Remaja kurus kering itu bersiap berangkat ke sekolah. Terlihat jelas ia bukan pelajar teladan. Baju seragam tak rapi. Ujung kemeja putih yang seharusnya dimasukkan ke dalam celana biru, malah dikeluarkan. Sangat berantakan.
Badung. Itulah kesan kawan-kawan sekelasnya tentang si kerempeng. Dia sering bercanda dan tertawa sendiri, sampai dimarahi ketua kelas dan guru.
Dia adalah aku,
Pada hari itu, aku dibentak guru, dinilai buruk kalau tidak bisa mengisi dua kali dua, aku harus menghafal, mataku mau tak mau harus dijejali huruf-huruf. Katanya aku bodoh kalau tidak bisa menjawab pertanyaan guru yang diatur kurikulum.
Aku harus tahu siapa presidenku, aku harus tahu ibukota negaraku tanpa aku tahu apa maknanya bagiku. Tentu saja, bukan cuma aku yang punya perasaan seperti itu. Mungkin banyak anak sekolah, dari dulu sampai sekarang yang memendam pikiran serupa.
"Yang namanya Iklas Arobi itu bikin gaduh terus di kelas. Dia sepertinya enggak bisa ngomong pelan, tak jarang pas jam pelajaran dia teriak-teriak. Dia juga sering dimarahi guru-guru lainnya," kata Ayu Agung, salah satu mantan wali kelasku ketika berbicara dengan ibuku saat ibu mendapat panggilan dari pihak sekolah.
"Kami menilai ia sebagai sosok yang sederhana di rumah, maupun di sekolah. Ia senang memelihara poster Julia Perez dan Syahrini dikamarnya." Sambung salah satu teman sebangku-ku, sebut saja namanya Bulu.
Tembok sekolah tampaknya tak cocok dengan jiwa mudaku. Aku tak betah. Bagiku, dinding-dinding sekolah hanya mengungkung kebebasan diriku. Saat itu sejumlah peraturan aku labrak. Paling sederhana ya soal baju seragam.
Aku hanya menyukai pelajaran olahraga. Ketika dengan pelajaran lain, sel-sel otak-ku mendadak tewas secara masal. Aku tidak tahu, kenapa aku seperti itu.
"Iklas itu agak bandel, bicaranya ceplas-ceplos. Saking sering bercanda di kelas, dia dinilai nakal sama guru, tapi dia murid yang termasuk cerdas dan tidak suka bertengkar, apalagi tawuran. Ah, siapa bisa lupa, tentang masa sekolah 7 tahun silam bersamanya." Ujar seorang teman perempuanku, saat berbicara kepada ibuku. Sebut saja teman perempuanku namanya Kuping. Aneh kan perempuan namanya Kuping.
Tapi..
Meski demikian, aku tak pernah sampai kurang ajar, tak pernah berkata kasar kepada guru. Aku selalu menghargai dan menghormati guru-guruku. Aku selalu menyelesaikan tugas-tugas PR-ku dengan rapih.
Sekarang aku mau ucapin terima kasih untuk para guru-guruku yang selalu sabar dan tulus membimbingku, sehingga kini aku jadi mengerti hasil dari dua kali dua yaitu dua dua, kalo tidak salah.
Itu sedikit cerita tentang masa sekolahku 7 tahun silam.
Semoga guru, dan teman-teman selalu diberi kesehatan. Amin Ya Rabbal 'Alamin!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H