Mohon tunggu...
Durrotun Fatihah
Durrotun Fatihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswi Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Pencatatan Perkawinan: Sejarah, Analisis Makna Filosofis, Sosiologis, Religious, dan Yuridis

22 Februari 2023   22:48 Diperbarui: 22 Februari 2023   22:49 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Prinsip hukum perkawinan nasional yang bersumberkan pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perihal pencatatan perkawinan merupakan hal baru dalam hukum Islam di Indonesia, yang mana di dengan adanya pencatatan perkawinan ada banyak hal maslahah yang ditimbulkan sehingga pencatatan perkawinan merupakan hal yang diperlukan untuk mencatatkan perkawinan yang sakral.

SEJARAH PENCATATAN PERKAWINAN

Pada zaman Rasulullah praktik pencatatan perkawinan belum ada namun telah ada tradisi i'lan an nikah artinya mengumumkan suatu perkawinan kepada masyarakat. i'lan an nikah adalah tradisi yang disunnahkan oleh Rasulullah dengan adanya walimatul 'urs (pesta perkawinan). Sehingga pada masa awal Islam, walimah merupakan bentuk pengakuan dan jaminan bagi masyarakat. Seiring perkembangan zaman dan perubahan kebudayaan di masyarakat serta kemajuan administrasi dan ketatanegaraan, maka pengakuan masyarakat dan penjaminannya juga mengalami kemajuan. Bentuk pengakuan dan jaminan di masa kini adalah dengan adanya tulisan, yaitu pada pencatatan perkawinan berupa adanya akta nikah. (Sehabudin, "Pencatatan Perkawinan Dalam Kitab Fikih Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Perspektif Maqasid Syariah)", Al-Mazahib Vol.2 No.1, Juni 2014, h. 57.)

Adanya pencatatan perkawinan di Indonesia dilatarbelakangi adanya banyak kasus yang menyatakan bahwa perkawinan siri banyak terjadi di Indonesia, dengan dalih "daripada zina lebih baik menikah." Praktek nikah siri tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga oleh masyarakat yang memiliki pangkat negara seperti PNS, dll. Bahkan data kementrian agama menyatakan jika 48% dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari nikah siri, yang artinya sekitar 35 juta.

Dari fakta nikah siri yang "tidak dicatatkan," sehingga pembahasan pada "pencatatan perkawinan" yang telah tertulis dalam pasal 2 UU no 1 tahun 1974 tenang perkawinan. Pasal 2 menyatakan bahwa " (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari pernyataan diatas muncul dua pendapat yang menyatakan bahwa (1) pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya suatu perkawinan, (2) pencatatan perkawinan bukanlah sebuah penentuan syarat sahnya sebuah perkawinan. Dari pendapat kedua lah yang menjadi aspek sejarah hukum pencatatan perkawinan, yaitu dengan memperhatikan regulasi pencatatan perkawinan sebelumnya, yaitu dengan UU no 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

Disisi lain dalam pasal 5 ayat 2 KHI menyatakan bahwa "pencatatan nikah tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam UU no 22 tahun 1946 Jo undang-undang no. 32 tahun 1954 " dalam UU tersebut, PPN dalam perkawinan adalah untuk mengawasi dan melakukan pencatatan perkawinan dan bukan sebagai penentu sah dan tidaknya suatu perkawinan. (Masruhan, "positivisme hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan hingga masa orde baru", jurnal al-hukama', vol 1, no. 1 Desember 2011, 118.)


MENGAPA PENCATATAN PERKAWINAN DIPERLUKAN?

Pencatatan bisa dikatakan pendataan administrasi perkawinan yang tujuannya memenuhi ketertiban hukum dan setiap pencatatan perkawinan menurut pasal 5 KHI dilakukan oleh pegawai pencatatan nikah (PPN). Dikarenakan jika perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan perkawinan menurut (Pasal 6 KHI) maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Perkawinan juga diperlukan untuk mendapatkan kepastian hukum atas perkawinan dan kelahiran anak- anaknya. Supaya perkawinan tersebut dapat diakui oleh negara dan benar adanya. Kemudian ketika terjadi suatu sengketa yang mungkin terjadi dalam rumah tangga, apabila terjadi perselisihan di dalam rumah tangga diantara suami istri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab bahkan bisa merugikan salah satu pasangan suami istri tersebut maka maka salah satu pihak dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing karena dengan bukti otentik yaitu dengan pencatatan nikah yang sudah sudah diakui agama dan negara maka dipastikan mendapatkan perlindungan hukum. Pada awalnya pencatatan perkawinan dalam hukum islam tidak secara konkret dalam mengaturnyamengaturnya, akan tetapi seiring berkembangnya zaman dan mempertimbangkan kemaslahatan bersama di beberapa daerah Indonesia, maka dibuatlah aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini untuk melindungi pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan dan juga akibat dari perkawinan, antara lain seperti dalam hal kewarisan, nafkah, hubungan istri dan anak, dan lain-lain. Bisa disimpulkan bahwasanya pencatatan pernikahan bukan yang termasuk kedalam syarat sahnya pernikahan, tetapi peranan pencatatan pernikahan ini sangat menentukan dalam suatu ikatan pernikahan, karena hal tersebut adalah syarat diakuinya suatu ikatan pernikahan oleh negara.

ANALISIS MAKNA PENCATATAN PERKAWINAN

Analisis Makna Filosofis, Sosiologis, Religious danYuridis Pencatatan Perkawinan

Secara filosofis Perkawinan menurut hukum Islam yang sesuai adalah berdasarkan Pancasila, khususnya sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Pencatatan perkawinan secara filosofis itu demi mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain. Menurut para ahli dalam analisis keberlakuan hukum, secara filosofis pencatatan perkawinan adalah untuk memberikan keamanan dan kenyamanan yang berbentuk kepastian, kekuatan dan perlindungan hukum terhadap pelaku perkawinan tersebut (suami-istri). Dengan begitu, ketika tidak terpenuhinya pencatatan perkawinan, maka akibat hukumnya adalah tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mendapatkan jaminan hak-hak keperdataan akibat perkawinannya itu.

Secara sosiologis perkawinan diakui keberadaannya dilihat dari dua perspektif, yaitu pengakuan dari masyarakat dan dari pemerintah. Pertama, pengakuan dari masyarakat itu penting, dikarenakan pada hakekatnya manusia itu adalah makhluk sosial dimana tidak luput dari interaksi sesamanya. Cemooh dan pengakuan itu juga tidak bisa dipungkiri untuk dihindari. Dan dengan adanya pencatatan perkawinan yang sah ini akan mendapat pengakuan dari masyarakat dan terhindar dari cemoohan yang tidak diinginkan. Kemudian yang kedua yaitu pengakuan dari pemerintah, dimana pengakuan ini demi mendapatkan kepastian hukum ketika suatu hari terjadi persengketaan akibat perkawinan.

Makna religious (agama) dari adanya pencatatan perkawinan ini mungkin tidak sebegitu penting karena dalam agama pernikahan yang sah itu terpenting sudah memenuhi syarat dan rukunnya. Namun dalam agama Islam juga menghendaki umatnya untuk mematuhi peraturan yang ada demi tegaknya kenyamanan dan jaminan hidup bernegara.

Kemudian secara yuridis, pencatatan perkawinan ini sangat ditekankan sekali. Pencatatan dimaksudkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pasal 281 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945. Dengan demikian, melalui pencatatan perkawinan maka suatu perkawinan akan memiliki kepastian dan kekuatan hukum serta hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik.

Kesimpulannya, setiap perkawinan harus dicatatkan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku pada negara yang dipijakkan. Sesuai dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dapat disimpulkan bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian integral yang menentukan kesahan suatu perkawinan, yang memenuhi ketentuan dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Maka dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas kesahannya, baik bagi para pihak yang bersangkutan maupun pihak yang lainnya. Suatu perkawinan yang tidak dicatatkan dalam akta nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapatkan kepastian hukum. Pentingnya pencatatan perkawinan ini untuk memberikan kepastian hukum dan memberikan perlindungan bagi pihak yang melakukan perkawinan, sehingga memberikan kekuatan bukti autentik tentang terjadinya perkawinan dan para pihak dapat mempertahankan perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum. Sebaliknya jika pencatatan perkawinan tidak dilakukan, maka perkawinan yang dilangsungkan para pihak tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak memiliki bukti yang autentik dari negara sebagai suatu perkawinan.

Dampak negatif jika perkawinan tidak dicatatkan jika dilihat dari segi sosiologis yaitu tidak adanya pengakuan dari masyarakat mengenai suatu perkawinan, mental dari pihak yang bersangkutan mungkin juga akan terganggu karena secara tidak langsung mereka akan mendapatkan cemooh dari masyarakat sekitar. Kemudian jika dilihat dari segi religious, Al -Qur'an menyebutkan akad nikah adalah sebagai perjanjian yang kuat tidak disamakan dengan perjanjian biasa. QS. An-Nisa ayat 21 Allah SWT menerangkan, bahwa perjanjian (termasuk akad nikah) yang adil dan benar adalah perjanjian yang dilengkapi dengan alat bukti. Alat Bukti yang terutama ialah alat bukti dengan pencatatan. Dan yang terakhir dilihat dari segi yuridis, perempuan tidak dianggap sebagai istri yang sah, ia tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika terjadi perceraian hidup atau di tinggal mati, selain itu istri tidak berhak atas harta gono-gini atau harta bersama jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi, status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah menurut hukum, dan hanya mempunyai hubungan keperdataan pada ibu dan keluarga ibunya saja. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun dimata negara perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama. Kemudian para pihak akan mengalami kesulitan dalam hal administratif, dan tidak memiliki sebuah dokumentasi resmi akta nikah yang bisa dijadikan sebagai alat bukti dihadapan majelis peradilan.

Ditulis oleh:

Khilmi Nazid (212121021)

Durrotun Fatihah (212121023)

Umiyatun Khasanah (212121031)

Yeni Afrilia Rahmawati (212121037)

Program Studi Hukum Keluarga Islam

Fakultas Syariah

UIN Raden Mas Said Surakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun