Mohon tunggu...
Rois Said
Rois Said Mohon Tunggu... -

hidup adalah proses

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bendera Setengah Tiang untuk Dunia Pendidikan

26 September 2012   18:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah Catatan Seorang (Mantan) Guru

***

Nun di masa lalu, sekitar pertengahan 1998, saat saya masih berstatus mahasiswa yang wajib menjalani Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) sebagai seorang guru, saya kebagian jatah mengajar di sebuah sekolah swasta di pinggiran Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kala itu, ada kejadian luar biasa yang rasanya sampai kapan pun tidak akan pernah saya lupa. Di saat saya sedang bertugas sebagai guru piket, seorang murid laki-laki tiba-tiba datang. Tampangnya kuyu, sama sekali tidak bergairah. Langkahnya gontai. Entah saya kurang begitu jelas, nampaknya agak sempoyongan. Tetapi dari cara bicaranya, sepertinya dia mabuk. Mungkin mabuk obat, bukan minuman karena mulutnya tak menguarkan “bau naga”.

Namun, bukan itu yang mengagetkan saya. Yang bikin saya tercengang adalah pertanyaan tidak biasa yang dia lontarkan kepada saya.

“Pak, kira-kira saya masih punya masa depan nggak, ya?” begitu dia langsung mengawali pembicaraan, dengan nada suara yang ngambang—seperti orang mabuk.

“Lho, ya semua orang pasti masih punya masa depanlah. Apalagi kamu pelajar. Memangnya kenapa kamu nanya gitu?” saya masih sok bijak.

“Saya udah pernah dipenjara, Pak,” kata dia.

“Oooh... Memang kasusnya apa? Kok bisa sampe dipenjara?” saya coba mencari kejelasan, sembari otak ini menduga-duga, paling sekadar kasus tawuran atau kedapatan nyimeng.

“Saya abis ngebunuh orang, Pak.”

“Apa?”

Saya jelas kaget, walaupun berusaha sebisa mungkin menutupi kekagetan saya.

“Ah, kamu ada-ada aja.”

“Saya serius, Pak.”

Gejolak batin saya waktu itu jelas tak tentu lagu. Antara takut—sebab saya memperhitungkan juga kalau ini semacam bentuk ancaman terselubung terhadap “guru” baru di sekolahnya—tetapi juga aneh, lucu, dan sebagainya berkecamuk di dalam otak. Tetapi saya berusaha tidak menunjukkan rasa takut, dan kemudian (sok) memberinya optimisme.

Entahlah apa omongan saya ngawur atau nggak waktu itu, yang jelas dia kelihatannya sedikit puas. Bahkan, dengan sok akrab dia menawarkan saya untuk bisa mengetahui “ayam-ayam” di sekolah itu yang biasa beroperasi di kafe dangdut tak jauh dari sekolah tersebut.

“Kalo Bapak nggak percaya, Bapak dateng aja ke kafe dangdut itu (saya lupa nama kafe yang dia sebutkan), terus nyalain korek api, kelihatan deh muka-mukanya,” begitu keterangan si murid tadi.

Lagi-lagi saya terpana. Gila! Begini amat ini penghuni sekolah! Ada kriminal, ada “ayam sekolah”. Soal tawuran? Sekolah itu bahkan punya tradisi dan strategi tersendiri untuk menghadapi musuh mereka. Ya, itulah mereka.

***

Kawan, terutama Anda para guru, apa yang akan Anda katakan ketika menghadapi pertanyaan—atau bahkan fakta—kelakuan murid yang sudah menjurus kriminal—seperti itu? Di bangku kuliah –meskipun mata kuliah tentang keguruan menghabiskan lebih dari 10 SKS—saya tidak pernah diajarkan bagaimana menghadapi kasus “spesial” seperti itu. Maka, yang saya coba lakukan hanyalah mendekati mereka sebagai manusia yang butuh perhatian. Apalagi saya tahu, mereka anak-anak dari kelompok masyarakat marginal yang secara ekonomi serba kekurangan, sehingga ketika bersekolah pun mereka tidak mempunya orientasi yang jelas; akan seperti apa masa depan mereka? Sambil terus mengupayakan “ngobrol” dari hati ke hati, saya hanya berusaha memahami bahwa itu cuma sebentuk rasa frustrasi mereka menghadapi kehidupan di lingkungan rumah masing-masing. Sementara iming-iming hidup berkecukupan dipamerkan di sana-sini.

Syukurlah, masa PPL itu berhasil dilewati, dan saya tidak sampai menjadi “korban” dari kenakalan anak-anak itu. Bahkan, mereka menjadi dekat dengan saya hingga selalu menawari saya nongkrong dulu bareng mereka jika saya selesai ngajar.

***

“Tren” yang berbeda terjadi ketika saya sudah “bekerja” sebagai guru di SMA yang jauh lebih elite dan dekat dengan pusat kekuasaan. Dari tiga sekolah ternama--baik negeri maupun swasta, dengan latar belakang ekonomi para siswanya jauh di atas rata-rata--yang saya masuki, sebagian besar muridnya pun sama: dilanda budaya “malas belajar”. Buat mereka, sepertinya sekolah itu sekadar ajang sosialisasi, menghabiskan waktu, menghabiskan uang orang tua dengan foya-foya, dan sekadar keluar dari rumah yang bikin bete.

Kenapa saya berasumsi seperti itu? Saya pernah membuat satu kegiatan yang saya namakan “Curhat Session”. Tentu kegiatan ini saya integrasikan ke dalam mata pelajaran yang saya ajarkan. Dalam kesempatan itu saya bebaskan mereka curhat mengenai unek-unek mereka, secara personal, hanya empat mata antara satu orang murid dengan saya sebagai gurunya. Tentu saja saya berjanji untuk tidak membocorkan rahasia mereka kepada siapa pun. Mereka pun rupanya dengan sukacita mau mengikuti kegiatan yang saya tawarkan. Dan, Anda tahu apa yang saya dengar dari mereka? Rupanya lebih dari 50 persen murid yang curhat ke saya mengalami ketidakpuasan di dalam rumah, dengan faktor dominan kasus perceraian orang tuanya. Sebagian bahkan berani bercerita kepada saya kalau mereka sudah make love (ML) dengan pacar masing-masing. Gila! Apa pula ini? Pantas saja mereka selalu terlihat loyo setiap hari di dalam kelas. Sementara aturan-aturan yang diberlakukan di sekolah, meskipun keras, tidak serta-merta mengubah semangat dan perilaku mereka. Apalagi mereka merasa punya uang untuk “membeli” peraturan itu.

***

Kawan, dua sketsa sosial yang terjadi di sekolah pada masa lalu yang saya gambarkan tadi tampaknya masih juga berlaku hingga saat ini. Entahlah, apakah para guru mampu menjangkau “kedalaman batin” murid-muridnya? Yang pasti, tiga hari dengan dua kasus tawuran pelajar yang memakan dua korban tewas itu sangat luar biasa! Luar biasa mengkhawatirkan tentunya. Ini sebuah tragedi kemanusiaan. Boleh juga kita menengarai ini sebagai bentukkegagalan dunia pendidikan kita. Ironisnya, di saat guru semakin dimanjakan dengan kesejahteraan yang berlipat-lipat, tetapi anak didiknya lebih betah di jalan, curi-curi perhatian dengan memukul, menimpuki, dan bahkan membacok hingga mati sesama(pelajar)nya.

Apakah sistem dan kebijakan yang salah? Entahlah, saya bukan ahlinya untuk mengurusi itu. Yang jelas, semakin diperhatikan pendidikan kita kok rasa-rasanya semakin tak tentu arah. Nilai syarat kelulusan semakin didongkrak hingga para siswa dilatih untuk selalu “jantungan” saban menghadapiujian akhir (UN yang notabene juga banyak dipermasalahkan). Tetapi faktanya, nilai itu pun bisa dibeli.

Mestinya, inilah waktunya kita mengibarkan bendera setengah tiang untuk pendidikan kita, seraya kita semua merenung. Sudahkah Anda, para orang tua, mencukupi kebutuhan batin putra-putri Anda dan tidak hanya merasa selesai ketika sudah memenuhi kebutuhan lahir (baca: finansial). Atau, yakinkah Anda para guru sudah melaksanakan tugas dengan segala kesungguhan? Tidak hanya menekan murid Anda untuk mendapatkan nilai bagus agar dapat lulus. Apakah Anda para pemimpin, baik kepala sekolah, kepala dinas atau bahkan mendiknas, yakin sudah membuat dan melaksanakan kebijakan yang kondusif buat tumbuh kembang para generasi muda harapan bangsa ini? Mari kita bergandeng tangan untuk generasi muda kita, untuk bangsa kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun