Ramadan 1442 Hijriah telah menjadi kenangan. Zakat fitrah insyaAllah habis dibagikan kepada yang berhak menerima bantuan. Sholat Idulfitri telah usai didirikan. Â Toples kue lebaran tak lagi dibalut selotip yang untuk menemukan ujungnya membuat orang kebingungan. Iklan-iklan televisi yang berbunyi "selamat meraih kemenangan" tak lagi diperdengarkan.
Saya sempat mencibir iklan lebaran berjargon demikian. Mencibir diri saya sendiri juga saat lebaran. Kemenangan apa yang sebenarnya telah kita raih? Kata kemenangan bermakna hasil akhir dari sebuah perjuangan, atau hasil usai berkompetisi dan melakukan perlawanan. Pasukan kita menang melawan penjajah Belanda. Tim sepakbola Garuda menang melawan tim Jerman. Nah, jika Idulfitri tiba, bisakah disebut sebagai hari kemenangan usai berjuang di bulan Ramadan?Â
Berpuasa di bulan Ramadan adalah jihad, perjuangan melawan ego dan nafsu. Hal-hal yang halal (makan, minum, hubungan suami-istri) menjadi haram di saat berpuasa. Inilah yang disebut sebagai perjuangan. Inilah makna shaum atau menahan. Menahan untuk tidak melakukan pelanggaran ketika dalam kondisi berpuasa, meski tak ada seorangpun melihatnya. Sebab iman dan taqwa membawa kepada keyakinan bahwa Allah Maha Menyaksikan segala yang kita lakukan.
Selama berpuasa pula kita dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang menyebabkan pahala puasa menjadi rusak, hingga berpuasa sekadar gugur kewajiban, tetapi hanya mendapatkann lapar dan dahaga.
"Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rofats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, "Aku sedang puasa, aku sedang puasa" (HR. Ibnu Majah dan Hakim)
Lagwu adalah perkataan sia-sia dan segala ucapan yang tidak berfaedah. Rofats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita biasanya yang menjurus ke hal-hal berbau porno.
Itulah sebabnya, jika sedang berpuasa hendaknya menjaga diri dan lisan agar tidak berkata-kata kotor, marah-marah tak karuan, berbohong dan berdusta, berkata sia-sia dan menggunjing orang lain (ghibah). Dan jika ada yang memprovokasi untuk berbuat hal-hal tersebut, hendaknya katakan pada yang mengajak berbuat maksiat itu : "ku sedang berpuasa" Â
Jika usai Ramadan kita mampu menjaga kualitas diri agar tidak terjebak kemaksiatan, itulah kemenangan. Jika usai Ramadan kita telah menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya bagai kupu-kupu usai melalui fase kepompong itulah kemenangan. Jika amalan-amalan selama Ramadan kita lakukan secara istiqomah usai Ramadan tahun ini hingga Ramadan tahun depan itulah yang disebut kemenangan.
Namun jika usai Ramadan kita masih mudah naik darah, tanpa beban berghibah dan memfitnah, tetapi untuk bertilawah,bersedekah, sholat sunnah tiba-tiba ogah apakah masih bisa disebut sebagai "kita telah meraih kemenangan?"
Sepertinya kita, terutama saya harus lebih menahan diri dengan berkata sambil menepuk dada "kita telah meraih kemenangan"
Sungguh kemenangan sejati seorang mukmin adalah ketika di akhir hidupnya mampu mengucapkan kalimat syahadat, ketika kepergiannya menyebabkan rasa kehilangan yang teramat besar, setiap orang, kerabat, teman, tetangga yang mengenal kita mencucurkan air mata melepas kepergian sebagai pertanda betapa besarnya arti dan kehadiran kita bagi mereka. Menandakan sebuah akhir yang baik, husnul khotimah seperti yang biasa kita pinta dalam setiap doa.
Jadi, Â mari bertanya pada diri sendiri, mumpung masih dalam suasana Idulfitri, masihkah kita berhak berkata telah meraih kemenangan usai Ramadan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H