Prinsip hukum perkawinan nasional yang bersumberkan pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perihal pencatatan perkawinan merupakan hal baru dalam hukum Islam di Indonesia, yang mana di dengan adanya pencatatan perkawinan ada banyak hal maslahah yang ditimbulkan sehingga pencatatan perkawinan merupakan hal yang diperlukan untuk mencatatkan perkawinan yang sakral.
SEJARAH PENCATATAN PERKAWINAN
Pada zaman Rasulullah praktik pencatatan perkawinan belum ada namun telah ada tradisi i'lan an nikah artinya mengumumkan suatu perkawinan kepada masyarakat. i'lan an nikah adalah tradisi yang disunnahkan oleh Rasulullah dengan adanya walimatul 'urs (pesta perkawinan). Sehingga pada masa awal Islam, walimah merupakan bentuk pengakuan dan jaminan bagi masyarakat. Seiring perkembangan zaman dan perubahan kebudayaan di masyarakat serta kemajuan administrasi dan ketatanegaraan, maka pengakuan masyarakat dan penjaminannya juga mengalami kemajuan. Bentuk pengakuan dan jaminan di masa kini adalah dengan adanya tulisan, yaitu pada pencatatan perkawinan berupa adanya akta nikah. (Sehabudin, "Pencatatan Perkawinan Dalam Kitab Fikih Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Perspektif Maqasid Syariah)", Al-Mazahib Vol.2 No.1, Juni 2014, h. 57.)
Adanya pencatatan perkawinan di Indonesia dilatarbelakangi adanya banyak kasus yang menyatakan bahwa perkawinan siri banyak terjadi di Indonesia, dengan dalih "daripada zina lebih baik menikah." Praktek nikah siri tidak hanya dilakukan oleh masyarakat awam namun juga oleh masyarakat yang memiliki pangkat negara seperti PNS, dll. Bahkan data kementrian agama menyatakan jika 48% dari 80 juta anak di Indonesia lahir dari nikah siri, yang artinya sekitar 35 juta.
Dari fakta nikah siri yang "tidak dicatatkan," sehingga pembahasan pada "pencatatan perkawinan" yang telah tertulis dalam pasal 2 UU no 1 tahun 1974 tenang perkawinan. Pasal 2 menyatakan bahwa " (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari pernyataan diatas muncul dua pendapat yang menyatakan bahwa (1) pencatatan perkawinan merupakan salah satu syarat sahnya suatu perkawinan, (2) pencatatan perkawinan bukanlah sebuah penentuan syarat sahnya sebuah perkawinan. Dari pendapat kedua lah yang menjadi aspek sejarah hukum pencatatan perkawinan, yaitu dengan memperhatikan regulasi pencatatan perkawinan sebelumnya, yaitu dengan UU no 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
Disisi lain dalam pasal 5 ayat 2 KHI menyatakan bahwa "pencatatan nikah tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam UU no 22 tahun 1946 Jo undang-undang no. 32 tahun 1954 " dalam UU tersebut, PPN dalam perkawinan adalah untuk mengawasi dan melakukan pencatatan perkawinan dan bukan sebagai penentu sah dan tidaknya suatu perkawinan. (Masruhan, "positivisme hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan hingga masa orde baru", jurnal al-hukama', vol 1, no. 1 Desember 2011, 118.)
MENGAPA PENCATATAN PERKAWINAN DIPERLUKAN?
Pencatatan bisa dikatakan pendataan administrasi perkawinan yang tujuannya memenuhi ketertiban hukum dan setiap pencatatan perkawinan menurut pasal 5 KHI dilakukan oleh pegawai pencatatan nikah (PPN). Dikarenakan jika perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatatan perkawinan menurut (Pasal 6 KHI) maka pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Perkawinan juga diperlukan untuk mendapatkan kepastian hukum atas perkawinan dan kelahiran anak- anaknya. Supaya perkawinan tersebut dapat diakui oleh negara dan benar adanya. Kemudian ketika terjadi suatu sengketa yang mungkin terjadi dalam rumah tangga, apabila terjadi perselisihan di dalam rumah tangga diantara suami istri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab bahkan bisa merugikan salah satu pasangan suami istri tersebut maka maka salah satu pihak dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing karena dengan bukti otentik yaitu dengan pencatatan nikah yang sudah sudah diakui agama dan negara maka dipastikan mendapatkan perlindungan hukum. Pada awalnya pencatatan perkawinan dalam hukum islam tidak secara konkret dalam mengaturnyamengaturnya, akan tetapi seiring berkembangnya zaman dan mempertimbangkan kemaslahatan bersama di beberapa daerah Indonesia, maka dibuatlah aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini untuk melindungi pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan dan juga akibat dari perkawinan, antara lain seperti dalam hal kewarisan, nafkah, hubungan istri dan anak, dan lain-lain. Bisa disimpulkan bahwasanya pencatatan pernikahan bukan yang termasuk kedalam syarat sahnya pernikahan, tetapi peranan pencatatan pernikahan ini sangat menentukan dalam suatu ikatan pernikahan, karena hal tersebut adalah syarat diakuinya suatu ikatan pernikahan oleh negara.
ANALISIS MAKNA PENCATATAN PERKAWINAN