Menjelang sepuluh hari setelah meninggalnya Ashraf Sinclair saya mulai bisa menarik nafas lega. Berita atau lebih tepatnya eksploitasi mengenai kehidupan Ashraf dan keluarga sudah mulai mereda. Bisa dibayangkan setiap kali membuka portal berita yang muncul adalah artikel tentang spekulasi, opini, dugaan penyebab kematiannya yang mendadak. Tak ketinggalan wajah-wajah penuh duka dari BCL, Noah, ayah, ibu, adik mendiang.
Beberapa hari usai kepergiannya, televisi swasta berlomba menayangkan film yang pernah dibintangi beliau bahkan rekaman, dokumentasi wawancara dengan Ashraf, bahkan rekaman bertahun-tahun lalu tentang tanggapannya mengenai video "mirip BCL Vs Ariel" Yang terakhir ini, terus terang saya mernghela nafas panjang.Â
Ditambah dengan ketika tak sengaja membaca komen-komen netizen mengenai kehidupan mereka. "Nggak mungkin Ashraf masuk surga, kan BCL suka berpakaian terbuka" , "Jadi Noah ini anak siapa, kok ada grup band bernama Noah juga?", "Wah Ariel beneran bisa ngomong kutunggu jandamu" Bahkan ada yang menghitung masa iddah BCL sebagai janda mati. Astaghfirullah...apakah ketika selebriti menghadap Illahi nurani kita, empati dan simpati ikut mati? Apakah seluruh masa lalu sosok yang meninggal dunia, dan juga kehidupan keluarga, wajah-wajah duka yang ditinggalkan harus dieksploitasi sedemikian rupa?
Hal seperti ini bukan yang pertama. Masih kuat dalam ingatan saya ketika para fans mendiang Olga Syahputra berebut merekam wajah jenazah ketika kain kafan dibuka untuk dikumandangkan adzan. Bahkan ada yang nekad berselfie ria dengan latar belakang nisan Olga. Kabar-kabar mengenai perhitungan warisan, biaya pengobatan turut menjadi santapan pewarta hingga berhari-hari lamanya.
Mendiang Julia Perez juga mengalami hal serupa. Headline "Airmata Julia mengalir ketika hendak dimakamkan" pasti menarik perhatian untuk dibuka peselancar dunia maya. Hubungannya dengan mantan suami yang pemain bola turut menjadi kabar penuh warna.
Belum lagi kepergian Yana Zein yang tragis karena terjadi kericuhan mengenai "tata cara agama apa yang dipilih untuk pemakamannya" Segala tema mengenai kehidupannya, masa lalu, penyakitnya menjadi konsumsi masyarakat nyaris tanpa sekat.
Entah siapa lagi selebriti yang menjadi "korban" klik dan view pemberitaan. Ketika meninggal dunia, seolah mereka harus tetap rela menjadi sumber berita, santapan warta yang tiada habisnya. Padahal sejatinya, ketika jiwa telah berpisah dari raga, maka terlepaslah urusan anak Adam dengan dunia. Dalam agama Islam yang saya yakini, kematian adalah saat terputusnya amalan kecuali hanya tiga perkara yang tetap terkait dan menjadi penolong di alam berikutnya, yaitu: ilmu yang bermanfaat, amal jariyah dan doa anak-anak shalih.
Dalam budaya dan filsafat Jawa, kematian diyakini sebagai awal dari kehidupan berikutnya. Mereka yang mati diyakini bisa saja masih hidup di dunia yang berbeda. Maka diadakan upacara selamatan tiga, tujuh, empat puluh hari dan seratus serta seribu hari. Menurut kepercayaan orang Jawa hingga hari keempat puluh arwah orang yang meninggal dunia masih berada di dalam rumah, menemani keluarganya.Â
Maka setiap acara "kirim doa" sebagian masyarakat Jawa masih menyediakan "sandingan" berupa makanan dan minuman kesukaannya. Empati dan simpati mengalir tiada henti untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan.
Dalam Islam, kematian adalah kehidupan berikutnya yaitu di alam kubur hingga menunggu saat dibangkitkan di hari kiamat dan menanti hasil perhitungan amal ibadah di akhirat. Mereka yang telah menjadi jenazah akan menikmati nikmat atau azab kubur sesuai amal perbuatan di dunia.
Rasulullah mengingatkan dalam sebuah hadits:
Dari Ibnu Umar radhiallohu 'anhuma beliau berkata: Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, "Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir." Ibnu Umar berkata: "Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati." (HR. Bukhori)
Hadits ini sangat dalam maknanya. Jika menganalogikan dunia sebagai tempat singgah sementara, maka yang hidup hanyalah numpang lewat belaka. Bagai seorang asing, pengembara yang akan menyusuri perjalanan berikutnya. Maka hendaknya sebagai pengembara selalu waspada, menghitung perbekalan agar selamat sampai di tujuan.
Maka, ketika kematian menjemput seseorang, alih-alih mengusik masa lalu dan ketenangan keluarganya yang masih diselimuti duka, tidakkah kita cukup mengambil pelajaran?
Janganlah karena sosok selebriti menghadap Illahi, maka kita merasa wajib mengeksploitasi mendiang dari segala segi, hingga tanpa disadari kita seolah telah kehilangan nurani, empati dan simpati pun turut mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H