Mohon tunggu...
Duta Aulia
Duta Aulia Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja.

Mata dua mulut satu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peran Masyarakat Keturunan Cina/Tionghoa dalam Pelestarian Kesenian Jawa di Indonesia

20 November 2018   12:06 Diperbarui: 20 November 2018   15:36 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir seluruh masyarakat Indonesia mengetahui kesenian wayang. Kesenian wayang identik dengan kesenian masyarakat Jawa. Tidak hanya itu, kesenian wayang pun terbagi ke beberapa macam, seperti wayang kulit, wayang golek, wayang orang, dan lainnya. Siapa sangka pelestarian kesenian wayang khususnya wayang orang terdapat peran masyarakat keturunan cina/tionghoa. Berikut ini adalah penjelasan mengenai peran masyarakat Cina/Tionghoa dalam kesenian wayang orang.

Wayang orang adalah sebuah kesenian yang digolongkan ke dalam bentuk drama tari tradisional. Perkembangan wayang orang tidak lepas dari fragmentasi politik kerajaan Mataram dan adanya Perjanjian Giyanti. Perjanjian tersebut berisi kerajaan Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada 1755. 

Kemudian Kasunanan dibagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran berdasarkan Perjanjian Salatiga 1757. Untuk menunjukkan suatu atribut kebesaran pemerintahan, hampir bersamaan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Mangkunegaran menciptakan kesenian wayang orang. 

Hal itu terjadi karena adanya persaingan pribadi dan politik antara Kasultanan Yogyakarta dengan Kadipaten Mangkunegaran selama perjuangan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Namun, wayang orang yang dikembangkan di Yogyakarta dan Mangkunegaran memiliki perbedaan. Wayang orang Yogyakarta berfungsi sebagai ritual kenegaraan dan wayang orang Mangkunegaran yang sudah ada sejak Mangkunegaran I hanya berfungsi sebagai hiburan.

Pada masa awal perkembangan, meskipun wayang orang sudah ada pada masa pemerintahan Mangkunegara I, tetapi masih belum menunjukkan fenomena yang jelas. Dalam bidang kesenian Mangkunegara I selalu memperhatikan dan melakukan kegiatan kesenian sekalipun dalam keadaan peperangan. 

Begitu pula dengan Mangkunegara II yang juga memberikan perhatian dalam bidang kesenian. Namun, masa Mangkunegara IV (1853-1881) merupakan periode pertumbuhan ekonomi dan kekayaan di Mangkunegaran. Hal ini terbukti dengan didirikan banyak perkebunan kopi dan gula. Hal tersebut berdampak pada perkembangan seni sastra maupun seni tari yang mengalami tingkat kemajuan yang pesat. Selain itu, Mangkunegara IV dapat dikatakan sebagai negarawan, ekonom, filosof, dan seniman besar karena banyak karyanya yang memiliki keindahan tersendiri. 

Ketertarikan Mangkungara IV dalam bidang kesenian tidak terlepas dari perkenalannya dengan C.F. Winter yang merupakan seorang penerjemah perjanjian penting antara pemerintah Hindia Belanda dengan pemerintah tradisional Jawa dan Raden Ngabehi Ranggawarsita seorang pujangga keraton Surakarta. 

Keakrabannya menjadikan Mangkunegara IV sering mengunjungi C.F Winter Sr. dan Raden Ngabehi Ranggawarsita untuk membicarakan tentang kesusastraan Jawa. Selain dalam bidang kesusastraan Jawa, Mangkunegara IV juga memberikan perhatiannya kepada kesenian wayang orang. Hal ini terbukti dengan diadakannya latihan tari secara rutin untuk meningkatkan kualitas para pemain pendukung pertunjukan wayang orang pada setiap hari Rabu pukul 16.30 sampai selesai.

Pada masa Mangkunegara V (1881-1896) wayang orang di Mangkunegaran mencapai puncak perkembangannya karena didukung ekonomi begitu pesat. Tidak mengherankan apabila wayang orang dan seni tari pada masa pemerintahannya mengalami perkembangan yang pesat. Hal tersebut ditandai dengan adanya standardisasi tata busana wayang orang. Masa kejayaan wayang orang gaya Surakarta tidak terbatas pada bentuk baku tata busana, tetapi juga pada penciptaan naskah lakon dan pertunjukannya. 

Namun, kemajuan perkembangan seni di Istana Mangkunegaran tidak bertahan lama. Hal itu terjadi karena adanya kemunduran dalam bidang ekonomi yang terjadi pada pertengahan hingga akhir kepemimpinan Mangkunegara V. Bahkan, pada masa pemerintahan Mangkunegara VI (1896-1916), ia berusaha untuk memulihkan perekonomian Mangkunegaran dengan mengurangi atau bahkan meniadakan pergelaran seni pertunjukan yang memerlukan pembiayaan besar.

Pemasalahan yang terjadi pada pertengahan sampai akhir pemerintahan Mangkunegara V menarik minat salah seorang pengusaha batik dan keturunan Tionghoa yang bernama Gan Kam. Ia mencoba merayu Mangkunegara V untuk mengizinkannya membawa kesenian wayang orang yang semulanya hanya dipentaskan di dalam istana agar dipentaskan di luar istana. 

Hubungan Gan Kam dengan Mangkunegaran sudah terjadi ketika pemerintahan Mangkunegara III, karena leluhur Gan Kam dianggap berjasa oleh Mangkunegara III semasa Java Oorlog (Perang Jawa). Mangkunegara III mengangkat seorang (leluhur Gan Kam) sebagai Temenggung dan seorang lagi dianugrahi tanah di daerah Pajang. 

Tanah di Pajang itu menjadi kompleks makam Islam keluarga Gan. Pada 1895, akhir masa pemerintahan Mangkunegara V, Gan Kam berhasil membawa kesenian wayang orang keluar istana untuk dikomersilkan. Meskipun berhasil mengeluarkan wayang orang dari istana, kesenian wayang orang yang ada di istana tetap berjalan tetapi tidak sering dipentaskan, hanya dalam acara-acara tertentu.

Gan Kam mengubah penampilan dan pementasan wayang orang istana yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat urban, karena masyarakat urban tidak suka yang bertele-tele, terlalu terikat oleh berbagai peraturan istana, dan bisa dinikmati kapan saja dengan membeli tiket. Kemudian wayang orang gaya baru dikemas secara khusus dengan durasi pertunjukan yang cukup dua sampai tiga jam saja. 

Dapat dikatakan wayang orang yang dibawa ke luar istana merupakan wayang orang gaya baru. Keluarnya wayang orang dari Istana mendapat respon positif karena banyak penduduk yang ingin menyaksikan dan antusias dengan kesenian wayang orang gaya baru. 

Ketika membuka usaha untuk mekomersialkan kesenian wayang orang Gan Kam menggunakan kekayaannya untuk mengadakan sarana, prasarana, dan untuk menjalankan usahanya. Ia juga mencari penari yang sebagaian besar direkrut dari mantan abdi dalem penari wayang orang Mangkunegaran.

Pertunjukan Wayang Orang Panggung (WOP) kemasan Gan Kam diselenggarakan di bangunan besar yang mampu menampung sekitar 200 penonton. Bangunan itu diperkirakan bekas tempat pembatikan milik Gan Kam yang terletak di sebelah selatan Pasar Singasaren Surakarta. Pementasan dilakukan di atas panggung yang diberi layar, oleh karena itu disebut wayang orang panggung. 

Dalam pementasan wayang orang gaya baru panggung dan tempat penonton berbentuk proscenium, layar depan dilukis dengan gaya alami untuk menggambarkan istana, hutan, candi, jalan, alun-alun, dan lain-lain. Penonton duduk menghadap secara frontal ke arah panggung berlayar. Tempat duduk penonton terpisah dengan panggung yaitu dipisahkan oleh panggung itu sendiri atau seperangkat gamelan yang biasanya ditata pada tempat di antara panggung dan penonton. 

Bentuk panggung proscenium yang digunakan Gan Kam untuk mementaskan wayang orang tersebut tidak berbeda dengan panggung proscenium Barat. Gaya seni pertunjukan wayang orang yang meniru bentuk seni pertunjukan Barat terinspirasi dari rombongan-rombongan sandiwara Bangsawan atau Komedi Stamboel yang mengadakan pertunjukan keliling Jawa.

Keberhasilan Gan Kam membuat wayang orang gaya baru membawa dampak positif bagi perkembangan kesenian wayang orang. Banyak pemilik modal membuat grup-grup wayang orang seperti milik Gan Kam. Sebagai contoh adalah Wayang Orang (WO) Sedya Wandawa yang didirikan oleh Lie Sin Kwan atau Bah Bagus yang melakukan pementasan di kota-kota sekitar Surakarta, seperti Kartasura, Boyolali, Klaten, Sragen, dan kota-kota kecil lainnya. 

Anak Bah Bagus, Lie Wat Djien atau W.D. Lie bersama Mangkunegara VII mengadakan pergelaran wayang orang di Sono Harsono yang kemudian dikenal dengan WO Sono Harsono. Kemudian adik Bah Bagus Lie Wat Gien mendirikan WO Saritama, Yap Kam Lok mendirikan WO Srikaton, dan seorang Belanda bernama Reunecker juga mendirikan WO Reunecker yang melakukan pementasan di Surakarta. 

Tidak hanya itu, awal 1900 WO Sriwedari berdiri di Taman Hiburan Sriwedari Surakarta. Awalnya WO Sriwedari berdiri karena ada perintah dari Keraton Surakarta. Namun, pada 1 Juni 1946 hak-hak istimewa para raja Surakarta di luar tembok istana secara resmi dihapuskan oleh permerintah yang berdampak pada WO Sriwedari sudah tidak di bawah kuasa Keraton Surakarta. 

Selanjutnya adalah WO Ngesti Pandowo yang didirikan di Madiun pada 1 Juli 1937 oleh Sastro Sabdo. Ketika di Madiun WO Ngesti Pandowo melakukan pementasan dengan cara berkeliling. Namun, pada 1954 WO Ngesti Pandowo pindah dan mentap di Semarang dengan menggelar pertunjukan di Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Tidak hanya WO Ngesti Pandowo, pada 1939 Tong Sing mendirikan WO Sri Budaya di Kediri pada 1939. 

Awalnya WO Sri Budaya melakukan pementasan dengan cara berkeliling di daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Namun pada akhirnya WO Sri Budaya menetap di Surakarta pada 1941. Pendirian grup wayang orang komersial masih bisa di lihat ketika masa setelah kemerdekaan dengan berdirinya WO Pantja Murti pada 1963 dan WO Bharata 1972 di Jakarta.  

Sangat disayangkan, di masa sekarang, kelompok kesenian wayang orang hanya tersisa 3, yaitu WO Sriwedari Surakarta, WO Ngesti Pandawa Semarang, dan WO Bharata Jakarta. Hal tersebut terjadi, karena dimasa sekarang kesenian tradisional terus tergerus oleh kesenian modern. Fenomena yang berkembang adalah sebagai besar masyarakat lebih senang menikmati dan mempelajari kesenian modern. Fenomena tersebut jika tersebut berkembang dan tidak terkendali, pastinya akan membawa dampak negatif bagi kesenian tradisional.

Sumber:

  • Soedarsono, Wayang Wong: Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta, 1997.
  • M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 2008.
  • Herisapandi, Wayang Orang Sriwedari dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial, 1999.
  • Dhanang Respati Puguh, Mengagungkan Kembali Seni Pertunjukan Tradisi Kraton: Politik Kebudayaan Jawa Surakata, 1950an-1990an, Disertasi FIB UGM, 2015.
  • Dhanang Respati Puguh, Pemikiran K.G.P.A.A Mangkunegara IV tentang Ketataprajaan (1856-1871), Tesis FIB UGM, 2000.
  • Iwan, Legiun Mangkunegaran 1808-1943, 2011.
  • Rustopo, Menjadi Jawa Orang-Orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa, 2007.
  • Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Persepektif Politik, Sosial, dan Ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun