Bagaimana rasanya pulang ke kampung halaman setelah 11 tahun berselang? Mungkin tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Antara bahagia, haru dan deg-degan tak karuan. Begitulah yang saya rasakan ketika kami berempat mudik ke kampung halaman suami di Bali.
Baliiii....I'm coming. Menyebut nama Pulau Dewata membuat orang terhipnotis, terbayang tempat-tempat wisatanya. Padahal tujuan utama kami ke Bali bukan untuk berwisata melainkan bertemu sanak saudara. Ya gimana, terakhir ke Bali waktu ibu mertua meninggal 11 tahun lalu. Semenjak itu interaksi dengan saudara hanya melalui whats app, telepon atau media sosial. Maklum, rasanya jika orang tua telah tiada, mudik rasanya beda. Apalagi butuh biaya yang tak main-main besarnya.
Menjelang Ramadan suamiku berujar, ingin ziarah ke makam ayah di Tabanan dan Ibu di Denpasar. "Berdoa aja ada rezeki untuk bisa mudik tahun ini," kataku. Alhamdulillah, tiba-tiba diberikan kesempatan memperoleh mobil pinjaman, rezeki untuk bekal mudik juga beruntun datang dari segala pintu. MasyaAllah. Nggak kebayang jika harus mudik ke Bali pakai pesawat, entah berapa juta yang harus dikeluarkan untuk berempat. Belum lagi sewa kendaraan selama di Bali untuk berkunjung ke rumah saudara yang berpencar di Denpasar, Tabanan dan Nusa Dua.
Mobil pinjaman diperoleh di H-2 sore, berkemas pun dadakan. H-1 jam 06.30 WIB barulah memulai perjalanan. Sempat balik rumah setelah jalan 3 kilometer karena ada barang yang ketinggalan.
Melakukan perjalanan jauh tapi tetap berpuasa, modal tekad besar. Saya sudah berpesan pada suami agar nggak memaksakan diri berpuasa selama jadi musafir. Tapi katanya sayang kalau puasa bolong sehari hanya karena mengemudi jarak jauh. Sepanjang perjalanan nyaris tak berhenti kecuali isi bahan bakar di SPBU dan test antigen sebagai persyaratan menyeberang. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 5 jam, sekitar jam 11.55 WIB kami tiba di area pelabuhan. Seorang petugas menyapa ramah sebelum antrian pintu masuk pemeriksaan tiket "Siang Pak, apakah sudah menyiapkan tiket online?" Suami kaget dong, "Loh, tiket penyeberangan maksudnya Pak? Biasanya kan beli di loket langsung"Â Bapak petugas tersenyum "Maaf Pak, sesuai peraturan sejak April 2020 penjualan tiket penyeberangan hanya bisa dilakukan secara online, bisa melalui website resmi atau mitra yang bekerja sama dengan ASDP Indonesia Fery. Si Bapak kemudian mengarahkan kami untuk memutar balik kendaraan menuju pintu keluar dan menunjukkan loket agen BRILink yang berada tepat di seberang jalan.
Wah, 11 tahun tidak menginjak dermaga, banyak sekali perubahan yang terjadi. Tidak hanya bangunan fisik, namun yang paling penting dan genting adalah transaksi pembelian tiket penyeberangan yang tak lagi dilayani on the spot. Bayangkan jika terjadi antrian panjang karena kebingungan mengupayakan tiket secara online. Beruntung kami datang saat penyeberangan tidak terlalu ramai, meski sudah tampak antrian kendaraan dalam beberapa lajur. Lebih beruntung lagi agen BRILink sebagai mitra resmi penjualan tiket penyeberangan berada tak jauh dari lokasi pelabuhan.
Di loket BRILink terlihat beberapa orang sedang mengantri membeli tiket. Sementara aroma masakan padang di sebelah loket cukup menggugah selera, hahaha sabaar puasa sudah jalan setengah hari, sayang kalau harus batal. Beruntung antrian di loket BRILink tidak memakan waktu lama. Sekitar 15 menit tiket penyeberangan sudah di tangan. Alhamdulillah di saat genting, solusi telah disiapkan Allah melalui agen BRILink. Transaksi digital, mudah, aman, cepat dengan cara begini sangat membantu perjalanan ke kampung halaman.
Usai berburu tiket, selanjutnya berburu mushola karena adzan dhuhur sudah berkumandang. Celingak celinguk, malah bingung mencari mushola dermaga. Suami yakin banget mushola ada di sebelah kanan antrian kendaraan. Tapi nggak ada papan petunjuk. Di seberang dermaga ada masjid, hmm kan nggak mungkin meninggalkan mobil yang sedang dalam antrian menyeberang? Akhirnya kami putuskan sholat di mushola fery saja nantinya. Lega, setelah 1 jam antri akhirnya tiba kendaraan kami memasuki kapal fery. Seruuu kebagian masuk antrian nomor dua, jadi pas berada di depan pintu kapal sisi bongkaran.
Turun dari mobil di atas kapal, kami bergegas mencari mushola. Pengalaman berkesan ketika harus menjaga keseimbangan saat kapal berlayar ketika mendirikan sholat. Sebentar miring ke kanan, lalu miring ke kiri. Diayun-ayun oleh gelombang, untung nggak sampai nyusruk di mushola kapal yang mungil.
Penyeberangan memakan waktu sekitar satu jam. Bosan dong kalau di dalam mobil doang. Usai sholat, kami mencari tempat duduk yang nyaman di dek kapal menikmati pemandangan Selat Bali begitu mempesona, menyaksikan pulau Bali dari kejauhan dan kapal-kapal fery lain yang hilir mudik berlayar.
Takjub menyaksikan perubahan di Pulau Dewata setelah 11 tahun berlalu. Di dekat area pelabuhan Gilimanuk telah berdiri sebuah masjid yang cukup besar. Pasti sangat membantu para pendatang dan pelancong muslim yang butuh rehat dan sholat.
Perjalanan kami menuju penginapan di Sunset Road Legian cukup lancar, hanya ada beberapa titik macet karena keramaian. Beberapa kali bertemu warga muslim yang sedang mempersiapkan takbiran malam hari raya. Sempat mampir kakak di Tabanan sebelum melepas penat di Legian.
Hari berganti, anak-anak bertanya mau sholat Ied dimana? Wajar, tidak seperti di Jawa yang mudah sekali menemukan tempat sholat Ied, baik lapangan maupun masjid, di wilayah perkotaan di Bali terutama di dekat tempat kami menginap tidak tampak kesibukan menyambut Idulfitri. Beruntung akhirnya suami punya ide meluncur ke lapangan Korem 163 Wirasatya, yang biasa menyelenggarakan sholat Idulfitri.
Usai sholat dan sarapan bubur ayam pinggir jalan kami ziarah ke makam ibu mertua, kemudian lanjut ke TMP tempat ayah mertua dimakamkan. Di TMP sempat bertemu keponakan dan kakak yang tinggal di Nusa Dua.
Ziarah ke makam selesai, kami berunding hendak kemana melanjutkan perjalanan "Kita kemana nih Pa, jadi ke Pandawa?" tanya si bungsu. Dan terkabullah keinginannya menikmati birunya laut Pantai Pandawa.
Puas bermain di pantai kami berkunjung ke rumah kakak di Nusa Dua, janjian esok hari rekreasi tipis-tipis ke Kebun Raya Bedugul. Dari Nusa Dua istirahat sebentar di penginapan, sebab ba'da Isya' kami berkunjung ke rumah warisan mertua dan rumah kakak di Padang Sambian Denpasar. Sampai penginapan jam 22.00 WITA tapi rasanya udah malam banget, capek hingga tidur pun pulas sampai menjelang subuh.
"Ayo buruan mandi, kalau kesiangan ntar terjebak macet di perjalanan," seru suami kepada anak-anak yang masih santai gegoleran. Â Menuju Bedugul, putar sebentarlah ke arah Pantai Kuta untuk mengabadikan laut pagi.
Sampai di Bedugul masih jam 8 WITA. Karena rombongan Nusa Dua masih dalam perjalanan, kami pun mampir di obyek wisata Danau Beratan. "Mau lihat Pura yang ada di bagian belakang uang 50 ribuan" kata si bungsu. Padahal uangnya mungkin sudah tidak beredar lagi setelah diganti uang seri baru.Â
Sepanjang perjalanan baik saat ke Pantai Pandawa maupun ke Nusa Dua dan Bedugul saya melihat banyak sekali kios-kios agen BRILink, jadi teringat beli tiket fery sebab tanggal 4 Mei kami sudah harus kembali. Tapi kata suami belinya sekalian perjalanan pulang saja, sebab pasti banyak agen BRILink di area pelabuhan. Sebelum balik penginapan, kami menepati janji kumpul-kumpul di Kebun Raya Bedugul. Duh antrian panjang, kebun raya sangat ramai karena liburan hari raya.
Tak terasa tibalah malam terakhir di penginapan, saatnya belanja oleh-oleh. Beruntung pusat oleh-oleh bisa ditempuh dengan jalan kaki saja, sekalian menikmati suasana malam di Legian. Sepanjang sisi jalan utama berdiri kafe-kafe, juga tempat makan lesehan. Keren, meski lesehan ternyata tak kalah dengan kafe dalam menyajikan live music.
Di sentra penjualan oleh-oleh saya dibuat takjub dengan keseriusan pelaku usaha dalam melayani pelanggan dan mematuhi peraturan pemerintah. Di dinding belakang kasir tertera bahwa toko tidak menyediakan kantong plastik.Â
Sehari sebelumnya saat kami membeli air mineral di sebuah minimarket juga harus menenteng belanjaan sebab pembeli tidak mendapat kantong plastik. Oh ya, di zaman digital seperti sekarang, transaksi bisa dilakukan dengan mudah, aman, cepat dengan bantuan QRIS. Yang punya BRImo tak perlu bawa uang cash terlalu banyak saat belanja, di Bali banyak ditemui merchant yang memasang logo QRIS. Seperti saat kami makan siang di resto fast food, cukup scan QRIS di meja kasir, biarpun isi dompet menipis yang penting isi rekening masih cukup manis.
3 malam di Bali dan hanya mampir sebentar di empat obyek wisata bagi orang lain mungkin kurang memuaskan, namun bagi kami adalah sebuah keajaiban. Mengingat prosesnya yang dadakan. Tanggal 4 Mei 2022 jam 7 WITA kami meninggalkan penginapan menuju pelabuhan Gilimanuk untuk kembali ke Jawa.Â
Benar kata suami, tiket penyeberangan bisa dibeli dengan mudah di agen BRILink yang berjajar sepanjang jalan menuju dermaga. Kami memilih salah satu agen yang menyediakan lahan parkir cukup luas. Tiba di pelabuhan Gilimanuk tak tampak antrian panjang, suasana lengang. Kami bisa langsung menuju kapal fery yang bersandar menunggu penumpang. Kenangan serunya berjumpa keluarga setelah 11 tahun tak bersua, indah panorama Pulau Dewata akan terkenang sepanjang masa.
Satu lagi momen istimewa lebaran kali ini, saya berkesempatan menjadi kontributor/narasumber Live Streaming Kompas TV untuk liputan arus balik lebaran 4 Mei 2022. Senang bisa berbagi informasi penting kepada masyarakat, salah satunya adalah pentingnya menyiapkan tiket penyeberangan yang hanya bisa dibeli secara online. Beruntung agen BRILink selalu dekat, sehingga tiket penyeberangan bisa diperoleh melalui transaksi digital yang mudah, aman dan cepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H