Mohon tunggu...
Duwi Setiya Ariyanti
Duwi Setiya Ariyanti Mohon Tunggu... -

Jujur dan tepat waktu

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dalam Perjalanan (Menjadi) Tangguh

4 September 2013   13:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:22 2981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demi keberagaman Indonesia yang masih saya pelajari kebenarannya dan keindahannya.

Saya tahu kalau Indonesia itu indah dan beragam hanya sebatas dari terpaan media. Akibat cerita dari teman saya, Lentia yang pernah pergi ke Candi Borobudur saat perayaan Waisak, saya jadi tertarik dan ingin membuktikannya.

Dia bilang, momen paling indah saat perayaan Waisak di Candi Borobudur adalah pelepasan ribuan lampion. Saat itu, semua yang di sana berharap dan berdoa dengan cara masing-masing. Meski perayaan Waisak ditujukan kepada umat Buddha, tapi semua yang hadir berada di tanah yang sama. Indonesia. Yang terlintas di kepala saya adalah, meskipun saya bukan umat Buddha, tapi saya Warga Negara Indonesia. Saya berhak tahu perayaan dan prosesi yang ada di negeri saya. Ditambah, saya juga belum pernah mengunjungi Candi Borobudur.

Saya kemudian melakukan riset kecil-kecilan dengan mencari informasi dari A sampai Z tentang perayaan Waisak di Borobudur.Mulai dari susunan acara, dan bagaimana saya bisa sampai ke sana. Dari beberapa sumber , kemudian saya mendapati bahwa untuk mencapai Candi Borobudur yang berada di Magelang, saya harus turun di Stasiun Kutoarjo. Dengan perhitungan yang ketat, saya juga mencari tiket kereta api kelas ekonomi yang tersedia. Tiket yang tersedia adalah untuk keberangkatan tanggal 24 Mei dan kepulangan tanggal 27 Mei 2013. Itu artinya saya harus merelakan untuk membolos di kelas seminar.

Tanpa pikir panjang, bahkan saya tidak memikirkan akan pergi dengan siapa dan menginap di mana. Semua demi melihat keberagaman Indonesia. Semua demi melihat indahnya Candi Borobudur saat perayaan Waisak. Saya langsung membeli tiket untuk pergi dan pulang hampir 2 bulan sebelumnya. Bahkan saya meminjam daypack dan kamera DSLR dari teman saya.

Hari yang dinanti tiba, 24 Mei 2013 pukul 05.30 saya meninggalkan Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Kutoarjo. Dengan perjalanan sekira 6 jam, akhirnya saya tiba di Stasiun Kutoarjo. Saya bergegas mencari masjid terdekat untuk beribadah dan beristirahat.Saya kemudian menghubungi teman saya, Nisa yang juga akan pergi ke Candi Borobudur. Dia menginap di rumah tantenya, di Bantul, Yogyakarta. Saya pikir, daripada saya ke Bantul, lebih baik saya tetap di sekitar Kutoarjo saja karena menurut referensi, jarak Kutoarjo ke Magelang lebih dekat daripada Yogyakarta ke Magelang. Ada sedikit rasa takut saat itu. Bermalam di masjid tanpa satupun orang yang dikenal, tentu bukan bagian dari perjalanan saya.

“Saya akan bermalam di masjid ini lalu bertemu dengan Nisa besok, di Borobudur. Semua akan baik-baik saja,” kata saya dalam hati.

Saya bertemu dengan dua pria berusia sekira 27 tahun. Mereka bertanya asal dan tujuan saya.

“Mau kemana. Mbak? “ kata pria berkumis.

“Saya mau ke Candi Borobudur,” jawab saya yakin.

“Oh, mau ikut waisakan ya? Dari mana?” lanjutnya.

“Rumah saya di Bogor, tapi saya berangkat dari Pasar Senen, soalnya naik kereta,” jelas saya.

“Terus nunggu siapa atuh di sini?” kata pria tanpa kumis.

“Nunggu pagi. Boleh nggak ya tidur di dalam masjid? Saya besok subuh langsung berangkat lagi kok,” kata saya alih-alih mencoba negosiasi.

“Aduh gimana ya, kalau di luar sini sih boleh. Kalau di dalam nggak boleh kayaknya,” kata pria berkumis.

“Aduh gimana ya, soalnya kalau saya numpang sama teman saya, rumah saudaranya itu di Bantul, jauh,” jawab saya.

Saya kemudian merasa takut kalau saya memang harus tidur di pelataran masjid. Dengan orang asing dan barang yang saya bawa, saya takut hal buruk terjadi.

“Coba saya tanya ke yang punyanya dulu ya,” sahutnya lagi.

Sementara pria berkumis berbicara dengan pemilik masjid, pria tanpa kumis berkata, “Saya ada tempat, tapi itu di tempat kost saya. Itu tempat kost laki-laki takutnya kalau saya biarkan kamu menginap takut ada fitnah.”

Tak lama, pria berkumis kembali dan mengatakan bahwa saya tidak boleh bermalam di dalam masjid.

“Ya sudah, nanti malam saya datang ke sini. Soalnya kalau malam banyak orang asing yang biasa bermalam di teras ini,” katanya.

Mendengar itu, saya merasa sedikit merasa aman. Meskipun dia juga orang asing, tapi dia baik. Saya harus tetap waspada.

Ini perjalanan pertama saya ke Candi Borobudur saat Waisak. Sekaligus perjalanan pertama saya ke Candi Borobudur saat Waisak, seorang diri.

Malam menjelang, sekira pukul 20.00 WIB saat penjaga masjid akan mengunci pintu masjid, saya mencoba bernegosiasi.

“Pak, boleh nggak saya ikut bermalam di dalam masjid?” tanya saya penuih harap.

“Wah nggak bisa, mbak. Takut ada kehilangan soalnya,” jawabnya.

“Tapi sehabis sholat subuh saya pergi kok, pak. Barang saya banyak, saya takut kalau tidur di teras. Boleh ya, pak. Sehabis sholat subuh saya pergi, pak,” mohon saya.

Sejenak berpikir, kemudian bapak penjaga itu berkata, “Ya sudah, tapi pintu saya kunci dari luar ya,” katanya.

“ Terimakasih ya, pak,” jawab saya sedikit lega.

Sebenarnya saya juga masih takut kalau memang saya tidur di dalam masjid. Tapi kemudian, pria tanpa kumis yang saya tahu bernama Zahdan, memberikan kertas bertuliskan nomor teleponnya. Dia menyelipkannya melalui sela-sela pintu masjid. Sambil berkata, “Kalau ada apa-apa, sms saja. Nanti saya datang,” katanya.

Saat itu saya merasa, meski saya orang asing dan kesulitan, masih ada orang yang peduli dan baik hati untuk menolong.

Malam di dalam masjid terasa panjang. Pertama kali bermalam di kota orang, tidak membuat saya tidur nyenyak. Saya sulit memejamkan mata karena melihat bayangan orang yang masih berkegiatan di teras masjid. Hingga akhirnya saya menenggelamkan diri dalam sleeping bag dan terlelap. Itupun saya terbangun pukul 02.00 karena ingin buang air kecil. Saya lihat banyak orang yang tidur di teras berselimutkan sarung bahkan ada juga tanpa alas sama sekali. Dengan keadaan pintu yang terkunci, tak ada yang bisa saya lakukan selain menunggu hingga Adzan Subuh berkumandang.

Waktu terasa lambat dan rasa ingin buang air kecil semakin tak tertahan. Akhirnya tiba juga bapak penjaga mesjid, yang kemudian membuka pintu-pintu masjid. Saya bergegas ke toilet dan mensucikan diri untuk beribadah. Setelah itu, saya mandi dan bersiap untuk pergi sambil mengucapkan terimakasih kepada bapak penjaga masjid.

Saya merasa sedikit aneh dan bangga sekaligus. Aneh, karena ternyata saya baru saja tidur dan mandi di masjid, di kota yang pertama kali saya singgahi seorang diri. Bangga, karena ternyata rasa takut tinggallah cerita menarik yang bisa saya bagikan dan jadikan pelajaran berharga.

Tak jauh dari masjid, saya beranjak ke atm untuk mengambil uang dan sarapan di sebuah warung pinggir jalan. Saya memesan mi instan dan segelas susu. Apa yang saya makan pagi itu, memang makanan dan minuman yang biasa saja. Tapi saat itu, saya merasakan kehangatan lain. Kehangatan pembeli dan penjual yang membuat saya tak kedinginan dan terasing.Dari dua momen ini saya kemudian terbayang wajah orang bule yang bilang kalau, orang Indonesia ramah-ramah. Mungkin inilah salah satu buktinya. Saya diberi tahu angkutan yang mengantar saya ke Candi Borobudur sekaligus diberitahu ongkos dan rutenya.

Bis menuju Magelang meluncur pukul 06.00. Dengan medan yang berkelok dan menanjak, bis melaju dengan cepat. Saya mengeluarkan ongkos Rp.10ribu untuk jarak sejauh Jakarta-Bandung. Sekira 2 jam di dalam bis, akhirnya saya tiba di Magelang dan gapura menuju Candi Borobudur.

Ketika saya turun dari bis, saya langsung didatangi tukang ojek yang menwarkan jasanya. Sambil berdalih menunggu teman, saya duduk dan menghubungi Nisa. Dia bilang kalau baru akan berangkat sekira pukul 10.00. Dari referensi saya, perayaan Waisak dimulai pukul 09.00 dari Candi Mendut. Saya hanya ingin melihat prosesi di Candi Borobudurnya saja. Jadi saya putuskan untuk menuju Candi Borobudur sebelum prosesinya dimulai agar saya dapat menikmati salah satu dari 7 keajaiban dunia itu. Setelah bernegosiasi harga dengan tukang ojek, saya harus membayar Rp.20ribu untuk sampai ke gerbang Candi Borobudur. Ternyata memang perjalanannya lumayan jauh. Tukang ojek menyarankan saya untuk pulang sebelum malam, karena tidak ada kendaraan umum yang beroperasi. Kemudian saya berpikir, “Bukannya puncak waisak itu sampai malam ya? Terus nanti pulangnya gimana? Ah, mungkin malam ini akan ada kendaraan atau harus nginep sampai besok? Lihat nanti aja deh,” pikir saya.

Saya menikmati pemandangan Desa Muntilan yang masih sejuk dan asri. Kehidupan penduduk sekitar tak mencemari keindahan alamnya. Mereka masih beraktivitas secara sederhana dan dekat dengan alam. Meskipun sudah banyak kendaraan bermotor, sepertinya masih dalam batas wajar.

Matahari hampir tinggi dan loket dipenuhi anak sekolah dan pengunjung lokal serta asing. “Jadi ini Candi Borobudur. Seberapa istimewanya kah sampai ratusan orang rela mengantre?” pikir saya. Menurut informasi , tarif masuk saat perayaan Waisak berbeda dengan hari biasa. Saat saya melihat kea rah loket, ternyata harganya masih sama. Setelah mendapat tiket, saya menitipkan daypack dan membawa tas kecil berisi kamera dan dompet.

Saya berjalan sambbil mengamati sekeliling. Mungkin saya memang pergi sendirian, tapi saya tak kesepian. Saya menikmati perjalanan saya mengitari Candi Borobudur. Saya terus berdecak kagum karena berdiri di atas susunan batu yang kokoh dan suci. Disatukan tanpa semen tapi kokoh berdiri dan menceritakan berbagai kisah dari Wangsa Syailendra. Saya mengamati batu yang dipahat sedemikian rupa yang menjadikannya indah dan bernilai historis tinggi.
Namun sayangnya banyak patung-patung yang keadaannya sudah rusak. Entah termakan usia, cuaca, atau ulah pengunjung yang kurang peduli dengan keindahan candi. Tak sedikit pengunjung yang bersandar sambil berpose di antara patung-patung yang berdiri.

Akhirnya, saya dapat menapaki jejak sejarah di kawasan Candi Borobudur. Sekira pukul 01.00, saya kembali menghubungi Nisa. Dia masih dalam perjalanan. Saya jadi semakin curiga. Dia sebenarnya benar-benar ingin bertemu saya atau tidak? Saya takut, kita tak bisa bertemu karena pengunjung terus bertambah. Saya selalu teringat kata-katanya di kampus saat dia tahu saya akan ke Candi Borobudur. Dia bilang, “Pokoknya nanti kalau ada apa-apa, sms gue aja ya. Gue pasti bantu.” Mungkin juga saya yang terlalu berharap.

Saya coba untuk berkeliling dan mengamati detail panggung utama yang akan menjadi tempat puncak perayaan Waisak. Saat matahari kian redup, saya coba mengambil posisi untuk pengambilan gambar. Di samping kiri dan kanan saya banyak orang meletakkan tripod dan sibuk mengatur kamera mereka. Dari sisi kiri saya ada tiga orang pria berusia 30an, 50an, bahkan 60an, serta wanita berusia 40an. Mereka tampil simpel mengenakan kaus oblong dengan sepatu running tentunya ditambah tas kamera di salah satu tangannya.

Pria berusia 30an menyapa saya, “Sendirian aja, mbak?”

“Iya, mas. Tapi saya sambil nunggu teman saya kok” jawab saya sambil tersenyum.

“Oh gitu. Dari mana?” lanjutnya.

“Dari Jakarta.” Jawab saya.

“Wah, ke sini mau lihat waisakan aja?” tanyanya lagi.

“Iya, mas. Lagian saya juga belum pernah ke sini. Jadi ya, mumpung pas libur waisak saya ke sini,” jelas saya.

Lalu pria berusia 50an menyahut, “Ayo sini, mau tak fotoin nggak? Lumayan loh, kan biar kelihatan kamu datang ke Candi Borobudur waktu Waisak,” tawarnya.

“Nggak, om. Terimakasih. Dapet foto di sini saja saya udah puas. Nggak perlu ada muka saya di dalam foto,” jawab saya.

Sambil menunggu arak-arakan tiba di panggung utama, saya kemudian diajak untuk bergabung dengan mereka. Mereka membawa peralatan yang lengkap. Selain kamera dengan segala aksesorinya, mereka juga membawa tikar dan makanan. Dari obrolan yang saya dengar, sepertinya mereka berlima, dengan satu lagi wanita berusia 40an, adalah kumpulan pehobi fotografi dan traveling. Saya kemudian terhenyak dan berpikir, “Mereka itu pekerjaannya apa ya? Di usia seperti ini mereka sudah dapat menikmati hidup dengan menjelajah dan mengabadikan setiap momen.” Kenapa begitu, karena hobi fotografi dan traveling bukanlah hobi yang murah. Pasti mereka pekerja keras yang kemudian telah sukses sehingga bukan hal yang sulit untuk berpergian ke tempat yang baru.

Kalau saya tidak salah dengar bahkan, pria berusia 60an, yang saya ketahui bernama Om Har, memiliki tiga hotel. Mungkin itulah yang membuatnya begitu bersemangat dan terllihat bahagia diusianya yang telah lanjut.

Tak banyak yang saya katakan selama saya bergabung dengan mereka. Saya hanya mengamati dan mencoba memahami kondisi saat itu. Saya ikut tertawa saat mereka berbagi cerita pengalaman menarik saat di perjalanan sebelum ke Candi Borobudur. Lalu mereka juga menunjukkan hasil jepretannya sambil kemudian saling memuji dan mengomentarinya. Saya terbawa suasana hangat itu. Saya bukan orang asing. Saya tidak sendirian.

Pria berusia 50an bertanya, “Temanmu sudah berangkat?”

“Tadi sih katanya masih di jalan, om. Memangnya dari Bantul ke sini jauh ya?” tambah saya.

“Sekitar 1 jam, kalau pakai motor. Temanmu pakai kendaraan umum atau motor?” tanyanya.

“Oh gitu. Kok dari tadi belum ada kabar kalau udah sampai?” sambung saya.

“Ya sudah, kamu tunggu di sini saja,” jawabnya ramah.

Tak lama ada dua pria berusia 20an yang sangat begitu bersahaja. Satu di antaranya akrab disapa “tokek”. Saya lupa nama aslinya siapa. Dia sendiri yang meminta agar saya memanggil dengan sebutan itu. Dia bercerita kalau dia bersama teman-temannya menginap di basecamp sebuah operator rafting di kawasan Candi Mendut. Mereka menginap agar lebih mudah mengikuti prosesi Waisak.

Pengunjung kian ramai. Arak-arakan yang dibawa dari Candi Mendut tiba satu per satu menuju panggung utama. Kami mulai berpencar dan mengabadikan momen dari berbagai sisi. Takjub. Berlarian sambil mengatur kamera dengan cepat membuat saya jadi bagian semua pengunjung yang mengabadikan momen berharga ini. Kala itu saya merasa, saya semakin senang dan bangga dapat menyaksikan langsung prosesi perayaan Waisak di salah satu tempat suci di Indonesia.

Setelah mendapat banyak gambar, kami saling menunjukkan dan mengomentari gambar yang diperoleh. Gambar yang menurut saya paling unik adalah, gambar milik pria berusia 50an dengan liong dari replica bahtera dengan latar panggung berwarna emas, Candi Borobudur, langit biru, dan awan putih yang bertekstur. Dia bahkan mau berbagi komposisi teknik dan angle dari gambar tersebut.

Saya masih terus menghubungi Nisa. Saya jadi semakin tak peduli dengan kehadirannya. Mungkin memang dia tidak menginginkan juga kehadiran saya. Kalau saat terang saya tak dapat menemukannya, apalagi nanti ketika malam datang? Tentunya kita akan semakin sulit bertemu.

Sekira pukul 05.00 saya berniat untuk mengambil daypack yang saya titipkan. Saya khawatir kalau loketnya tutup sebelum acara puncak selesai. Akhirnya saya bersama Tante Mathilda menuju gerbang. Banyaknya jumlah pengunjung membuat kami begitu sulit untuk berjalan. Kami kemudian mengambil jalan yang berbeda karena dia akan mengambil kunci kamar di mobil sementara saya, ke loket. Saya kemudian berlari menuju loket. Akhirnya loket masih dibuka dan saya masuk kembali melalui loket yang lain. Ternyata perjalanan masuk kali ini tak semulus, tadi pagi. Jalanan macet. Saya kira hanya karena jumlah mobil dan motor. Ternyata kemacetan disebabkan banyaknya pengunjung yang ingin masuk tapi gerbang tetap terkunci. Sementara mobil dan motor dari arah yang sama dan berlawanan terhenti.

Di situ saya merasa, ini bukan acara keagamaan. Saya rasa sedang berada di pintu masuk sebuah konser penyanyi luar negeri. Semua riuh dan berteriak. Belum lagi hujan mengguyur dan kondisi semakin tak terkontrol. Setelah berdiri sekira 1 jam, akhirnya pihak keamanan membukakan gerbang. Saya yang lapar, haus, dan lelah tak memedulikan diri saya. Saya terus berlari ke arah jalan yang saya lalui saat keluar tadi. Betapa terkejutnya saya saat melihat antrean begitu panjang. Saya putuskan untuk sejenak beristirahat membeli minum dan pergi ke toilet. Antrean toilet menyambut. Hanya pasrah menunggu, itulah yang bisa saya lakukan. Setelah itu saya kembali memasuki antrean menuju panggung utama.

Tiba-tiba saya teringat Tante Mathilda. Kemana dia? Apa dia sudah sampai di atas? Tak lama, seseorang menghubungi saya, dia adalah pria berusia 30an, yang bernama Agus.

“Kamu di mana?” tanyanya

“Aku di tanjakan, mas. Di sini antrenya panjang banget. Tante Mathilda ada di sana?” sambung saya.

“Oh gitu, untung aja. Aku kira kamu hilang. Tante Mathilda ada kok. Nanti kamu ke pos polisi, ya. Tas mu ada di sini,” jelasnya.

“Iya, mas. Terimakasih ya,” jawab saya penuh syukur.

Di tengah kerumunan itu, ada orang yang peduli dengan keadaan saya. Kalau mereka jahat, mereka nggak mungkin mempercayai perkataan saya. Mereka nggak mungkin menolong saya.

Saya bergegas menuju pos polisi dan menemui mereka. Saya menemui pria berusia 50an yang dari tadi siang bersama saya, Om Sofyan.

“Untung kamu ketemu orang baik ya, di sini. Tas kamu ada di dalam,” katanya sambil tersenyum.

“Iya, om. Terimakasih banyak ya,” jawab saya dengan penuh kelegaan.

Baterai handphone saya terus berkurang dan belum ada kabar soal Nisa. Sepertinya akan semakin mustahil saya bertemu dia malam ini.

Gerimis belum juga reda. Saya tak lagi berniat mendekati panggung utama. Begitu juga Om Sofyan yang malah berjalan ke arah berlawanan dengan pengunjung lain.

“Nggak ke depan, om?” tanya saya.

“Nggak. Mood ku hilang kalau lensa udah kena air. Percuma, nggak akan dapat gambar bagus,” jawabnya.

Melihat saya mengikutinya, dia berkata, “Kalau kamu mau ke depan, nggak apa-apa.”

“Di depan penuh, hujan juga. Aku nggak akan dapet apa-apa,” jawab saya.

Akhirnya kita duduk di gedung yang terletak di samping pos polisi. Sisi paling belakang dari arah panggung utama. Kita bercerita soal pengalaman masing-masing. Dia punya banyak cerita soal perjalanan dan fotografi. Menarik dan menyenangkan. Sementara saya, hanya berbagi soal pengalaman sial dan beberapa pandangan soal cita-cita. Mungkin dia tertarik dengan pendapat dan pengalaman saya, jadi kami bertukar nomor telepon. Siapa tahu kami bisa bertemu di kesempatan yang lain.

Tiba-tiba saya mengenali sesosok wanita yang melintas di depan saya.

“Lentia! Lentia!” sambil melambaikan tangan.

“Lu sama siapa?” tanyanya heran.

“Sendiri. Gue janjian sama Nisa di sini, tapi sampe sekarang belum ada kabar. Lu sama siapa?” sambung saya.

“Sama anak auvi. Terus lu di sini dari tadi sama siapa?” tanyanya lagi.

“Gue gabung sama pehobi fotografi dan traveling. Kalau nanti gue nggak ketemu Nisa, gue boleh gabung?” tanya saya.

“Oh gitu. Gimana ya, mobilnya penuh. Lagian gue nggak enak sama yang lain.” Jawabnya.

Kemudian saya semakin bingung dengan nasib saya malam itu.

“Ya udah, kalau memang nanti nggak ketemu Nisa, lu ke pos polisi di bawah aja. Gue di sana kok.” Katanya.

“Oke, terimakasih ya, len!” jawab saya senang.

Hujan semakin deras. Sehingga acara pelepasan lampion terpaksa diundur. Diundurnya susunan acara pun disebabkan Menteri Agama yang telambat hadir. Mengetahui hal itu, pengunjung yang sudah membeli lampion bersorak bahkan ketika Menteri Agama memberi sambutan. Saya merasa telah mengganggu umat yang beribadah. Saya merasa malu. Meskipun saya bukan bagian dari pengunjung yang kesal akibat ditundanya pelepasan lampion.

Ternyata hujan semakin deras dan panitia mengumumkan untuk membatalkan prosesi pelepasan lampion. Saya masih di tempat yang sama. Menunggu hujan sedikit reda dan menunggu Nisa.

“Temanmu di mana?” tanya Om Sofyan.

“Dia di depan, om. Kalau saya ke depan dengan pengunjung yang masih banyak, saya nggak yakin nanti bisa ketemu,” jawab saya khawatir.

“Sebenarnya kamu dekat nggak sih sama temanmu ini? Kenapa dari tadi susah sekali ketemunya?” tanyanya penasaran.

“Lumayan dekat, om. Soalnya dia yang janjikan begitu,” jawab saya.

“Terus nanti kalau nggak ketemu kamu mau kemana?” tanyanya lagi.

Saya memilih tak menjawab dan menggelengkan kepala. Tak kata lagi yang bisa menjawab pertanyaan itu. Mungkin saya akan ke pos polisi tempat Lentia bermalam.

Saya kemudian dikenalkan dengan pria usia 20an, Kefat dan Hansen, pengunjung asal Jakarta. Om Sofyan, Tante Mathilda dan Tante Piping menanyai soal hobi dan kegiatan yang dilakukan mereka. Sampai kemudian ditanyai pula soal akan bermalam di mana. Ternyata mereka akan bermalam di tempat Tokek, di operator rafting sekitar Candi Mendut. Mereka bertiga, Om Sofyan, Tante Mathilda, dan Tante Piping langsung menyuruh saya untuk ikut bermalam bersama mereka.

“Daripada kamu nungguin teman kamu yang nggak jelas itu, mendingan kamu ikut sama Hansen dan Kefat ke tempatnya Tokek,” ajak Tante Piping.

“Iya, kemarin juga banyak teman ceweknya Tokek yang nginap. Sebentar, saya hubungi dia dulu,” sambung Hansen.

Tiba-tiba terdengar peringatan dari petugas keamanan kalau pengunjung harus segera meninggalkan area Candi Borobudur. Kami berenam bergegas pergi menerjang hujan. Jalanan gelap dan kami jalan beramai-ramai. Hingga di depan gerbang, kami berpisah. Momen perpisahan ini sudah seperti berpisah dengan keluarga. Keluarga yang dekat dan hangat. Kami bersalaman dan saya merasa menjadi orang yang beruntung karena bertemu dengan orang baik seperti mereka, Om Sofyan, Tante Mathilda, dan Tante Piping, Mas Agus dan Om Har. Saya, Kefat dan Hansen masih berjalan menerjang hujan dan kemacetan. Hingga akhirnya kita berteduh untuk beristirahat dan menghangatkan diri.

“Jadi kamu janjian sama temanmu di Borobudur?” tanya Hansen.

“Iya. Kita memang nggak bareng berangkatnya. Dia tinggal di rumah tantenya di Bantul. Jadi kita janjian di Borobudur. Taunya dari siang, waktu belum banyak orang aja kita susah ketemunya. Apalagi malam, pengunjung udah banyak orang,” jelas saya.

“Terus rencananya kamu di sini berapa lama?” tanyanya lagi.

“Senin sore saya pulang. Paling ya, besok pagi saya janjian lagi di tempat yang lebih gampang ketemunya sama dia,” jawab saya.

Setelah menghabiskan teh manis hangat, saya naik motor bersama Hansen ke tempat Tokek. Sementara Kefat menunggu di warung sampai Hansen kembali. Masih hujan dan masihmacet. Ternyata perjalanan dari candi Borobudur ke Candi Mendut lumayan jauh. Lamanya sekira 20 menit. Untung saya tidak ikut arak-arakan dari Candi Mendut ke Candi Borobudur tadi siang, pikir saya.

Sampai di sana, saya awalnya merasa kaku dan tak tahu harus melakukan apa. Akhirnya saya putuskan untuk mengganti pakaian yang basah dulu baru kemudian menjemur sepatu, kaus kaki, dan cover daypack.

Ada sekira enam orang yang asyik bermain monopoli versi online dan seorang wanita berusia 20an yang saya ketahui bernama Aca. Tak banyak yang saya katakan. Saya terbiasa untuk mencoba mengamati dan memahami situasi terlebih dahulu. Baru jika ada yang bertanya, saya menjawab dan mungkin balik bertanya.

“Gabung aja sama yang lain, nggak usah malu. Saya jemput Kefat dulu,” ucap Hansen.

“Oh iya, terimakasih,” jawab saya.

Malam pertama di perjalanan saya yang sendirian ini, saya habiskan dengan bermalam di masjid. Malam kedua, saya bermalam di suatu tempat penyedia jasa rafting di kawasan Candi Mendut. Hal yang tak disangka tapi itulah yang terjadi.

Hansen dan Kefat belum kembali. Tokek dan temannya yang saya lupa namanya datang.

“Eh kamu ke sini juga? Sama siapa?” tanya Tokek.

“Sama Kefat sama Hansen. Abisnya belum ketemu juga sama teman saya,” jawab saya.

“Oh dua cowok yang pake kaca mata itu? Oh ya sudah besok saja ketemunya. Lagian temanmu tega banget masa kamu ditinggal gitu,” katanya lagi.

“Iya. Bukan ditinggal, mungkin ya memang belum ketemu aja,” kata saya meluruskan.

Tidak salah juga mereka yang menolong saya hari itu berprasangka demikian. Semua tentang Nisa tak terlihat baik. Dia sepertinya tak benar-benar ingin bertemu saya, menolong saya. Lagi pula saya sudah bersama orang baik. Semoga memang ada alasan yang baik kenapa jadi begini.

Kami kemudian makan bersama. Kehangatan itu datang lagi. Bukan soal makanannya, tapi dengan siapa kita menikmati makanan itu. Kami juga bercerita soal betapa perhatian dan pedulinya om dan tante yang kita temui di Candi Borobudur.

“Kamu beruntung loh bisa ketemu sama mereka. Baik, perhatian dan peduli sama nasib kamu,” kata Tokek.

“Iya, saya juga beruntung kita ketemu. Semoga saya juga beruntung bisa ketemu teman saya besok,” kata saya.

“Kayaknya kalau jalan-jalan memang enaknya sendiri. Bisa gabung sama siapa aja tanpa peduli apa maunya orang lain. Mau kemana-mana juga bebas, nggak perlu berdebat atau mengalah. Nggak repot,” kata Hansen.

Benar juga kata dia. Saya belajar banyak hari ini. Mungkin ada sisi positif dari perjalanan yang saya lakukan seorang diri ini. Saya bisa mengamati banyak hal dan bertemu dengan beragam orang. Coba kalau saya bertemu dengan Nisa dari tadi siang, mungkin saya tidak mendapat pengalaman ini, pelajaran berharga ini.

“Kamu berdua sama Kefat apa gimana?” tanya saya.

“Iya. Saya dua minggu di sini dan kita patungan buat nyewa motor. Di sini murah dan nggak ribet prosesnya. Jadi enak kalau mau kemana-mana,” jawabnya.

“Wah enak ya, masih lama di sini. Saya Cuma empat hari tiga malam di sini, itupun Senin saya terpaksa bolos kuliah. Coba saya juga bisa bawa motor, kan nggak perlu ngandelin kendaraan umum,” keluh saya.

“Ah udah deh, kalau lagi liburan nggak usah ngomongin kuliah. Bikin pusing otak aja dengernya,” ssahut Aca.

Selesai makan, saya bersiap untuk tidur. Mereka masih mengobrol dan sebagian lain masih bergelut denganlaptop memainkan monopoli. Sayup-sayup saya dengar Kefat, Hansen, Tokek dan temannya yang saya lupa namanya itu berencana pergi ke sebuah bukit untuk hunting foto sekira pukul 05.00. Saya hanya tersenyum, karena sepertinya saya tak bisa bergabung.

Lelah ini membuat saya tidur nyenyak. Meski hanya tidur di sofa, saya merasakan tidur yang berkualitas. Saya keluar dan menjemur sepatu saya ke tempat yang terkena sinar matahari. Banyak perahu karet, dayung , jaket dan helm yang dijemur di halaman. Sambil menikmati suasana pagi di teras rumah, saya mengamati anak-anak yang bermain sepeda. Hingga satu per satu dari kami terbangun dan menghampiri saya.

“Kamu lapar nggak? Beli makanan, yuk!” ajak Aca.

“Ayo, di mana?” jawab saya antusias.

Kami berjalan menuju warung terdekat. Tak banyak yang dijual. Jadi kami memesan seporsi mi instan dan kopi capucino instan. Sambil menunggu pesanan, saya kembali menghubungi Nisa. Melalui pesan singkat, dia bilang akan bertemu di Malioboro sekira pukul 11.00.

“Jadi nanti kamu janjian di mana?” tanya Aca.

“Jam 11 di Malioboro,” jawab saya.

“Oh gitu, ya sudah nanti kamu bareng sama Uba aja sekalian dia mau ke tempat kost,” ajaknya.

“Oh ya? Jadi ngerepotin nih,” kata saya.

“Nggak apa-apa. Sekalian. Lagian kalau dari sini pake kendaraan umum tuh ribet. Iya kan, Ba?” katanya.

“Iya, nggak apa-apa bareng aku aja. Tapi kamu pakai helm rafting ya. Soalnya nggak ada helm lagi,” sambung Uba, pria berusia 20an.

“Oh oke, terimakasih ya. Memangnya nggak apa-apa kalau pake helm rafting? Kalau ada polisi gimana?” tanya saya lagi.

“Polisi di sini baik kok, tenang aja,” yang lain menanggapi.

Kefat dan Hansen melanjutkan perjalanan ke sebuah air terjun. Sementara saya, Uba dan tiga motor lain ke arah Yogyakarta. Kami saling bersalaman dan berpamitan. Ini bukan hal yang saya impikan, tapi ini baik dan terjadi.

Saya, Uba, Aca dan temannya memutuskan untuk mampir mencari makanan. Sudah hampir masuk waktu makan siang, dan perut kami sudah keroncongan.

Sekali lagi, momen santap bersama ini jadi begitu hangat bagi kami yang belum pernah mengenal sebelumnya.

“Jadi kamu mau ketemu temanmu di mana?” tanya Uba.

“Tadinya di Malioboro, tapi karena dia sekalian nunggu kakaknya, jadi kita ketemuan di Keraton” jawab saya.

“Ya sudah, kita antar kamu sampai sana,” katanya.

“Ya ampun, terimakasih banyak ya,” sahut saya.

Setelah santap siang, kami melanjutkan perjalanan menuju Keraton Yogyakarta. Sesampainya di sana, saya menghubungi Nisa.

“Di mana?” tanya saya.

“Di Keraton, di tempat parker yang sebelah kanan,” jawabnya.

“Patokannya apa? Ada apa aja di sana?” tanya saya lagi.

“Pokoknya Keraton, tapi di sisi kanannya yang deket pintu masuk,” jawabnya lagi.

Kami pergi ke tempat yang dimaksud, tapi belum terlihat sosok Nisa.

“Oke, nggak apa-apa sampai sini aja ya. Terimakasih banyak udah mau menolong dan nganterin sampai sini,” kata saya.

“Nggak apa-apa, kita mau nganterin kamu sampai kamu bener-bener ketemu sama temanmu itu,” jawab Aca memaksa.

Saya kembali menghubungi Nisa dan akhirnya kita bertemu di tengah gerbang utama Keraton. Saya memperkenalkan Nisa kepada Uba, Aca dan temannya.

“Oh ini toh temanmu. Lain kali jangan tinggalin dia ya. Kasian loh dia kayak anak ilang,” sindir Aca.

“Bukan ditinggal, Cuma belum ketemu aja kok. Terimakasih banyak ya kalian,” jawab saya meluruskan.

Sebelum berpisah, saya meminta Nisa untuk merekam keramahan mereka yang telah bersedia mengantar saya dari Magelang sampai Yogyakarta ini. Mereka ramah dan baik hati. Mereka tak terlupakan buat saya. Mereka berjasa.

Akhirnya saya bertemu Nisa dan ikut pulang ke rumah tantenya di Bantul bersama keponakannya. Ternyata benar, ada alasan yang baik tapi tak tersampaikan mengapa saya sulit bertemu Nisa tadi malam. Nisa yang pergi bertiga pun terpisah. Sampai akhirnya dia bertemu salah satu senior kami di kampus. Dalam keadaan itu, dia tak bisa menolong saya karena memang situasi yang tak mendukung. Karena dia juga butuh pertolongan.

Sampai di rumah tantenya, saya memberi kabar dan mengucapkan terimakasih kepada Om Sofyan, Tokek dan Hansen. Mereka turut senang akhirnya saya bertemu dengan Nisa.

Teman-teman saya banyak meminta oleh-oleh. Bahkan saya tak terpikir untuk membeli oleh-oleh untuk mereka. Buat saya, cerita dan pengalaman ini merupakan oleh-oleh yang paling mahal harganya. Tak terbayar bahkan.

Kesalahan saya memilih referensi perjalanan membuat saya kembali kesuliatan saat akan pulang. Tiket saya jurusan Kutoarjo-Pasar Senen dengan harga Rp.28ribu. Tapi saya harus naik berkali-kali kendaraan umum untuk sampai di Stasiun Kutoarjo. Sementara Nisa telah memiliki tiket jurusan Lempuyangan-Pasar Senen. Akhirnya saya berangkat lebih dulu dan diantar oleh Kak Nentis, saudara Nisa sampai ke Stasiun Lempuyangan untuk naik kereta prameks. Sayangnya kami tiba di sana beberapa saat kereta prameks berangkat. Akhirnya saya diantar ke Terminal Giwangan untuk naik bis ke Kutoarjo.

Pukul14.30 bis baru melaju. Saya kira perjalanan akan mulus. Ternyata beberapa kali bis terhenti dalam waktu yang lama. Saya khawatir saya tertinggal kereta yang berangkat pukul 17.00.

“Mas, kira-kira 2,5 jam cukup tidak untuk sampai ke Kutoarjo?” tanya saya kepada seorang penumpang.

“Wah nggak tahu ya kalau naik bis. Saya biasanya naik motor, dan itu cukup,” jawabnya.

Saya semakin gelisah. Saya menanyakan pertanyaan yang sama kepada supir bis.

“Wah nggak tahu ya, mbak. Soalnya sedang ada perbaikan jalan. Jadi kita harus mengantre dengan kendaraan dari arah sebaliknya. Kita coba saja. Semoga bisa,” jawabnya.

Saya pasrah dan terus berdoa. Sampai akhirnya pukul 16.30 pun saya baru akan memasuki Purworejo. Yang artinya perjalanan masih jauh untuk sampai Kutoarjo. Saya terus berdoa.

Pukul 16.55 saya tiba di Terminal Purworejo dan saya harus menyambung dengan angkutan umum untuk sampai Stasiun Kutoarjo. Saya berlari dan berharap kereta telambat. Saya menghampiri meja petugas dan memastikan kereta saya.

“Pak, Kereta Kutojaya belum berangkat kan?” tanya saya cemas.

“Wah udah berangkat, mbak,” jawabnya tanpa dosa.

Penuh rasa kecewa dan kebingungan, saya duduk di ruang tunggu. Mencoba menghubungi Nisa, tapi tak bisa. Jika saya naik bis, belum tentu saya bisa tiba di Jakarta pagi sebelum pukul 08.00 karena saya harus masuk kelas. Kalau saya naik kereta, pasti harga tiketnya akan jauh lebih mahal. Akhirnya saya berlari ke loket dan bertanya kepada petugas.

“Pak, kereta tercepat ke Jakarta berangkat jam berapa?” tanya saya.

“Ada, Kereta Sawunggalih kelas bisnis, berangkat jam 6.30 harganya Rp.180ribu,” jawabnya.

Benar saja, harga tiketnya hampir 6 kali lipat dari harga tiket saya. Untung sisa uang saya masih cukup untuk tiket dan biaya hidup saya sampai akhir pekan. Daripada saya harus bolos kuliah lagi, pikir saya.

“Gimana, mbak jadi nggak?” tanya petugas.

“Iya, pak jadi. Saya ke ATM dulu ya,” jawab saya tergesa-gesa.

Setelah mendapat tiket, saya tertawa dan membayangkan betapa bodohnya saya. Bodoh, karena saya tak mengatur waktu dengan baik. Saya kemudian menelepon beberapa teman saya untuk berbagi ceita bodoh ini. Beberapa tertawa, tapi di antaranya juga kasihan dengan apa yang terjadi dengan saya.

Rasa kecewa, cemas, dan marah hanya perasaan sesaat. Saya langsung dapat mengambil sisi potif dari ini semua. Banyak momen dalam hidup yang harus diawali dengan perasaan negatif, tapi semuanya berakhir positif dan juga memiliki alasan positif mengapa itu terjadi.

Saya mendapat kabar dari Nisa kalau ternyata temannya, Fitri tak jadi pulang ke Jakarta hari ini. Kan tiketnya bisa saya pakai, jadi saya tak perlu membeli tiket yang harganya jauh dari harga tiket sebelumnya. Ah sudahlah, pengalaman ini membuat cerita perjalanan saya kian menarik.

Saya menikmati kereta kelas bisnis ini, yang saya beli dalam keadaan yang tak terduga. Sekira pukul 02.00 saya tiba di Stasiun Jatinegara dan menunggu Nisa. Nisa tiba pukul 04.30 sementara kereta ke arah Bogor baru tersedia pukul 05.00. Padahal prediksi saya, saya tiba di tempat kost di Lenteng Agung pukul 05.00 jadi saya bisa beristirahat sebelum masuk kelas pada pukul 08.00.

Prediksi saya meleset. Seharusnya saya naik kereta ke arah Kota untuk transit di Manggarai. Kami tertidur dan baru sampai di Stasiun Tanjung Barat pukul 07.00. Kami bergegas menaiki angkutan umum. Sampai di tempat kost, saya bergegas mandi dan bersiap untuk melanjutkan aktivitas.

Hari itu, saya kuliah dan melanjutkan untuk bekerja part-time di sebuah tempat kursus. Pengalaman menarik itu membuktikan saya tangguh. Saya tangguh menghadapi masalah dan banyak momen berharga meski seorang diri. Rasa syukur terus terpanjat. Dan saya tahu ini akan berlanjut. Akan lebih banyak perjalanan tangguh selanjutnya. Perjalanan bertemu orang tangguh atau perjalanan menemukan sisi diri yang tangguh. Atau semakin tangguh.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun