Mohon tunggu...
yudhie yarcho
yudhie yarcho Mohon Tunggu... -

A Daydreamer

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Catatan Perjalanan

2 Desember 2010   06:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:06 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[digereja]

Mobil-mobil mewah berjajar rapi di halaman gereja, satu-satunya tempat ibadah yang kutemui disini. Misa sore ini penuh sesak dengan para jemaat. Ayah-ibu beserta anak-anaknya, kekasih-kekasih dan orang-orang lainnya. Aku duduk di barisan kursi paling belakang. Ujung sebelah kiri.

Khutbah dimulai, aku mulai mengantuk dan tertidur. Seperti ketika aku mengikuti acara-acara sejenis di masjid, pura atau vihara. Ritual yang sama, nama yang berbeda.

Aku tidak mendengar apa-apa, aku tidak tahu apa-apa. Terakhir yang sempat kuingat sebelum aku terlelap, hanya kata-kata si pengkhutbah, yaitu "dia datang membawa kabar keselamatan". Lalu aku berpikir, "dia siapa?".

[ditengahkota]

Berjalan di jam-jam sibuk, antara jam tujuh dan delapan. Pengunjung tampak ramai memadati pusat perbelanjaan, café, resto, juga taman. Masuk ke café, aku merasa seperti dilemparkan kembali ke masa-masa lampau. Waktu yang membeku. Memori yang bisu.

Keriput dilangit-langit café ini menyiratkan begitu lama kau dan aku menapaki perjalanan ini. Begitu juga dengan rekahan yang tampak di dindingnya. Akankah mengisyaratkan akhir dari cerita ini?

Aku berlama-lama tenggelam dalam keharuman kopi, sambil terus berusaha mengulang kembali memori tentangmu. Tapi, tak pernah bisa. Ada tabir yang menyelimuti. Seperti potret muram dalam pigura berdebu, di sudut café ini.

Dini hari, belum subuh. Udara masih menyisakan malam. Di jalan, tampak genangan air di beberapa tempat, bekas hujan. Jalan masih sepi, toko-toko masih belum bangun berdiri, dan suami-suami masih sembunyi di pangkal paha istri-istri mereka atau kekasih yang lain.

Kota ini masih sama seperti beberapa waktu yang lalu. Bangunan-bangunan kuno berarsitektur eropa peninggalan belanda, masih tegak berdiri. Hanya fungsinya saja yang berubah. Bangunan-bangunan itu dulu digunakan sebagai kantor negara, tapi sekarang sudah banyak yang berubah menjadi hotel dan swalayan.

Air mancur di taman kota tampak berkilau keemasan, tertimpa sinar bulan. Dulu, aku pernah berpelukan dan berciuman dengan kekasihku di taman ini. Entah, dimana berada ia sekarang.

Dibawah lampu di depan bangunan bekas kantor pos yang sekarang sudah menjadi swalayan, sepasang gelandangan tertidur beralas berita-berita di koran, sambil berpelukan. Berselimutkan embun dan cahaya bulan. Ah, alangkah bahagianya mereka, yang tak terbebani dengan segala macam tafsir dan pengertian. Tentang norma dan etika. Tentang apa saja.

Diseberang jalan, tepat di depan bangunan bekas kantor pos itu, berdiri tegak gedung setinggi 15 lantai dengan dinding berwarna kuning yang tampak mencolok dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang lain. I'Hotel, namanya. Dimana pada tanggal 12 Agustus, 19 tahun lalu, Jean-Michel Basquiat ditemukan tewas setelah mengkonsumsi heroin hingga overdosis.

Sebuah mobil lewat. Pelan-pelan. Seperti kenangan yang akan segera menghilang. Perlahan-lahan.

[distasiun]

"Semir bang?"

"Tidak usah. Duduk saja disini, kita ngobrol".

Kami duduk di bangku depan stasiun, sementara orang-orang yang hendak bepergian sibuk berlalu lalang. Antrean masih panjang di depan loket. Dan calocalo yang menawarkan tiket dengan harga dua kali lipat lebih mahal.

"Kamu tidak sekolah, kenapa?"

"Untuk apa sekolah? Hanya akan menyusahkan ibu dan ayah. Saya ingin membantu ibu dan ayah".

Ah, anak sekecil ini harus membanting tulang mencari uang. Bagaimana dengan "fakir miskin dan anak-anak yang terlantar yang seharusnya dipelihara oleh negara?", pikirku.

Aku ingat sahabatku. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang sukses. Oleh kedua orangtuanya, ia diharapkan untuk menjadi orang yang sukses pula. Karena merasa tertekan, ia memasrahkan hidupnya dengan menggantung lehernya, dan secarik kertas berisi pesan kepada orangtuanya, "Pa, Ma, Aku tidak bisa memenuhi keinginan Papa dan Mama. Lebih baik aku mati atau bunuh diri".

Sahabatku bunuh diri. Dan ia masih kelas tiga sekolah dasar. Waktu itu.

Bocah penyemir sepatu tadi sudah sibuk menyemir sepatu seorang bapak di bangku sebelah. Dengan wajah berseri menanti keping rupiah pertamanya, ini hari.

Kugendong ranselku, beranjak untuk segera melanjutkan perjalanan. Kereta akan segera berangkat.

[dikereta]

Aku melihat wajah-wajah asing. Tak ada yang kukenal, tak ada yang mengenalku. Mereka sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Ada yang mengobrol dengan teman sebangkunya, ada yang membaca koran atau majalah, ada yang tertidur, atau bahkan tak melakukan apa-apa. Aku, meski aku yakin bahwa kita tak sendiri, tapi aku tetap merasa tak mempunyai teman seperjalanan.

Kereta melaju, kencang. Serasa melepas semua hasrat dan keinginan. Wajahwajah terdiam. Membeku dan pasi. Mencoba untuk menikmati perjalanan ini. Segala kasta dan rahasia menumpuk disini. Entah, akan kemana kereta ini membawa. Tak ada yang peduli. Semua masih terdiam, berkeringat, pengap.

Kereta masih melaju. Tak peduli awan mendung menggantung, diujung perjalanan.

[tujuanakhir]

Kemana kita akan pergi? Ke rumah kosong tak berisi. Kemana kita akan menuju? Yang tersisa hanya tubuh lebam biru.

Matahari meninggi, berangkat pergi. Tapi, gelisah ini masih tetap tertinggal disini. Abadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun