Labbaik Allahumma labbaik.... labbaika laa syarika laka labbaik..
Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu.
Jika musim haji tiba, stasiun televisi berlomba menayangkan kondisi terkini para jamaah haji. Lantunan kalimat talbiyah yang mengiringi tayangan televisi itu seringkali menjadi penyebab air mata saya luruh satu persatu. Saya tak bisa mengucapkan "saya rindu menjadi tamuMu ya Allah, mohon panggil saya sekali lagi," sebab saya belum pernah umroh atau berhaji.
Dahulu, saya pikir berhaji itu untuk orang kaya. "Berhaji jika mampu" dalam pemikiran saya, mampu adalah sebutan bagi adalah orang yang sudah bergelimang harta, tidak bingung memikirkan esok mau makan apa, atau anak sekolah di mana. Ingin liburan bisa kapan saja karena uangnya luber sampai tumpah-tumpah. Pikir saya, muslim yang penghasilannya pas-pasan meski tidak kekurangan tidak ada kewajiban untuk beribadah haji ke tanah suci, tetapi syahadat, sholat, puasa ramadhan dan zakat wajib didirikan sebagai bentuk ketaatan.
Maka, saya yang baru bisa punya rumah dengan cara KPR dan berhemat sedemikian rupa tak pernah punya pikiran menyiapkan dana haji. Kendaraan di rumah pun hanya sepeda motor yang sudah sering rewel dan satu sepeda angin. Dana pendidikan khusus untuk anak-anak terus terang tidak ada, yang penting setiap bulan ada uang untuk bayar SPP atau keperluan sekolah lainnya, bukan karena tidak mau menyiapkan. Tetapi kebingungan bagaimana cara menyisihkan pendapatan. Meskipun demikian, Alhamdulillah untuk keperluan sekolah selalu dicukupkan Allah tanpa perlu berhutang.
Dahulu, selama saya masih bekerja kantoran dan mendapatkan gaji bulanan, dalam pemikiran saya paling utama adalah mempunyai rumah pribadi. Sebagai tempat bernaung keluarga, agar tak perlu pindah-pindah kontrakan lagi. Maka, gaji saya dialokasikan untuk membayar cicilan KPR dan selang beberapa tahun kemudian kami menutup sisa kreditnya dengan menjual motor sebelum waktu kredit berakhir. Sementara gaji suami cukup untuk makan sehari-hari dan membeli keperluan sekolah untuk anak-anak. Begitu pula yang berlangsung hingga saat ini. Tak pernah terpikir sedikitpun untuk menyiapkan tabungan haji.
Setelah usia saya sekarang menginjak empat puluh tahunan, dan kami sedikit demi sedikit mendapatkan pencerahan, baru saya paham bahwa naik haji itu kewajiban. Tanpa memandang kaya atau miskin, niat berhaji dan ikhtiar mengupayakan berhaji itu dinilai Allah sebagai kesungguhan hati. Saya menyesal tak menyiapkan dana haji di kurun waktu yang telah lalu.
"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh"
(Al Quran surat Al Hajj: ayat 22)
Jika direnungkan kembali, sudah sepatutnya menyiapkan dana haji sejak dini. Poin-poin berikut ini adalah alasan kuat mengapa dana haji sebaiknya disiapkan sedini mungkin: