Kita patut berbangga dengan salah satu prestasi anak bangsa di awal tahun ini. Pada 2 Januari 2019 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati diberi penghargaan oleh The Banker sebagai Menteri Keuangan Terbaik di Asia Pasifik dan Global. Karena dinilai maksimal mengelola anggaran dan ekonomi positif di tengah musibah yang terus menerpa Indonesia.
Namun demikian, kita patut bersedih juga di kala yang sama media memberitakan tentang vonis bersalah pada salah satu korporasi atas tindak pidana korupsi oleh Majelis Hakim di PN Tipikor Jakarta. Korporasi tersebut terbukti memperkaya diri sebanyak Rp 240,098 miliar melalui delapan proyek yang diperolehnya. Hal itu menjadi sejarah dalam penindakan korupsi di Indonesia. Pertama kalinya, korporasi dinyatakan bersalah dalam kasus tindak pidana korupsi.
Eskalasi korupsi meluas tidak saja oleh oknum eksekutif, legislatif, dan yudikatif tapi merambah juga ke korporasi baik dilakukan sendiri maupun bersama. Pola korupsi yang dilakukan juga bergeser. Dana yang disalahgunakan beraneka macam. Terbaru diberitakan bahwa dana penanggulangan bencana di beberapa daerah dan keolahragaan juga tidak luput dari kejahatan korupsi.
Kejahatan korupsi terjadi sejak pemerintahan dulu hingga sekarang. Tidak mengherankan, bila berkembang pameo di masyarakat terkait korupsi. Dulu korupsi di atas meja, kadang di bawah meja. Sekarang, meja-mejanya pun diangkut sekalian.
Seperti dikutip dari laman Wikipedia.org, korupsi atau rasuah adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dampak korupsi tidak langsung menimbulkan penderitaan seperti halnya kejahatan lain yang bahayanya langsung bisa disadari. Layaknya kejahatan perampokan, perampasan, pencurian, dan semacamnya.
Dampak korupsi begitu luas dan dapat menyengsarakan hidup rakyat banyak. Dalam skala tertentu, perekonomian nasional juga dapat terganggu olehnya. Korupsi adalah kejahatan terorganisasi memiliki sifat sistemik, masif, dan terstruktur.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tak pernah berhenti memerangi kejahatan korupsi ini. Berbagai instrumen peraturan pemerintah hingga undang-undang pun telah dikeluarkan demi memeranginya. Jejak pemberantasan korupsi jelas terlihat di negeri ini.
Selain memperkuat jajaran kepolisian dalam menangani tindak pidana korupsi, dikeluarkan juga Undang-Undang No. 30/2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai dasar dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2004, masyarakat juga mengenalnya sebagai komisi antirasuah.
Korupsi di Indonesia
Tercatat oleh KPK, jumlah penindakan kasus korupsi fluktuatif, dominan meningkat, dari tahun ke tahun. Per 30 September 2018, jumlah penyelidikan naik sebesar 3,25% dari 123 kasus di 2017 menjadi 127 kasus di 2018. Angka penyidikan juga naik 4,13% dari 121 kasus menjadi 126 kasus.
Untuk angka inkracht (berkekuatan hukum tetap) mengalami penurunan sangat signifikan hingga 10,71%. Di tahap penuntutan turun 1,94% dari 103 kasus menjadi 101 kasus. Selanjutnya, di tahap eksekusi juga turun sebesar 3,61% dari 83 kasus menjadi 80 kasus.
Kerugian negara akibat kejahatan korupsi yang tercatat oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) mencapai Rp 1,5 triliun di 2016 dari 482 kasus. Kerugian tersebut mengalami peningkatan menjadi Rp 6,5 triliun di 2017 dari 576 kasus. Kerugian yang teramat besar di kala negara masih berjuang keras mengentaskan kemiskinan rakyatnya. Tak ayal lagi kita masuk dalam kondisi "darurat korupsi".
Berdasarkan Corruption Perception Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan Transparency International, Indonesia berada pada angka 37 (0: paling korup, 100: paling bersih) dan berada di peringkat ke-96 dari 180 negara yang disurvei. IPK Indonesia dari 2016 ke 2017 sama, yaitu 37, tapi peringkatnya turun. Pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-90.
Sebenarnya, pertumbuhan IPK Indonesia paling tinggi dibanding negara lainnya meski belum ideal. Tahun 1998 IPK kita terendah di ASEAN yang hanya sebesar 20 naik 17 poin di 2017.
Perilaku anti korupsi masyarakat di 2018 cukup memprihatinkan dibanding 2017. Hal ini terlihat dari hasil Survei Perilaku Anti Korupsi yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS). Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia 2018 berada di angka 3,66 (0: sangat permisif, 5: sangat anti korupsi). Angka ini lebih rendah dibanding capaian tahun 2017 yang di angka 3,71.
IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu persepsi dan pengalaman. IPAK digunakan untuk mengukur perilaku masyarakat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) dan tidak mencakup korupsi skala besar (grand corruption).
Terjadi peningkatan persentase pelayanan publik yang dilakukan melalui perantara. Persentase masyarakat yang pernah berhubungan sendiri dengan petugas pelayanan publik dan mengetahui adanya informasi biaya resmi yang berlaku masih cukup rendah. Terjadi peningkatan persentase masyarakat yang menganggap pembayaran melebihi ketentuan sebagai hal lumrah. Bisa jadi hal tersebut menunjukkan peningkatan permisifitas dari diri masyarakat terhadap perilaku korupsi.
IPAK masyarakat perkotaan lebih tinggi (3,81) dibanding IPAK perdesaan (3,47). Artinya masyarakat perkotaan lebih anti korupsi dibanding masyarakat perdesaan. Begitu dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan, masyarakat semakin anti korupsi. IPAK masyarakat berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 3,53; SLTA sebesar 3,94; dan di atas SLTA sebesar 4,02.
Masih ada secercah harapan untuk pencegahan kejahatan korupsi. Kaum muda cenderung lebih tidak permisif terhadap perilaku korupsi dibanding kelompok umur tua. IPAK masyarakat berusia 40 tahun ke bawah sebesar 3,65; usia 40-59 tahun sebesar 3,70; dan usia 60 tahun atau lebih sebesar 3,56.
Terlihat betapa pentingnya pendidikan karakter anti korupsi bagi generasi muda sebagai salah satu tindakan preventif kejahatan korupsi, selain menutup kesempatan bagi oknum birokrat maupun usahawan melakukan kejahatan korupsi.
Tindakan represif juga diperlukan bagi para koruptor. Wacana tentang potong tangan bagi pelaku korupsi tengah hangat disoundingkan. Bahkan hukuman mati yang merupakan hukuman maksimal bagi koruptor (UU No.20/2001) juga sedang dipertimbangkan para penegak hukum. Dengan demikian tercermin suasana darurat untuk memerangi kejahatan luar biasa korupsi.
Menapaki awal tahun ini, diharapkan Indonesia makin terbebas dari jerat kejahatan korupsi. Hal itu bisa menjadi salah satu modal untuk melangkah pasti menuju salah satu negara dengan pendapatan tertinggi pada 2030 serta masuk lima negara dengan ekonomi terbesar pada 2045 di dunia.
Selamat Tahun Baru 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H