Mohon tunggu...
Durrotun Fatihah
Durrotun Fatihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia Beserta Ruang Lingkup Perkawinan

30 Maret 2023   02:47 Diperbarui: 30 Maret 2023   02:50 1482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum Perdata Islam Indonesia adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang pribadi atau badan hukum menurut agama Islam dan berlaku bagi pemeluk agama Islam di Indonesia. Hubungan tersebut meliputi perkawinan, talak, wasiat, waris, infaq, sadaqah, zakat, hibah, kerjasama, akad, jual beli, sewa, ekonomi syariah, dan lain-lain yang mengacu pada hubungan antara dua pihak atau lebih. Apabila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan dalam hubungan tersebut, tempatnya adalah Pengadilan Agama. Kenapa harus di pengadilan agama? Karena itu adalah hukum perdata Islam dan pengadilan yang khusus menangani masalah hak-hak Islam atau sipil adalah pengadilan agama. Sebagaimana dalam Undang-Undang Peradilan Agama No. Pasal 3, Pasal 2 Tahun 2006 mengatur bahwa Peradilan Agama menjadi salah satu wilayah hukum pengadu Muslim dalam kasus-kasus tertentu yang ditentukan dalam Undang-Undang. Dan dalam Pasal 49 yang mengatur tentang tugas dan wewenang peradilan agama disebutkan bahwa peradilan agama mempunyai tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara antar umat Islam tingkat pertama dalam bidang-bidang sebagai berikut:
   pernikahan; B.Warisan; C. akan; D mendukung; E. wakaf; F.zakat; G. infeksi; h) amal; dan saya seorang ekonom syariah. Namun demikian, tidak berarti bahwa perkara perdata yang disebutkan dalam KUH Perdata Indonesia hanya terbatas pada 9 bidang tersebut, melainkan sebagaimana tersebut di atas.
   Prinsip perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 KHI
   Asas atau asas perkawinan adalah yang membentuk atau menjadi dasar perkawinan. Pokok atau asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:
 
   1. Agama menentukan sah tidaknya perkawinan
   2. Tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan langgeng
   3. Dasar monogami
   4. Persyaratan usia untuk menikah (pelamar harus matang jasmani dan rohani)
   5. Perceraian yang sulit
   Hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan seimbang. Maka asas atau dasar perkawinan menurut hukum islam adalah :
 
   1. Prinsip mitzaqa ghaliza (tugas suci).
   2. Prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang tanpa batas). 3. Prinsip Mu'asyarah bil ma'ruf (perilaku yang santun dan beradab). 4. Prinsip pertimbangan (komunikasi yang hangat dan intensif)
   Karena ada dogma atau asas perkawinan yang sejalan dengan UU Perkawinan dan PKI, maka diasumsikan calon pasangan mengerti dan tahu bagaimana menerapkan asas tersebut.
   Lalu seberapa penting pencatatan nikah? Pencatatan pernikahan sangat penting. Juga di Indonesia adalah tentang negara hukum, dimana segala sesuatu harus berdasarkan informasi untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum. Agar suatu perjanjian perkawinan dapat diakui secara resmi dan efektif, maka perkawinan itu harus dicatatkan. Kemudian agar keturunannya memiliki hak-hak yang seharusnya mereka miliki, seperti hak asuh, tunjangan dan warisan. Juga dengan mencatatkan perkawinan ini, semua pasangan mendapatkan perlindungan dan jaminan hukum, karena dalam perkawinan yang dicatatkan terdapat masalah yang melindungi dan menjamin hukum bagi para pihak. Dalam Islam pencatatan perkawinan tidak penting dan tidak diwajibkan karena dalam Islam perkawinan lebih merupakan perkawinan. Jadi tidak ada pengaruhnya dalam Islam jika perkawinan itu tidak dicatatkan. Akan tetapi, Islam ingin agar umatnya mengikuti aturan-aturan yang berlaku sehingga nyaman dan terjamin kehidupan berbangsanya. Secara filosofis, menurut hukum Islam, perkawinan dilandasi oleh Pancas, terutama sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan filosofis perkawinan adalah untuk menciptakan ketertiban dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak dan bagi orang lain. Secara filosofis menurut para ahli analisis hukum, tujuan perkawinan adalah untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada pasangan (suami) berupa rasa aman, kekuasaan dan perlindungan hukum. Dengan demikian perkawinan yang tidak sempurna mempunyai akibat hukum yaitu tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak memperoleh hak-hak keperdataan yang dijamin dengan perkawinan. Secara sosiologis perkawinan dapat dilihat dari dua segi, yaitu pengakuan masyarakat dan pemerintah. Pertama, pengakuan terhadap masyarakat menjadi penting karena manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari interaksi satu sama lain. Selain itu, ejekan dan pengakuan harus dihindari dengan cara apa pun. Dengan mendaftarkan perkawinan sipil, masyarakat mengakui hal ini dan terhindar dari ejekan yang tidak diinginkan. Kemudian ada pengakuan nasional lainnya, dimana pengakuan ini menjamin kepastian hukum dalam sengketa perkawinan. Pernyataan Ulama dan KHI tentang Perkawinan Wanita Hamil
   Menurut mazhab Hanafiyah pendapatnya adalah sebagai berikut;
   1. Status perkawinan yang sah. Dan dengan pria yang menghamilinya, dan dengan pria yang tidak. 2. Perkawinan adalah sah selama menikah dengan laki-laki hamil, dan dia tidak dapat dinikahi kecuali dia menikah dengan teman. 3. Anda boleh menikah dengan orang lain sampai Anda melahirkan
   4. Pernikahan diperbolehkan selama itu habis dan suci dan seseorang tidak dapat menikah kecuali ketika periode Istibr berakhir. Kemudian ada pendapat Malikiyah bahwa perkawinannya tidak sah kecuali dengan laki-laki yang menghamilinya dan yang harus memenuhi syarat dia harus bertaubat terlebih dahulu. Dan pendapat Imam Syaf lebih kalem, tapi bukan berarti zina itu halal. Imam Syafi'i mengatakan jika seseorang mencuri buah dari pohon jika haram kemudian membeli buah tersebut, apakah buah tersebut tetap Haram atau Halal? Itu sah. Juga wanita yang hamil di luar nikah dan sebelumnya tidak menikah dan kemudian menikah dengan benar menjadi halal. Agar tidak terjadi kesalahpahaman, apakah dia bebas dari dosa zina ataukah dia bebas dari murka Allah? TIDAK. Menurut mazhab ini, wanita yang berzina tidak memiliki idda dan jika dia menikah, itu tetap sah. Dan perzinahan tetaplah perzinahan. Menurut hukum Islam, seorang wanita yang hamil di luar nikah dapat menikah dengan pria yang melahirkannya tanpa harus menunggu anak itu lahir di dalam rahimnya.
   Bagaimana cara menghindari perceraian? Cara mengatasinya adalah :
 
   1. Saling berkomitmen dalam suatu hubungan
   Perceraian bukanlah suatu pilihan, itu adalah keputusan akhir bahwa kalian berdua menemui jalan buntu. Berkomitmen untuk bersama dan fokus untuk memperkuat hubungan Anda dengan pasangan. 2. saling memberi ruang,
   Intinya adalah Anda berdua setuju untuk memberi setiap ruang waktu. Dengan begitu Anda berdua ingin menghabiskan waktu berkualitas bersama dan saling memberi ruang untuk ruang Anda. 3. Hindari kekerasan,
   Kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu alasan perceraian. Karena itu Anda harus menghindari kekerasan terhadap pasangan Anda. 4. Hindari keegoisan. Jangan selalu memikirkan kepentingan sendiri dan mengabaikan kepentingan pasangan. Selalu berusaha memahami dan memperhatikan kebutuhan pasangan untuk menjaga keharmonisan rumah. 5. Memperbaiki kesalahan dengan jujur dan tulus
   Jika ada konflik atau kesalahpahaman dengan pasangan, kesalahan harus diperbaiki dengan cepat, jujur, dan tulus. Jangan pernah menyimpan dendam atau amarah yang dapat mengganggu keharmonisan rumah tangga. 6. Berdoa dan tunduk kepada Tuhan,
   Tunduk padanya adalah cara efektif untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Meminta bantuan dan bimbingan Tuhan dapat membantu menyelesaikan masalah rumah tangga.
   Bedah Buku "Hukum Waris Islam Di Indonesia (Perbandingan Hukum Islam dan Kompilasi Fiqh Sunnah)
   Buku ini ditulis oleh Dr.H.A. Diterbitkan oleh Aswaja Pressindo pada tahun 2013 oleh Sukris Sarmadi, S.Ag., M.H. Buku ini memaparkan hukum waris Indonesia dari perspektif hukum Islam dan fikih Sunni. Kemudian ada beberapa bab yang berkaitan dengan hukum waris Islam Indonesia, pembagian harta warisan, serta wasiat dan hibah. Semua ini berkaitan dengan warisan hukum Islam yang sebagian besar masih tercakup dalam hukum klasik/fikih Sunni. Pewarisan berarti pengalihan harta benda orang yang meninggal kepada ahli warisnya atau orang yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu. Buku ini juga mengenalkan pembagian harta waris, ahli waris dan perhitungannya. Termasuk gambar untuk memudahkan pemahaman pembaca dan aplikasi

DURROTUN FATIHAH 212121023

PRODI HKI

FAKULTAS SYARIAH

UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun