Mohon tunggu...
Dwi Aprilytanti Handayani
Dwi Aprilytanti Handayani Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Jawa Timur

Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Tilik", Bahan Perdebatan Baru yang Tak Habis Diulik

21 Agustus 2020   17:13 Diperbarui: 21 Agustus 2020   17:07 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Justru Tilik ini menggali kearifan lokal. Padat muatan moral. Zaman sekarang orang lebih mementingkan diri sendiri. Jarang yang mau susah-susah menjenguk tetangganya yang sakit. Apalagi harus menempuh perjalanan jauh"

Dan menarik ketika salah satu seleb facebook (tapi beliau pria) yang kebetulan asli Bantul, Yogyakarta (setting asal ibu-ibu yang tilik ini) sampai membuat status khusus yang kira-kira intinya: Di Bantul, jilbab digunakan sebagai bagian dari busana kepantasan. Meski mungkin wanita yang mengenakan tidak menunaikan syariat Islam dengan baik (tidak sholat) jika ia ikut pengajian, ke kondangan atau tilik orang sakit mereka biasa mengenakan jilbab untuk alasan "biar pantas"

Bahkan tokoh Dian juga layak diperdebatkan. Apakah Dian memang "bukan wanita baik-baik", suka oom-oom atau kebetulan saja dia menjalin hubungan dengan pria berumur, pria yang juga diperdebatkan statusnya apakah duda atau meninggalkan keluarganya begitu saja. Eeeh jadi spoiler bagi yang belum nonton.

Oh ya..ada satu lagi. Saya juga menemukan pihak yang keberatan tentang pemilihan kata/adegan "tidak bisa at-tahiyyat" Jika dinalar keberatan ini juga masuk akal, sebab masuk ke ranah syariat. Tetapi saya rasa film ini juga memotret realitas. Betapa sering tanpa disadari kita sering "melecehkan syariat" dengan menggunakan kata yang kurang tepat, seperti "korupsi berjamaah" padahal jamaah biasanya digunakan untuk sholat atau pengajian.

Bagi saya pribadi Tilik adalah pembahasan yang menarik. Hiburan yang punya pesan moral. Mengingatkan apakah kita masih memiliki kepedulian terhadap tetangga. Apakah kita sudah mampu menahan lisan agar tidak mudah menebar fitnah dan ghibah. Apakah kita bahkan seperti Yu Ning yang membela sosok seperti Dian dengan mati-matian padahal kita juga tidak tahu kenyataan sesungguhnya bagaimana. Hingga ketika salah seorang teman facebook saya menulis status: 

"Kadang kala, orang seperti Bu Tejo ini bisa menjadi kontrol sosial masyarakat.
Orang-orang nyinyir dihadirkan dalam hidup kita agar kita berhati-hati dalam berbuat"

Dalam kehidupan bernegara?"

Saya titip komen menjawab statusnya: "Dalam kehidupan bernegara: jangan mendukung seorang politisi sepenuh hati..bisa jadi ia akan mengecewakan rakyat nanti wkkwk kaborr"

Jangan tanya, politisi yang mana....nanti jadi panjang cerita dan bisa-bisa saya menggantikan Bu Tejo jika dianggap menuduh tanpa fakta.

Mari menikmati Tilik sebagai hiburan yang sarat sindiran. Sekaligus juga menyelami pesan yang ingin disampaikan.

Bagaimanapun karya sineas muda ini patut diapresiasi, saya baru tahu begitu rumitnya membuat sebuah film meski pendek durasinya. Kebetulan ada rekaman behind the scene yang juga diupload di youtube. Dan karena tilik beberapa film pendek lainnya juga menjadi pusat perhatian. KTP, Lemantun, Anak Lanang bahkan yang berbau horor seperti Singsot dan Sandekala juga mulai diperbincangkan.

Yang penasaran bisa meluncur ke youtube dan mencari film-film pendek tersebut untuk hiburan akhir pekan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun