Mohon tunggu...
David Setiawan
David Setiawan Mohon Tunggu... profesional -

I am a Brand & Business Consultant at CREAinc integrated business solution. My Passion is Marketing Strategic, Branding, Movie, Music, and blogging.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

DBL – Azrul Ananda Creative Young Talent – Part 1

10 November 2011   06:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:51 2193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekilas tentang Azrul Ananda… Lahir di Samarinda 33 tahun yang lalu, dan di’takdir’kan hidup dalam keluarga KORAN. Sang Bapak, Dahlan Iskan pasti kita semua tahu kiprahnya dalam bisnis, sampai saat ini dipercaya untuk memimpin PLN, adalah orang yang mendirikan Jawapos menjadi ‘Kerajaan’ yang luar biasa. Maka tak heran, dunia koran dan jurnalistik sudah mengalir dalam darah Azrul. Herannya, ketika dia mendapatkan beasiswa dalam pertukaran pelajar di Ellinwood High School, Kansas, dia tinggal dalam keluarga KORAN juga. ‘Orang tua angkat’-nya di sana adalah orang yang bergelut dalam bidang koran. Sampai akhirnya pada tahun 1999 dia lulus dari California State University Sacramento dengan predikat Cum Laude dengan mayor Internasional Marketing. Walaupun awalnya dia mengambil jurusan periklanan, namun karena ketidakcocokannya dengan dosen yang birokratis, menyebabkan dirinya enggan untuk belajar periklanan. Seni, Kreativitas, dan Jurnalistik adalah passion dan hidup Azrul. Ketika tahun 2000 dia kembali ke Indonesia, Jawapos menjadi tujuannya, selain karena memang sang Bapak menginginkannya untuk meneruskan ‘Kerajaan’. 26 Februari 2000 adalah cikal bakal Deteksi, yang menjadi bagian dari koran Jawapos khusus untuk anak muda dan dikerjakan oleh tim anak muda juga. Orang lain berpikir untuk apa membuat halaman untuk orang muda, namun Azrul melihat peluang dengan membuat anak muda mengenal dan membaca Jawapos. 11 Maret 2011, Deteksi Party yang pertama untuk merayakan ulang tahun Deteksi di Jawapos. 13-15 Oktober 2002, diadakan Deteksi Mading Championship (sekarang Deteksi Convention) yang pertama kali untuk pelajar SMA (Grace dan tim Petra-nya sempat menjadi juara dalam Kompetisi ini) 17 Juli – 7 Agustus 2004, Deteksi Basketball League (DBL), liga bakset SMA, pertama kali diadakan di Surabaya. 3 Desember 2009, DBL berevousi menjadi Development Basketball League dan 2010 DBL telah mengambil alih IBL (liga basket nasional) menjadi NBL (National Basketball League) Kalau melihat perjalanan karier Azrul, mungkin ada yang berpikir bahwa dia sanggup melakukan hal tersebut karena dukungan UANG dari Sang Bapak. Azrul memang tidak memungkiri hal tersebut, karena dia tidak harus memulai dari Nol. Namun, dia tidak menganggap hal tersebut adalah sebuah keuntungan. Karena baginya, Second Generation tidaklah mudah, karena kalau berhasil, orang berpikir semua hasil kerja keras Dahlan Iskan, namun kalau bisnis Jawapos gagal, maka dirinya lah yang disalahkan. Maka, Azrul pun harus bekerja keras untuk bisa Perform di Jawapos. Dalam prinsipnya, selama ada Jawapos, maka paling tidak di Surabaya, orang akan tetap membaca koran, walaupun trend ke depan bisnis koran tidak bisa berkembang lagi karena serbuan informasi melalui internet dan Blackberry yang sangat cepat. Namun dia yakin, Jawapos akan tetap eksis. Kenapa Deteksi? Karena dia ingin orang muda membaca koran. Fakta yang ada saat ini, 35% dari penduduk indonesia, yaitu sekitar 100 juta jiwa dibawah umur 25 tahun. Maka orang muda adalah target market yang sangat berpeluang besar jika dia ingin Jawapos tetap eksis di masa depan. Dan Deteksi memang dibuat untuk anak sekolah SMP dan SMA. Mengapa? Karena menurutnya mahasiswa bukan target market yang tepat. Karena mahasiswa identik dengan ‘kere’, di mana tanggal 15 ke atas selalu injury time dengan makan mie instant karena keterbatasan dana. Awalnya banyak yang mencibir dan mengecam, karena selain dianggap tidak penting karena tidak memuat berita, selain itu tema-tema yang vulgar seperti ‘First Kiss, Siapa yang lebih Baik? Papa atau Mama?’ dll, sempat dikecam oleh pihak agamawan karena dianggap melawan orang tua. Namun Deteksi tetap berjalan dengan tim anak muda usia belasan dan kuliahan. Walaupun dia memang mengakui bahwa kalau melihat bobot Deteksi di Jawapos, Deteksi memang tidak penting dan tidak perlu ada. Passion Azrul membawa Deteksi maju dengan Deteksi Mading Competition yang fenomenal. Setiap tahun, kompetisi ini menjadi ajang ‘Aktuliasai Diri’ para pelajar SMA di Jawa TImur. Menurutnya, Mading lebih canggih dari internet, karena Mading bisa lebih dirasakan oleh panca indera, dan bisa dibuat dalam bentuk apa saja. Dan hal tesebut terbukti, karena setiap tahun, Convention Hall terbesar di Surabya selalu menjadi tempat yang penuh sesak untuk kompetisi ini. Kemudian dia mulai berinovasi dengan DBL (liga basket). DBL awalnya juga diperuntukkan untuk mahasiswa, seperti NCAA di Amerika Serikat. Namun kejadian di mana dia mengumpulkan rektor-rektor Universitas di Surabaya, membuat nya ogah karena policydan birokrasi yang sangat ribet di masing-masing universitas. Akhirnya dia memutuskan untuk membuat DBL untuk pelajar, dan dia melakukannya tanpa perlu persetujuan kepala sekolah. Buatnya, melangkah saja dulu, buat iklan di sekolah-sekolah, dan hasilnya ada 100 sekolah yang mendaftar untuk mengikuti DBL. Dan DBL menjadi luar biasa berkembang, karena menjadi liga olahraga pelajar terbesar di Indonesia, dan dia membuktikan bahwa untuk menjadi liga olahraga terbesar tidak harus dimulai di Jakarta. Yang lebih hebat lagi, tahun 2010 ini DBL dipercaya untuk mengelola IBL yang dulunya KOBATAMA (liga basket nasional) supaya berhasil seperti DBL. Luar biasanya, tim DBL hampir seluruhnya di bawah usia 30 tahun. Azrul menyadari bahwa Young Talent adalah kekuatan yang luar biasa, karena orang muda FIGHT with CREATIVITY dan tidak ada yang bisa membendung hal tersebut, kecuali SEKOLAH. Menurutnya, SEKOLAH yang mematikan potensi kreativitas karena SEKOLAH hanya mengajarkan harus ini dan itu, namun tidak memberikan bekal pengalaman bahwa tidak masalah untuk membuat kesalahan. Namun yang terpenting adalah bagaimana setelah membuat kesalahan, orang muda mampu untuk mengatasi hal kesalahan tersebut. Sekolah tidak mengajarkan hal tersebut, karena sekolah tidak memberi ruang untuk kesalahan. Kesalahan di sekolah hanya akan membuat malu dan membuat tidak naik kelas serta tidak lulus. Kembali ke Jawapos, Azrul juga membuat rubrik Nouvelle, di mana dia memberikan sejumlah uang bagi pasangan keluarga untuk membelanjakan uang tersebut dan diliput di koran. Sebenarnya dia juga mengatakan bahwa hal tersebut pun tidak penting ada di koran. Namun dia tidak melakukannya karena target market yang ingin diraihnya. Lalu setelah Deteksi berkembang, orang tua mulai protes karena menganggap Jawapos ‘terlalu’ anak muda. Karenanya, dia membuat rubrik Evergreen untuk para lansia, di mana rubrik tersebut mengupas kisah-kisah para lansia dengan segala macam asam garam yang dialami mereka. Azrul memang sengaja membuat rubrik ini untuk usia 50 tahun ke atas, walaupun sebenarnya orang usia 50 tahun tidak ingin dianggap lansia. Namun alasan Azrul adalah Market Share yang terlalu kecil kalau rubrik itu diperuntukkan bagi usia 60 tahun ke atas. Dengan apa yang dilakukannya, aku harus mengakui bahwa dia adalah seorang Creative Young Talent yang luar biasa. Di luar segala kelamahan yang dimilikinya, yang kata orang Azrul sedikit angkuh. Namun aku tidak melihat hal itu, karena dia bukan orang yang suka Talk Show tetapi Do Show.. di bagian kedua (DBL – Azrul Ananda Creative Young Talent – Part 2) akan menceritakan bagaimana dia membangun bisnisnya..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun