentang nilai tertentu dengan batas minimal tertentu? Jawabannya jelas tidak. Maka, sekolah-sekolah jangan ditutup, tapi revolusi mereka dengan sembilan cara berikut:

1. Hapus sertifikasi karena administrasi/birokrasi sertifikasi ternyata justru menghambat guru dalam berkarya. Waktu mereka habis untuk mengurus persyaratan-persyaratan sertifikasi baik sebelum atau setelah sertifikasi diperoleh. Belum lagi persyaratan beban mengajar minimal yang menyebabkan guru-guru kejar tayang demi tetap dikeluarkannya tunjangan sertifikasi mereka secara ajeg jumlah dan ajeg waktu. Gara-gara kejar tayang ini, guru dan murid sama-sama menjadi korban.

2. Gaji guru dengan sangat pantas, minimal selevel gaji pokok plus tunjangan sertifikasi. Pekerjaan mengajar adalah pekerjaan yang berat dan mulia, dan membutuhkan pengetahuan dan skill yang tinggi. Mereka harus digaji tinggi.

3. Kurangi beban mengajar guru sampai titik yang proporsional. Kalau beban mengajar tidak masuk akal, bagaimana guru bisa mempersiapkan pengajaran dengan baik, bagaimana guru bisa merefleksi pengajaran dan mengevaluasi pekerjaan murid dengan mendalam? Bagaimana guru bisa meningkatkan kemampuan profesionalnya? Bagaimana guru bisa berinteraksi dengan keluarganya?

4. Kurangi jumlah mata pelajaran. Tawarkan mata pelajaran yang relevan-relevan saja. Sekarang jumlah mata pelajaran per semester untuk SMA dan SMK terlalu banyak, sekitar sepuluh, bahkan ada yang mencapai dua belas. Dengan mata pelajaran terlalu banyak, murid akan tahu banyak hal, tapi cenderung bungkusnya saja, jauh dari isi.

5. Fokuskan pada sistem pembelajaran yang menghargai keberagaman potensi, bakat, dan minat murid. Sistem pembelajaran sekarang ini di sebagian besar sekolah sebenarnya sudah mengarah ke sistem yang menghargai proses, ke sistem yang menghargai keberagaman minat dan bakat murid, ke sistem yang menyadari bahwa murid perlu dibantu untuk mengoptimalkan potensi masing-masing mereka yang unik dan kaya, bukannya memaksa mereka untuk mencapai arah dan target yang seragam, misalnya target semua harus kuat dalam bidang sain atau bidang akademik lainnya dengan nilai minimal sekian dan sekian. 

Namun sistem yang kondusif di atas, yang menghargai keragaman potensi, minat, dan bakat murid, celakanya, secara paradoks, masih dibarengi dengan sistem lainnya, sistem yang memaksa murid mencapai prestasi seragam dalam bidang yang seragam pula. Dengan kata lain, sistem berbasis keberagaman potensi murid digabungkan dengan sistem pencetak lulusan mie instan. Dan sistem mie instan ini didukung dan selaras dengan sistem UN, sistem penerimaan mahasiswa perguruan tinggi, dan sistem bimbel. Jadi, kalau boleh ngomong ngawur-ngawur, ganti saja sekolah-sekolah, ganti dengan bimbel-bimbel super mahal yang bertebaran bagai bintang di seluruh nusantara itu.

6. Rancang dan terapkan sistem belajar mengajar sedemikian rupa sehingga murid dengan belajar di sekolah langsung bisa menguasai ilmu dan keterampilan yang diajarkan, tanpa harus mengikuti lagi bimbingan belajar, yang menghamburkan terlalu banyak uang, waktu, dan tenaga. Dengan cara ini, murid mempunyai waktu memadai untuk berinteraksi dengan keluarga dan teman di kampungnya, untuk bermain, untuk berolahraga maupun berkesenian, dan untuk berkeagamaan.

7. Hapus program Pendidikan Profesi Guru (PPG). PPG adalah salah satu pemborosan terbesar di negeri ini.

8. Terkait dengan poin 7 di atas, kuatkan sistem pembelajaran dan pengajaran di program S1 pendidikan dan pengajaran. Kurangi mata kuliah per semester sampai kira-kira separohnya. Masukkan mata kuliah yang relevan-relevan saja. Dengan fokus pada mata kuliah-mata kuliah relevan, calon guru akan bisa mendalami suatu ilmu dengan mendalam dan komprehensif, tidak hanya kulitnya. Lulusan sarjana pendidikan yang dihasilkan dari program S1 yang ditingkatkan kualitasnya dan yang terfokus semacam ini bisa langsung menjadi guru profesional tanpa harus terlebih dahulu menjalani PPG yang, sekali lagi, menghambur-hamburkan waktu, tenaga, pikiran, dan uang.

9. Hapuskan SPP dan biaya-biaya sekolah lainnya. Pendidikan adalah hak mendasar setiap warga negara. Oleh karena itu, gratiskan SPP dan biaya-biaya lainnya untuk sebagian besar sekolah negeri. Tahun-tahun belakangan ini kementerian pendidikan dan kebudayaan menghidupkan kembali SPP dan biaya-biaya sekolah lainnya, padahal anggaran untuk pendidikan adalah salah satu yang terbesar di negara ini. Pendidikan sekolah seyogyanya tidak membebani keluarga murid secara finansial. Apabila pihak swasta atau pemerintah ingin membangun sekolah khusus yang membutuhkan biaya besar yang hanya bisa diperoleh dari sumbangan orang tua murid, monggo saja. Bisa saja dibangun beberapa sekolah penarik dana dari orang tua murid semacam itu, tapi secara default, sebagian besar sekolah perlu digratiskan untuk sebagian besar warga Indonesia.

Guru dan murid sudah terlalu lama menjadi korban karena deretan kebijakan pendidikan yang salah sistem dan premis. Perlu adanya revolusi untuk mengubah keadaan ini. Sembilan langkah di atas bisa menjadi alternatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun