Mohon tunggu...
Dwi Aprilytanti Handayani
Dwi Aprilytanti Handayani Mohon Tunggu... Administrasi - Kompasianer Jawa Timur

Alumni Danone Digital Academy 2021. Ibu rumah tangga anak 2, penulis konten freelance, blogger, merintis usaha kecil-kecilan, hobi menulis dan membaca Bisa dihubungi untuk kerjasama di bidang kepenulisan di dwi.aprily@yahoo.co.id atau dwi.aprily@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Semesta Mendidik Anak-anak Kita

25 Mei 2016   13:20 Diperbarui: 28 Mei 2016   12:39 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Blog Competition] Konsep Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengatakan bahwa peringatan Pendidikan Nasional tahun 2016 berpusat pada “Konsep Pendidikan sebagai Gerakan Semesta” Konsep ini terasa merdu di telinga dan menggelorakan semangat untuk mempersiapkan generasi terbaik bangsa. Konsep pendidikan sebagai gerakan semesta artinya memandang proses pendidikan sebagai upaya kolektif segenap instrumen bangsa, tidak hanya berfungsi layaknya program pemerintah namun semua elemen masyarakat turut terlibat aktif di dalamnya.

[Blog Competition] Konsep Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta
[Blog Competition] Konsep Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta

Mendidik secara umum dapat diartikan sebagai mengarahkan menjadi lebih baik. Mendidik tidak sekedar mengajarkan membaca, berhitung, menganalisa atau mengambil keputusan. Mendidik merupakan konsep menyeluruh yang mencakup pembentukan karakter, kemajuan intelegensi, kemampuan bersosialisasi serta ketaatan kepada Tuhan. Kewajiban mendidik tidak hanya menjadi tugas guru dan tanggung jawab pemerintah. Masyarakat dan orang tua memegang peran yang tak kalah penting. Orang tua bahkan menjadi role model terdekat dan berpengaruh pada perkembangan karakter anak sebagai generasi muda. Berita-berita kriminal belakangan hati membuat hati saya sebagai ibu dan wanita kian miris dari hari ke hari hingga saya jarang menonton channel berita di televisi. Kabar tentang pemerkosaan, pembunuhan yang dilakukan anak-anak usia sekolah membuat saya bertanya-tanya “akan dibawa kemana generasi muda kita” Apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia pendidikan Indonesia? Mampukah program gerakan semesta membantu mengarahkan dunia pendidikan kita menjadi lebih baik?

Baiklah kita fokus dahulu terhadap arti kata “gerakan semesta” terlebih dahulu. Mendikbud Anies Baswedan menegaskan kembali bahwa sebagai gerakan, maka pendidikan hendaknya melibatkan seluruh elemen dan instrumen bangsa. Masyarakat merasa memiliki, berperan aktif tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab pemerintah sebagai pihak yang berkewajiban memfasilitasi dan memberikan payung hukum melalui regulasi. Sebagai sebuah gerakan diharapkan konsep pendidikan generasi muda Indonesia kembali kepada nilai-nilai Pancasila dan cita-cita mulia Ki Hajar Dewantara tentang dunia pendidikan.

Ketika saya duduk di bangku SD hingga SMP nilai-nilai Pancasila ditanamkan di awal masa masuk sekolah. Siswa baru di SMP dan SMA zaman tahun 1980-an harus siap mengikuti penataran P4, Butir-butir Pancasila hafal di luar kepala. Namun saya sendiri saat itu merasa bosan dengan program doktrinasi yang monoton. Ketika Mendikbud Anies Baswedan mencuatkan konsep “Pendidikan sebagai Gerakan Semesta” saya membayangkan respon positif yang luar biasa dari masyarakat termasuk pebisnis dan LSM dalam mendidik generasi bangsa. Suatu gerakan yang lebih nyata dibandingkan doktrinasi belaka. Namun di sisi lain saya juga mengkhawatirkan proses filtrasi ketika gerakan semesta ini berlangsung. Dalam pemikiran saya sebagai orang awam dan ibu dari dua putra Pendidikan Sebagai Gerakan Semesta saya bayangkan sebagai sebuah gerakan yang jika tidak dikontrol penuh oleh pemerintah maka dapat mengundang bahaya. Kecanggihan teknologi memungkinkan bergulirnya informasi secara cepat di tengah masyarakat. Sebagai contoh setiap orang bebas mengupload tentang apa saja ke dalam channel media sosial. Jika yang diupload adalah konten positif seperti praktek membuat pupuk kompos atau proses membuat biopori sebagai bagian dari pendidikan ilmu pengetahuan alam sekaligus mengajarkan kecintaan kepada lingkungan tentu tidak menimbulkan kekhawatiran. 

Pemblokiran tayangan berkonten negatif  hingga saat ini masih menjadi PR kita. Perlu dipikirkan langkah lebih serius agar kemajuan teknologi memberikan dampak positif bukan membebaskan konten negatif yang merusak generasi muda. Ramainya pembahasan mengenai isi beberapa text book dan soal-soal ujian yang memaparkan hal-hal tidak senonoh tempo hari sempat membuat saya jantungan berhari-hari. Saya khawatir sebagai orang tua semakin kewalahan jika kran kebebasan dari makna “sebuah gerakan” menjadi semacam euforia tanpa kontrol nyata dari pemerintah.

Pendidikan sebagai gerakan semesta yang ideal menurut saya adalah sebuah gerakan yang terpadu, saling mendukung dan berkorelasi antara regulasi pemerintah-kebijakan sekolah-peran orang tua. Sudah saatnya mengaktifkan kembali peran pemerintah sebagai lembaga “sensor” yang bertaji untuk memfilter konten-konten negatif baik dalam tayangan media dan buku-buku pelajaran. Sebuah tugas yang tak mudah jika hanya dibebankan di atas pundak pemerintah. Maka perlu peran sekolah, masyarakat dan orang tua untuk mengawasi anak didik. Kebijakan dilarang membawa handphone di dalam ruang kelas selama program belajar-mengajar berlangsung adalah hal yang perlu mendapat porsi penting. Jika perlu batasi usia anak didik diperbolehkan membawa gadget. Setidaknya jika terpaksa membawa gadget karena alasan penting maka gadget tersebut harus diserahkan kepada pihak sekolah selama jam sekolah dan baru bisa diambil ketika jam sekolah usai. Lagipula bukankah di masa kecil dulu tak menjadi masalah jika kita tidak dapat berkomunikasi dengan orang tua untuk minta segera dijemput jika sekolah pulang lebih awal dari jadwal? Dalam hal ini menjadi tugas sekolah untuk menghubungi orang tua jika terjadi hal-hal di luar rutinitas. Kebijakan larangan membawa gadget di dalam ruang kelas dan sekolah dapat menciptakan pemikiran akan kesamaan derajat tanpa memandang status sosial. Diharapkan nilai-nilai Pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat dapat tergali dalam kehidupan di ruang lingkup sekolah sehari-hari. Sebenarnya saya bukan anti gadget atau anti kemajuan teknologi. Saya sendiri sering memanfaatkan gadget untuk belajar dalam rangka menambah wawasan dan pengetahuan anak-anak saya. Namun prakteknya pemanfaatan gadget bagi siswa sekolah di Indonesia sekedar untuk berselfie ria, bermain game online, sahut menyahut komentar di jejaring sosial dan aktivitas lain yang jauh dari aktivitas belajar mengajar. Mungkin kelak jika gadget dan laptop diwajibkan menjadi bagian dari proses belajar mengajar, regulasi pemerintah tentang aplikasi teknologi telah mampu memfilter hal-hal yang dianggap tidak pada tempatnya sehingga anak didik benar-benar fokus terhadap aktivitas menuntut ilmu.

Pendidikan tidak hanya tentang meraih prestasi dan mengukir nilai-nilai ujian di atas rata-rata kelas. Di mata saya pendidikan seharusnya mampu menggali potensi minat dan bakat siswa. Setiap anak diciptakan unik dan memiliki kelebihan beserta kekurangan. Tugas nyata pendidikan dalam konsep gerakan semesta adalah mengasah kelebihan tersebut agar meningkatkan rasa percaya diri sehingga mampu menutupi kekurangan. Dalam hal ini pihak sekolah dan orang tua harus bahu membahu menjembatani potensi terpendam siswa. Di zaman saya masih duduk di bangku sekolah tercipta image bahwa siswa yang dipanggil guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan) atau memerlukan bantuan konseling siswa identik dengan anak nakal dan bermasalah. Sudah selayaknya anggapan tersebut diubah. Saatnya mengoptimalkan peran Bimbingan dan Konseling sekolah untuk menggali potensi, minat dan bakat. 

Program gathering atau family day yang diadakan pihak sekolah dapat diadakan secara rutin. Family day atau gathering tidak harus selalu berupa acara rekreasi bareng. Seminar parenting, workshop yang melibatkan kerjasama antara siswa dan orang tua berpadu games ringan akan menjadi acara menyenangkan. Acara-acara yang melibatkan pihak siswa, sekolah dan wali siswa hendaknya tidak melupakan sesi konsultasi dan “raport budi pekerti” siswa agar terjalin komunikasi intens antara pihak sekolah, siswa dan orang tua. Diharapkan program-program di luar kegiatan belajar mengajar ini dapat mengingatkan kembali pentingnya menjadi manusia sebagai makhluk sosial agar terbentuk generasi yang berkemanusiaan adil dan beradab. 

Saat duduk di bangku SD dan SMP di sekolah negeri, guru agama saya mewajibkan siswa untuk melaporkan raport ibadah harian mengaji dan sholat lima waktu yang ditandatangani oleh wali siswa. Program semacam ini mungkin ada baiknya dicanangkan kembali namun perlu menjadi perhatian orang tua bahwa kontrol terhadap raport ibadah sang anak diimbangi pula dengan perilaku orang tua sebagai contoh. Tak elok rasanya jika orang tua mengingatkan anak untuk tepat waktu dalam pelaksanaan sholat atau ibadah harian namun diri sendiri tidak mencontohkan demikian. Ibadah tidak hanya berupa hafalan dan gerakan. Adalah tugas guru dan orang tua untuk mengamati pengaruh rutinitas ibadah terhadap perkembangan kepribadian siswa. Sehingga generasi muda yang terinspirasi sila Ketuhanan Yang Maha Esa dari Pancasila tumbuh menjadi generasi mulia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun