Mohon tunggu...
Duta Aksara S. Oesman
Duta Aksara S. Oesman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Nasional dengan mengambil program studi hubungan internasional. Ia memiliki hobi membaca, menulis, dan bermain rubik 3x3.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keuntungan Belt and Road Initiative Tiongkok terhadap Indonesia Menurut Sudut Pandang Teori Hubungan Internasional

30 November 2023   13:44 Diperbarui: 30 November 2023   13:44 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: multimedia.scmp.com

Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok adalah seruan untuk model kerja sama dan pembangunan ekonomi, politik, dan budaya internasional yang berkelanjutan dan inklusif dibawah prinsip-prinsip panduan hidup berdampingan secara damai di antara negara-negara berdaulat, yang dicapai melalui berbagai jenis peningkatan konektivitas dan didanai oleh berbagai lembaga keuangan multilateral baru (Dunford and Liu 2018, 1-21).

BRI diusulkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping tidak lama setelah ia mulai menjabat pada bulan November 2012. "Belt" mengacu pada "Silk Road Economic Belt", yang diusulkan pada bulan September 2013 dalam kunjungan ke Astana, Kazakhstan, sedangkan "Road" mengacu pada "Maritime Silk Road" abad ke-21, yang diusulkan pada bulan Oktober 2013 dalam kunjungan kenegaraan ke Indonesia dan menghadiri pertemuan para pemimpin Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) (Dunford and Liu 2018, 1-21). 

Pada bulan Desember tahun itu, Konferensi Kerja Ekonomi Pusat Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengonseptualisasikan BRI sebagai sebuah platform untuk mendorong pemikiran baru mengenai pembangunan terbuka dan investasi keluar Tiongkok (Liu and Dunford 2016, 323-340). Kombinasi "Silk Road Economic Belt" dan "Maritime Silk Road" yang pada awalnya dikenal dalam bahasa Inggris sebagai inisiatif "One Belt One Road" (terjemahan langsung dari nama bahasa Mandarin "yidaiyilu"), sekarang secara resmi dikenal sebagai Belt and Road Initiative (BRI) (Johnston 2019, 40-58).

BRI secara luas menekankan kerja sama di lima bidang: (a) mengkoordinasikan kebijakan pembangunan; (b) membangun jaringan infrastruktur dan fasilitas; (c) memperkuat hubungan investasi dan perdagangan; (d) meningkatkan kerja sama keuangan; dan (e) memperdalam pertukaran sosial dan budaya. Namun, dalam ruang lingkup ambisi, mungkin tidak terlalu terbatas seperti yang ditunjukkan oleh daftar tersebut, dengan Xi menyebutnya sebagai "Proyek Abad Ini" pada pertengahan tahun 2017 (China Daily 2017).

Dapat dimengerti bahwa Tiongkok berniat untuk menggunakan BRI untuk memperbaiki situasi ekonomi, politik, dan keamanannya. BRI dipuji sebagai anugerah ekonomi potensial bagi negara-negara mitra dan disorot sebagai sarana Tiongkok untuk bangkit secara damai. Tiongkok telah menawarkan pinjaman di lingkungan di mana pemberi pinjaman lain enggan untuk terlibat. Meskipun hal ini menempatkan beberapa negara anggota BRI dalam posisi tawar yang lemah, BRI menawarkan investasi infrastruktur yang mungkin tidak tersedia. Keberhasilan jangka panjang BRI akan bergantung pada kemampuan untuk mencapai keseimbangan yang adil antara kepentingan Tiongkok dan kepentingan negara-negara mitra. Kemampuan negara-negara untuk mencapai keseimbangan tersebut bergantung pada kesehatan politik dan ekonomi mereka, serta kemampuan mereka untuk melakukan lindung nilai terhadap ketergantungan yang berlebihan terhadap Tiongkok.

Peran Indonesia sangat penting dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), terutama di segmen Jalur Sutra Maritim Abad 21 yang diperkenalkan oleh Presiden Xi Jinping di Indonesia. BRI dianggap sebagai upaya Tiongkok untuk menghidupkan kembali Jalur Sutra kuno sebagai jalur perdagangan utama dengan negara-negara tetangganya, dan lokasi Indonesia yang strategis membuatnya menjadi bagian penting dari konektivitas maritim ini.

Dari sudut pandang Indonesia, BRI memberikan peluang yang signifikan untuk meningkatkan infrastruktur dan konektivitas, sehingga memperkuat posisinya di pasar global. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di persimpangan Samudra Pasifik dan Hindia, Indonesia harus memanfaatkan lokasinya yang strategis untuk keuntungannya sendiri dan negara.

Presiden Joko Widodo menghadiri KTT BRI perdana di Beijing pada bulan Mei 2017. Tujuan mendasar dari BRI adalah untuk mempromosikan integrasi sub-regional, regional, dan antar-regional yang lebih dalam dengan meningkatkan infrastruktur logistik dan transportasi negara-negara yang berpartisipasi, seperti pelabuhan, rel kereta api, dan jalan raya, yang sangat penting untuk memfasilitasi perdagangan di antara negara-negara tersebut. Selain itu, upaya ini konsisten dengan tujuan Indonesia untuk menjadi negara yang lebih maritim, yang diuraikan dalam kebijakan Poros Maritim Global Presiden Joko Widodo (ASEAN Maritime Security The Global Maritime Fulcrum in the Indo-Pacific - IPSH, n.d.). Kawasan Indo-Pasifik berfungsi sebagai poros maritim dunia.

Pemerintah Indonesia juga ingin memastikan bahwa investasi asing membawa pengetahuan dan teknologi dan bukan hanya dolar karena mereka menyadari bahwa pengetahuan dan teknologi adalah kunci masa depan bangsa. Pemerintah berharap bahwa bisnis-bisnis Tiongkok akan lebih bersemangat untuk berbagi pengetahuan dan inovasi mereka dengan bisnis-bisnis domestik dibandingkan dengan bisnis-bisnis dari negara-negara asing. Ada beberapa proyek infrastruktur Tiongkok yang sukses di Indonesia, misalnya, Jembatan Suramadu yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura yang selesai sesuai jadwal (Dil 2023, 39-50).

bri-map-65682dfd12d50f22954e94f2.jpg
bri-map-65682dfd12d50f22954e94f2.jpg
Menurut sudut pandang teori studi Hubungan Internasional, khususnya teori liberalisme-interdependensi, Belt and Road Initiative merupakan cara Tiongkok untuk mempertahankan sistem perdagangan yang saling ketergantungan antara negara-negara mitranya. Hal tersebut sejalan dengan asumsi dasar dari teori ini yaitu sistem perdagangan saling ketergantungan tidak tersusun dari negara-negara berdasarkan hegemoni dan wilayahnya, melainkan negara-negara yang berbeda menurut fungsinya. Negara-negara tersebut masing-masing berusaha untuk memperbaiki posisinya, namun karena menghasilkan bahan dan jasa sesuai dengan spesialisasi komoditas unggulan yang berbeda-beda, baik di bidang pertahanan maupun di bidang ekonomi, maka negara-negara itu menjadi saling tergantung satu sama lainnya. Walaupun memang beberapa negara mungkin lebih kuat daripada negara lain, namun fungsi-fungsi atau spesialisasi komoditas-komoditas unggulan merekalah yang memberikan mereka status yang sama antara satu sama lain (Rosecrance 1986, 29). Jadi bisa diasumsikan bahwa Tiongkok memang negara yang lebih kuat daripada negara-negara mitra BRI-nya, salah satunya seperti Indonesia, namun jika Tiongkok ingin menyukseskan BRI-nya maka dia juga harus bergantung pada negara-negara mitranya serta saling memberikan keuntungan dan sama-sama saling memenuhi kepentingan nasional karena proyek BRI melewati wilayah-wilayah negara mitranya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun