"Dadi wong ki mbok sing solutip" (jadi orang ini mbok yang bisa menawarkan solusi") kalimat dan meme ini beberapa hari terakhir sedang naik daun di media sosial. Awalnya (setahu saya) Tilik jadi trending topics di twitter. Lalu facebook ramai membahasnya. Lalu instagram Siti Fauziah, pemeran Bu Tejo tiba-tiba followernya bertambah begitu cepatnya.
Tilik, adalah bahasa Jawa yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah menjenguk. Menjenguk orang sakit atau keluarga di lain kota. Di film produksi Rawacana Film tilik digunakan untuk mewakili aktivitas menjenguk orang sakit. Tepatnya menjenguk bu Lurah. Menariknya film pendek dengan durasi sekitar 30 menit ini sangat realistis memotret budaya tilik orang-orang desa. Ibu-ibu sekampung patungan menyewa truck sebagai alat transportasi untuk menjenguk bu lurah yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit di kota. Settingnya bagus, perjalanan yang harus melewati jalan berkelok, sawah-sawah. Dan kebayang satu truk isinya ibu-ibu semua. Gayeng karena pastinya pada ngobrol seru. Dan keseruan obrolan ibu-ibu ini yang menjadi kekuatan film.
Sebenarnya bukan hanya ngobrol biasa tapi "rasan-rasan" hehehe. Adalah tokoh Bu Tejo sebagai biang gosip yang tiada henti membicarakan Dian, sosok wanita muda di desa mereka. Lalu Yu Ning mengcounter kelakukan Bu Tejo yang dianggapnya sebagai fitnah karena tidak ada bukti nyata dalam menuduh Dian sebagai "bukan wanita baik-baik"
Dan tema film Tilik ini berhasil menyuguhkan tema baru untuk perdebatan di media sosial, terutama di kalangan wanita. Hahaha asik ya kini gak hanya debat masalah ASI Vs Sufor, Melahirkan Normal Vs SC, Ibu Rumah Tangga Biasa Vs Wanita Karir. Bahkan film pendek pun jadi bahan debat.
Yang kontra, rata-rata memiliki pendapat:
"Tilik ini ndak mendidik ...ngajarin orang ghibah, tidak ada pesan moral yang dibawanya"
"Gawat, ini masalah muslimah berjilbab dan tidak berjilbab, tapi kok ya bu Tejo itu nggak punya akhlak padahal berjilbab" (Kebetulan ibu-ibu satu truk ini pada pakai jilbab semua dan Dian digambarkan sebagai sosok tidak berjilbab"
"Dian nggak salah kok, dia bukan pelakor ..toh kan mereka sudah pisah"
"Kok ada adegan melawan hukum..nggak punya aturan"
Dan versi seberangnya kira-kira berkomentar
"Justru Tilik ini menggali kearifan lokal. Padat muatan moral. Zaman sekarang orang lebih mementingkan diri sendiri. Jarang yang mau susah-susah menjenguk tetangganya yang sakit. Apalagi harus menempuh perjalanan jauh"
Dan menarik ketika salah satu seleb facebook (tapi beliau pria)Â yang kebetulan asli Bantul, Yogyakarta (setting asal ibu-ibu yang tilik ini) sampai membuat status khusus yang kira-kira intinya: Di Bantul, jilbab digunakan sebagai bagian dari busana kepantasan. Meski mungkin wanita yang mengenakan tidak menunaikan syariat Islam dengan baik (tidak sholat) jika ia ikut pengajian, ke kondangan atau tilik orang sakit mereka biasa mengenakan jilbab untuk alasan "biar pantas"
Bahkan tokoh Dian juga layak diperdebatkan. Apakah Dian memang "bukan wanita baik-baik", suka oom-oom atau kebetulan saja dia menjalin hubungan dengan pria berumur, pria yang juga diperdebatkan statusnya apakah duda atau meninggalkan keluarganya begitu saja. Eeeh jadi spoiler bagi yang belum nonton.
Oh ya..ada satu lagi. Saya juga menemukan pihak yang keberatan tentang pemilihan kata/adegan "tidak bisa at-tahiyyat" Jika dinalar keberatan ini juga masuk akal, sebab masuk ke ranah syariat. Tetapi saya rasa film ini juga memotret realitas. Betapa sering tanpa disadari kita sering "melecehkan syariat" dengan menggunakan kata yang kurang tepat, seperti "korupsi berjamaah" padahal jamaah biasanya digunakan untuk sholat atau pengajian.
Bagi saya pribadi Tilik adalah pembahasan yang menarik. Hiburan yang punya pesan moral. Mengingatkan apakah kita masih memiliki kepedulian terhadap tetangga. Apakah kita sudah mampu menahan lisan agar tidak mudah menebar fitnah dan ghibah. Apakah kita bahkan seperti Yu Ning yang membela sosok seperti Dian dengan mati-matian padahal kita juga tidak tahu kenyataan sesungguhnya bagaimana. Hingga ketika salah seorang teman facebook saya menulis status:Â
"Kadang kala, orang seperti Bu Tejo ini bisa menjadi kontrol sosial masyarakat.
Orang-orang nyinyir dihadirkan dalam hidup kita agar kita berhati-hati dalam berbuat"
Dalam kehidupan bernegara?"
Saya titip komen menjawab statusnya: "Dalam kehidupan bernegara: jangan mendukung seorang politisi sepenuh hati..bisa jadi ia akan mengecewakan rakyat nanti wkkwk kaborr"
Jangan tanya, politisi yang mana....nanti jadi panjang cerita dan bisa-bisa saya menggantikan Bu Tejo jika dianggap menuduh tanpa fakta.
Mari menikmati Tilik sebagai hiburan yang sarat sindiran. Sekaligus juga menyelami pesan yang ingin disampaikan.
Bagaimanapun karya sineas muda ini patut diapresiasi, saya baru tahu begitu rumitnya membuat sebuah film meski pendek durasinya. Kebetulan ada rekaman behind the scene yang juga diupload di youtube. Dan karena tilik beberapa film pendek lainnya juga menjadi pusat perhatian. KTP, Lemantun, Anak Lanang bahkan yang berbau horor seperti Singsot dan Sandekala juga mulai diperbincangkan.
Yang penasaran bisa meluncur ke youtube dan mencari film-film pendek tersebut untuk hiburan akhir pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H