Akhir-akhir ini dunia perbangan Indonesia sedang menghadapi berbagai macam guncangan, seperti mahalnya harga tiket pesawat dan rencana beroprasinya maskapai asing di Indonesia. Bisa dikatakan, kedua guncangan tersebut dapat memberikan dampak dan warna tersendiri bagi perkembangan dunia penerbangan Indonesia.
Banyaknya warna yang menghiasai dunia penerbangan, rasanya sangat menarik untuk mengulik lebih dalam tentang hal tersebut. Tak hanya penerbangan komersial yang menarik untuk ditelusuri, pembahasan tentang penerbangan militer, khususnya militer Indonesia juga tak kalah menarik.
Dilansir dari Harian Kompas, edisi 27 Agustus 2017, Republik Indonesia pada Oktober 1945 berhasil menguasai Pangkalan Udara Maguwo (saat ini Bandara Undara International Adisutjipto) dan menguasai 50 pesawat latih Chukan Ressuki atau Churen dengan pelafalan Indonesia disebut Cureng. Tak hanya mendapatkan Cureng, dalam misi menguasai Pangkalan Udara Maguwo, para pejuang juga mendapatkan berbagai jenis pesawat lainnya seperti Hayabusha, Nihikoren, Cukiu, dan lainnya.
Cureng bisa dikatakan merupakan pesawat militer pertama RI. Menariknya, Cureng ketika itu merupakan pesawat latih yang digunakan Angkatan Laut Jepang ketika masih meduduki Indonesia. Meskipun sukses merebut bandara tersebut dari tangan Jepang, pascaperebutan, ternyata para pejuang memiliki "perkerjaan rumah" yang cukup besar, yaitu kurangnya sumber daya manusia untuk memanfaatkan pesawat-pesawat tersebut.
Menyikapi permasalahan tersebut, Suryadi Suryadarma yang merupakan mantan navigator di pesawat pengebom B-10 Glen Martin UI Hindia Belanda semasa Perang Dunia ke II, diberi tugas oleh pemerintah untuk membentuk angkatan udara atau yang biasa disebut dengan AURI.
Untuk memecahkan permasalahan tersebut tidaklah mudah. Suryadi harus memanggil Putra Terbaik Indonesia yaitu Ignatius Adisutjipto dan Sambudjo. Kedua orang tersebut merupakan penerbang militer kelas II pada zaman penjajahan Belanda. Akan tetapi ketika masa itu beredar infomasi, Sambudjo telah meninggal di Australia.
Meskipun satu dari dua orang tersebut telah meninggal, rasanya "Dewi Fortuna" masih berpihak kepada Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan Adisutjipto berhasil ditemui di Magelang.
Tak hanya ditemui, Adisutjipto juga memberikan respon positif dengan turut serta dalam memecahkan permasalahan tersebut. Dirinya memutuskan untuk bergabung di lembaga yang dipimpin oleh Suryadi Suryadarma.
Setelah bergabung, Adisutjipto diberi pangkat Komodor Muda Udara (setara Kolonel). Tak hanya pangkat yang diberikan, dirinya juga diberikan kewajiban untuk mendidik secepatnya penerbang-penerbang angkatan udara yang waktu itu masih berstatus TKR (Tentara Keamanan Rakyat).
Bermodalkan sejumlah pesawat sitaan, seperti Cureng dan pesawat lainnya yang berhasil diperbaikin, pada 15 November 1945, Adisutjipto mendirikan Sekolah Penerbangan Angkatan Udara pertama di Indonesia.
Menariknya, proses perbaikan pesawat tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi AURI. Menurut catatan sejarah, perbaikan pesawat tersebut mengalami kendala karena tidak adanya buku manual terbang yang menjadi panduan bagi para penerbang AURI.